KM 18. My First Kiss

72 21 0
                                    

Wajah masam Intan menyambut kedatangan Abyan. Abyan menarik napas dalam-dalam, seolah yakin kalau ibunya pasti tidak akan melepaskannya.

“Abyan, duduk. Kita perlu bicara.”

Abyan menyampirkan jas di siku sofa, melepaskan dasi lantas duduk di sebelah Intan. “Ada apa, Ma?”

“Abyan, Mama mau bicara hal serius sama kamu.”

“Apa, Ma?”

“Reaksi kamu tadi siang berlebihan Abyan. Kasihan Tiana.”

“Seharusnya Abyan yang bicara seperti itu soal semua ucapan Mama.”

“Tiana itu wanita yang baik, Mama yakin dia cocok menjadi istri kamu.”

Abyan tertawa pelan kemudian menyugar rambutnya. “Mama enggak mengenal Tiana.”

“Memang. Mama memang baru beberapa kali bertemu dia, tapi penilaian Mama jarang meleset.”

“Apa kita enggak bisa bahas hal selain ini, Ma?”

Intan menggeleng. “Ini serius Abyan.”

“Mama enggak tahu apa-apa.”

“Mama dengar semuanya Abyan. Mama tahu semuanya. Tiana adalah teman sekolah yang kamu pernah suka, 'kan? Gadis yang menolak kamu, yang buat kamu sedih berhari-hari. Iya, 'kan?”

“Ma.”

“Itu sudah sangat lama Abyan. Kalian masih terlalu muda.”

“Mama enggak mengerti.”

“Jelas Mama mengerti karena Mama pernah jatuh cinta dan pernah juga sakit hati.” Abyan coba mengalihkan pandangannya, tetapi pelan Intan membimbing ujung dagu Abyan untuk kembali menatapnya. “Kamu masih suka Tiana?”

Refleks Abyan berdiri. “Enggak, Ma!” bantahnya.

Intan ikut berdiri lantas menunjuk dada Abyan, menekannya pelan dengan ujung telunjuk. “Tanya sama yang di dalam sini Abyan. Ya, kamu marah karena Tiana enggak membalas perasaan kamu, tapi bukan berarti kamu enggak punya rasa lagi sama dia.”

“Mama salah!”

“Kamu enggak membenci Tiana, kamu hanya marah karena dia enggak membalas perasaan kamu Abyan,” ulang Intan. Abyan tidak mau lagi berdebat, ia melangkah pergi. “Mama akan berhenti bekerja.”

Langkah Abyan terhenti, ia berbalik. “Sungguh?”

Intan tersenyum lantas mengangguk. “Mama akan ikuti kemauan kamu, Mama akan berhenti bekerja dan hanya istirahat di rumah seperti kemauan kamu.”

Setengah berlari Abyan mendekati Intan. Sudah bertahun-tahun Abyan meyakinkan Intan untuk berhenti bekerja. Sejak sang ayah meninggal, Abyan menyaksikan perih perjuangan ibunya mencari nafkah sendirian. Sekarang, di saat Abyan bisa berdiri dengan kakinya sendiri, Abyan merasa sudah waktunya sang ibu beristirahat.

“Serius, Ma?”

“Iya, tapi tahun ini kamu harus menikah.”

Senyum dalam raut wajah Abyan lenyap. “Abyan pasti menikah, Ma!”

“Tahun ini. Pokoknya kalau enggak tahun ini, Mama enggak mau berhenti bekerja.”

“Ma.”

Intan meremas lengan Abyan. “Pokoknya, tahun ini kamu menikah. Enggak harus sama Tiana, tapi kalau kamu mau pertimbangan Tiana yang akan menjadi menantu Mama, Mama akan senang sekali. Oke?”

***

Tiana menggenggam tali tas berisi dua kotak makanan. Langkahnya malah terhenti ketika ia melihat Alita duduk sendirian di salah satu kursi paling pojok di kantin karyawan. Waktunya hanya tersisa dua bulan sebelum Siska kembali ke kantor.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang