KM 01. Moira Rosse

301 41 5
                                    

"Lo serius?" Tiana melepaskan tangan Hesti yang bergelayut di lengan. Sebelum menjawab, Tiana menatap Hesti dari ujung kepala hingga kaki. Memastikan ekspresi yang ditampilkan sang bestie. "Lo kenapa liatin gue kaya gitu?" selidik Hesti penuh curiga.

Masih enggan menjawab, Tiana memilih memindahkan pandangan pada sebuah tirai metalic di sebelah kanannya berdiri. Sekali lagi Tiana membulatkan tekad lantas menyibak tirai.

Lorong yang diterangi cahaya lampu berwarna ungu menyambutnya. Aroma dupa membuat bulu di sekitar tengkuk Tiana ikut berdiri. Namun, apa pun yang terjadi, Tiana harus meneruskan langkahnya.

Tahun ini statusnya harus enyah. Mungkin, ini adalah salah satu cara untuk mencapai tujuannya. Ya, harus tercapai. Apa pun caranya, bagaimanapun jalannya! Meski harus menaikan kadar keberanian.

"Nah, merinding, 'kan, lo? " celetuk Hesti lagi melihat Tiana mengusap belakang leher, yakin Tiana meragu.

"Ini ide lo, 'kan? " timpal Tiana tanpa menoleh, "bukan gue," lanjutnya coba menenangkan diri.

"Ya ... iya, sih, tapi gue enggak sangka lo si super realistic binti penakut girl setuju. Ah, sudahlah, kalau dipikir-pikir kita keluar dari sini. Mending kita makan atau cari barang-barang buat kamar kos lo."

Tertegun sesaat, Tiana melepaskan genggaman helai tirai lantas menatap Hesti. "Gue harus menikah. Tahun ini. Lo tahu masalah gue, 'kan?"

"Iya, gue tahu, terus emang kenapa? Harus banget apa?"

"Hesti tercinta, berdasarkan ide luar biasa lo lima menit yang lalu. Mungkin lo benar, dia yang di dalam sana bisa kasih saran tentang jodoh gue. Mungkin memang ada demit yang enggak suka gue punya jodoh."

Hesti menyingkirkan helai rambut yang menempel di belakang tengkuknya. "Tiana Dewi, please. Oke, maaf. Gue enggak sangka lo akan setuju. Sudah yuk, seram begini tempatnya."

Mendengar namanya disebut lengkap disertai desah panjang, Tiana menoleh. "Sudah setengah jalan begini Hes!"

"Ti, lo cantik, muda, karier bagus-"

"Apa pun pencapaian positif tentang gue, buktinya gue belum pernah sekalipun pacaran. Dari zaman SMA, kuliah sampai detik ini pun enggak ada cowok yang mau jadi pacar gue. Mulai berubah jadi cewek super kalem sampe coba ngejar duluan juga enggak ada yang berhasil. Ngenes Hesti. Kalau gue belum bisa menikah, ya seenggaknya tahun ini gue bisa dapat pacar."

"Mungkin belum saatnya saja, Ti."

"Gue sudah mau tiga puluh tahun Hesti Ayu! Tiga puluh!".

"Terus masalahnya gimana? Zaman sudah bergeser. Toh banyak juga yang belum menikah di usia tiga puluhan. Enggak ada masalah. Orang-orang enggak berlomba Ti. Jalurnya ada, sabar."

"Jodoh itu adalah takdir yang diusahakan. Ini salah satu usaha gue."

"Tapi Ti-"

"Ya gimana mau nikah kalau gue enggak pernah bisa punya pacar."

Hesti memijat lembut pelipisnya. "Tenang Ti. Lagian tante Santi juga enggak mendesak lo untuk buru-buru menikah, 'kan?"

"Justru karena nyokap gue enggak pernah bawel soal ini, gue jadi semakin kepikiran. Ah, sudahlah. Lo enggak akan ngerti. Lo punya Teddy, bentar lagi juga dia lamar lo. Lagian yang mau diramal itu gue. Kalau lo enggak mau ikut ke dalam, ya sudah. Tunggu di sini."

Hesti menarik tangan Tiana. "Enggak begitu Ti."

"So? Ikut atau enggak?"

Hesti menyerah. Anggukan kepalanya dibalas senyum semringah Tiana. Tanpa ragu Tiana menarik tangan Hesti masuk melewati lorong bermandikan sinar lampu ungu lantas menggeser pintu kaca di ujungnya.

Imajinasi dalam kepala Tiana sirna ketika matanya bertemu seorang wanita bermata indah dengan sorot menggoda. Sebuah wadah porselen di atas meja yang bertabur banyak kelopak mawar cepat menarik perhatian Tiana.

