KM 05. Kamu Bisa Mendengar Saya?

104 22 0
                                    

Tawa renyah Hesti menggema di ujung sambungan. Wajah Tiana kembali merah. Tiana tahu ia pasti jadi bahan tertawaan, tetapi mau tidak mau ia harus menceritakan semua kegundahannya.

Ketika melempar pertanyaan yang terlontar begitu saja dari bibir, reaksi Satrio diam sejenak, tersenyum lantas pergi begitu saja.

"Gue sudah bilang sabar Tiana. Jangan kaya kucing kebelet kawin," goda Hesti lagi yang kemudian diakhiri tawa.

"God, dia ilfeel sama gue enggak, ya?" tanya Tiana lemas.

"Gue enggak tahu. Ah, enggak kali. Sebenarnya, gue pribadi enggak terlalu dekat sama Satrio, tapi kalau dengar cerita lo, kayaknya dia cuma syok doang."

"Duh, gue juga enggak tahu kenapa bisa nanya kek gitu sama dia."

"Lo kapan pulang, sih? Masih lama meetingnya? Sudah mau jam delapan, nih."

Tiana merapikan lipstik di ujung-ujung bibirnya. "Sudah selesai dari sebelum magrib, tapi kliennya ngajak makan malam dulu. Sebentar lagi pulang kayaknya."

“Lo di resto mana?”

“Di daerah Pajajaran. Enggak terlalu jauh dari kantor.”

"Oh, ya sudah, nanti kalau sudah sampai kos, kabari gue lagi."

"Oke, bye."

Tiana mengakhiri percakapan, memasukkan ponsel ke tas lalu diam sejenak menatap pantulan bayang diri di cermin toilet restoran. Pikirnya seharusnya ia sedang makan malam bersama Satrio. Namun, di sinilah ia berada sekarang.

"Gue enggak jelek-jelek amat, 'kan, ya? Pekerjaan gue juga lumayan, tapi kenapa susah, ya, Tuhan, ketemu sama cowok. Enggak harus langsung klik juga enggak apa-apa, Tuhan, yang penting ada yang bilang suka dulu, gitu, atau kalau harus maju duluan, cowoknya enggak kabur begitu, Tuhan." Tiana kembali menarik nafas dalam-dalam lalu meninggalkan toilet sebelum ia kembali bicara sendirian dan benar-benar gila pada akhirnya.

Abyan tampak menyalami klien sebelum sang klien pergi terlebih dahulu. Abyan tampak melonggarkan dasi lantas merilekskan otot leher.

Semua yang dilakukan Abyan, Tiana cermati. Abyan sangat lelah dan Tiana berpikir, kalau dilihat begitu, Abyan baru nampak sebagai manusia biasa.

"Pak Saputra pulang duluan, Pak?" tanya Tiana pelan.

Abyan menoleh. "Iya. Kamu sudah selesai di toilet?"

Tiana mengangguk. "Sudah, Pak."

"Ini." Tiana meraih selembar kertas tagihan restoran. "Simpan untuk laporan pengeluaran bulanan,” sambung Abyan.

"Baik, Pak."

Tiana bergeser sedikit agar Abyan bisa berjalan melewatinya lantas mengekori langkah Abyan keluar dari restoran.

Diam-diam Tiana mengagumi punggung Abyan. Lebar, kokoh, tampaknya nyaman bersandar di sana. Kalau saja Abyan tidak semenyebalkan itu, pasti Tiana sudah setuju dengan Siska untuk masuk ke dalam barisan penggemar Abyan.

"Kamu mau ngapain?" 

Tiana bingung mau menjawab pertanyaan Abyan terlebih atau melepaskan handle pintu mobil. "Pulang, Pak."

"Jam segini masih ada ojek online. Tagihannya masukkan ke dalam laporan pengeluaran bulanan saya. Uangnya besok saya ganti."

Tiana melepaskan handle lantas mundur beberapa langkah dan tak lama mobil Abyan pergi meninggalkannya sendirian di lahan parkir.

“Dih! Ngeselin!” teriak Tiana menghentakkan kaki.

***

Gue udah di kamar.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang