Tiana berhenti setelah lebih dari sepuluh kali mondar-mandir di depan kasur. Ekspresinya tiba-tiba berubah cepat. Ia menepuk tangan seolah mendapatkan ilham.
“Mungkin gue bisa minta bantuan mamanya Pak Abyan untuk jodohin Pak Abyan sama Alita! Kalau lihat dari reaksi Pak Abyan, dia takut sama mamanya. Nah, kalau mamanya yang suruh mereka untuk dating, pasti Pak Abyan enggak bisa tolak! Great Tiana, you are genius!”
Senyum Tiana hilang ketika pintu kamar kosnya diketuk. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutan kalau Allita yang mengetuk pintu kamarnya.
“Bisa kita bicara?”
Tiana menunjuk dirinya sendiri. “Aku?”
“Iya, bisa kita bicara sebentar?”
Tiana mengangguk cepat. Tentu ini kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Tiana menutup pintu lantas berjalan keluar kos, mengikuti langkah Alita.
Tiana memperhatikan punggung Alita. Baginya, sejak awal berjumpa, penilaian tentang Alita tidak berubah. Alita adalah wanita baik. Abyan dan Alita adalah dua sosok yang memiliki satu kesamaan, yaitu teliti dan gigih. Pikir Tiana, mungkin mereka memang cocok.
“Kita ngobrol di sana saja, bagaimana?” tanya Alita menunjuk salah satu bangku di taman.
“Oh, iya, boleh.”
Tiana duduk bersisian dengan Alita. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Senyum Chandra menyambutnya kala Tiana menoleh ke sebelah kanan.
“Hai,” sapa Chandra.
Ingin sekali ia menonjok senyuman Chandra, tetapi Tiana tidak mau lagi menyentuh Chandra. Cukup sekali raganya dirasuki Chandra.
“Saya minta maaf.”
Tiana kembali menoleh ke arah Alita. “Maaf?”
Alita tampak kesulitan menyembunyikan kegelisahannya. Pelan ia mengangguk. “Soal kejadian bubur kemarin dan setelahnya.”
Tiana meremas jemarinya sendiri. Tentu saja ia ingat dan sampai detik ini pun, Tiana belum punya alasan masuk akal akan tingkahnya memeluk Alita dalam linangan air mata.
“Maaf. Kemarin saya begitu emosional. Saya terkejut karena enggak ada yang tahu soal cara saya makan bubur,” sambung Alita.
Tiana coba mendengarkan sambil mengingat Chandra memintanya untuk membelikan satu porsi bubur dengan semua bahan pelengkap dipisah-pisah. “Saya—”
“Tolong jawab yang jujur. Saya tahu kamu yang minta OB kirim makanan itu ke ruangan saya,” potong Alita dengan nada suara yang mulai serak menahan tangis.
“Saya, saya ….”
“Kenapa? Pasti ada alasannya.”
Tiana menoleh ke arah Chandra dan sialnya Chandra hanya mengangkat kedua bahu, pertanda tidak bisa membantu Tiana.
“Kata Hesti, itu, hmm, sarapan Mbak hari itu tumpah di dapur. Mbak enggak sempat sarapan. Jadi, saya inisiatif beli makanan,” elak Tiana ingat kalau Hesti pernah bertanya apakah alasan Tiana membelikan Alita sarapan adalah karena kasihan makanan Alita tumpah.
Alita diam, pelan ia menurunkan sebuah buku sketsa dari dekapannya. “Apa … kamu pernah bertemu dengan dia? Apa kamu mengenal dia?”
Tiana meraih buku yang disodorkan Alita. Baru membuka lembar pertama, Tiana hampir menjatuhkan buku Alita. Spontan Alita menoleh ke arah Chandra.
Chandra tertawa pelan lantas tersenyum. “Bagaimana? Gambarnya sangat mirip aku, ‘kan? Alita itu pandai melukis. Bakat luar biasa.”
Tiana kembali menatap wajah Chandra yang terlukis di buku sketsa. Chanda benar, kemiripan gambar dengan wajah aksi Chandra hampir seratus persen, seperti potret yang dicetak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomanceKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...