Wanita itu tersenyum, deretan gigi putih tampak berseri di balik bibirnya yang dipoles berani. Warna merah segar. Ia memberikan isyarat agar kedua tamu duduk di kursi tepat di hadapannya dan tentu Tiana juga Hesti duduk dalam sekejap mata.

"Jadi ...." Kalimat wanita itu terhenti saat matanya kembali bertemu dengan tatapan selidik sekaligus penasaran milik Tiana. Tanpa banyak bicara ia mengambil tiga lembar kelopak mawar lantas menaruhnya ke atas permukaan wadah porselen berisi air.

Sontak Tiana menoleh ke arah Hesti yang tampak mencondongkan tubuhnya ke arah wadah, mengamati tiga kelopak mawar berenang di permukaan air.

Suara derit laci membuat Tiana kembali menoleh pada sang wanita yang sepertinya memang ahli dalam bidang ramal meramal. Wanita itu tampak mengambil gulungan benang warna merah. Mengulurkannya hingga sepanjang telapak tangan lantas menatap Tiana.

"Tangan kananmu," pintanya. Tiana diam sejenak mengamati betapa indahnya warna mata yang dimiliki wanita itu. "Aku yakin kamu pasti ingin tahu sesuatu bukan?"

Pertanyaan wanita itu sekaligus tepukan tangan Hesti di pahanya mengembalikan kesadaran Tiana. Tiana mengangguk dengan cepat lantas menyodorkan tangan kanannya.

"Namaku Moira Rosse. Air adalah sebuah cermin. Benang dan kelopak mawar ini adalah perantara yang akan mengantarkan kita melihat apa yang ada di dalam telapak takdirmu."

Tiana sontak ingin menarik tangannya, tetapi genggaman tangan Moira jelas lebih kencang dari gerakan Tiana. Moira mengikatkan salah satu ujung benang merah di jari telunjuk Tiana dan ujungnya yang lain diikat ke jari kelingking Tiana.

"Tunggu, aku-"

"Jelas kamu menantikan apa yang ingin aku lakukan bukan?" potong Moira membuat Tiana seketika tersentak dan menoleh ke arah Hesti. Suara tawa pelan Moira kembali membuat Tiana menoleh ke arah sang peramal. "Tenanglah, Sayang. Aku enggak akan menyakiti tamuku. Apa pun yang kamu rasakan di dalam air, cobalah untuk menahannya sejenak. Oke?"

Tiana mengangguk ragu lantas diam menatap telapak tangannya dicelupkan ke dalam wadah. Moira tampak mengusap punggung tangan Tiana beberapa kali sebelum akhirnya mengeluarkan tangannya dari sana.

Mata Moira terpejam ketika ia meletakkan kedua tangannya di tiap sisi wadah porselen. Awalnya tidak ada yang dirasakan Tiana, tetapi lama kelamaan rasa dingin air berubah menjadi hangat dan permukaan air di dalam wadah mulai bergejolak seolah ada yang bergerak di dalamnya.

Hesti tampak panik melihat air dalam wadah mulai berputar semakin kencang dan terciprat ke arahnya. Namun, Hesti tidak bisa berbuat apa-apa seolah ada yang mendekap. Ia tidak mampu menarik tangan Tiana dari dalam wadah.

Pandangan Hesti naik ke wajah Tiana yang pucat. Hingga tiba-tiba Tiana berteriak lantas menarik tangannya dari dalam wadah. Pupil mata Hesti melebar melihat benang yang diikat Moira terputus dua seolah ada yang membakar bagian tengahnya.

Moira menghembuskan nafas. "Kamu enggak bisa mengelak dari apa yang akan terjadi. Hadapi karena kamu enggak bisa berlari dari ini. Berhati-hatilah Tiana."

Tiana tercekat mendengar namanya dipanggil Moira. Seingatnya, ia belum memperkenalkan dirinya pada Moira. Apa memang wanita ini sungguh seorang peramal?

Hesti sontak bangkit, mengeluarkan dua lembar uang ratusan ribu, menaruhnya di meja lantas menarik tangan Tiana. "Ayo, kita pergi! Seharusnya kita enggak ke sini! Ayo Ti! Kenapa lo malah diam saja? Ayo!"

Moira menarik tangan Tiana, matanya kembali beradu tajam dengan mata Tiana. "Kelak kamu akan mencariku untuk mendapatkan jawabannya. Seenggaknya kamu harus lepas dari karma yang enggak pernah kamu buat. Berhati-hatilah Tiana."

***

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang