KM 17. Mantan Cinta Pertama

92 24 0
                                    

Tiana memandangi surat pengunduran dirinya yang terpampang di layar monitor. Semalaman ia telah berpikir matang-matang. Bahkan, Tiana bisa melupakan obsesinya pada keinginan harus menikah di tahun ini.

“Saya tunggu kamu di ruangan.”

Tiana berbalik. Abyan sudah berjalan kembali ke ruangannya. Tiana tidak mungkin bisa menghindari Abyan dan walau ia sungguh-sungguh memberikan surat pengunduran diri, Tiana tetap tidak bisa menghindari Abyan.

Ketika Tiana masuk dan menutup pintu ruangan, Abyan memandangi jalanan melalui jendela besar. Tiana tidak berani meneruskan langkahnya ketika sadar jaraknya berdiri sudah sangat dekat dengan punggung Abyan.

“Kamu sudah ingat siapa saya?” Tiana menggigit bibirnya. Abyan berbalik, satu alisnya naik. “Ya, saya rasa kamu sudah ingat siapa saya. Lucu, ya? Takdir bisa memposisikan kita seperti ini.”

“Saya—”

Abyan melonggarkan dasi lantas melepaskan jasnya. “Seharusnya saya bisa melupakan semuanya dan melanjutkan hidup persis seperti yang saat ini kamu lakukan karena kejadian itu sudah sangat lama. Kenapa? Saya sudah banyak berubah, sampai kamu enggak mengenali saya, ya?” potong Abyan.

“Pak, coba dengarkan saya dulu.”

“Kita sedang tidak dalam posisi sebagai atasan dan bawahan.”

“Baik, aku minta maaf atas semua perbuatan aku, saat itu aku terlalu gegabah, hanya mementingkan diri sendiri, aku juga masih terlalu muda untuk bisa berpikir jernih.”

Abyan tersenyum lalu mengangguk. “Ya, benar. Masih terlalu muda, tapi bisa dengan mudah mempermalukan orang lain sampai hancur berkeping-keping.”

“Ian.”

“Jangan sebut saya dengan panggilan itu!”

“Kasih aku kesempatan untuk menjelaskan. Ya, aku salah, tapi apa yang kamu dengar enggak sepenuhnya benar.”

“Ya, kamu benar, enggak mungkin kamu bisa suka sama cowok gendut, jelek, kucel, apa lagi sebutan yang kamu berikan untuk saya?”

Tiana coba mendekat, tetapi Abyan mundur selangkah. “Enggak begitu.”

“Kamu menjadikan saya sebagai bahan taruhan. Saya dengar semuanya.”

“Enggak, sungguh!”

Ketukan di pintu membuat keduanya kompak menoleh, ketika pintu terbuka lebar-lebar, keduanya pun kompak terdiam.

“Ternyata kalian ada di dalam.” Intan mengangkat tas jinjingnya. “Makan siang datang.”

“Kalau begitu saya keluar dulu, Pak,” ucap Tiana sadar kalau ini waktu yang tepat melarikan diri.

Cepat-cepat Intan menaruh bawaan di meja lantas menarik tangan Tiana. “Tiana, kita makan sama-sama. Tante bawa banyak. Dulu, Tante dan Abyan juga sering makan siang bersama.”

“Tapi—”

“Sini, duduk. Kamu enggak perlu takut sama Abyan.” 

Tiana diam, membiarkan Intan mulai membongkar bawaan. Matanya melirik Abyan yang tampak mengotak-atik ponsel.

“Kalau mau datang ke kantor, kabari Abyan dulu, Ma.”

“Tadi di lobi, mama diizinkan masuk. Jadi, enggak masalah, ‘kan?” Intan menarik ponsel dalam genggaman Abyan. “Makan dulu.” Intan memindahkan dua potong ayam goreng, beberapa sendok nasi dan sayur ke piring lantas disodorkan ke Abyan.

“Itu terlalu banyak, Ma,” protes Abyan.

“Habiskan. Enggak perlu diet-diet lagi. Kamu sudah kurus. Ayo, habiskan.”

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang