KM 08. Bencana

104 19 1
                                    

Entah sudah berapa lama Tiana mondar-mandir di depan lemari pakaiannya, sesekali ia mengintip kamar kos Alita yang tepat berseberangan kamar melalui sela gorden jendela.

Cepat Tiana kembali menutup gorden. “Kenapa gue harus setuju sama itu makhluk jejadian? Ish!” gerutu Tiana memukul-mukul kepalanya sendiri.

Dua permintaan Chandra yang sudah disepakati terus terngiang di kepala Tiana. Pertama, meminta Tiana untuk mau berkawan dengan Alita. Oke, itu tidak masalah. Tiana bisa menyanggupi itu, tetapi permintaan kedua ….

Tiana mengacak-acak rambutnya sendiri lalu menghempaskan tubuh ke ranjang. “Bagaimana jodohin Alita sama Pak Abyan? Gue saja belum bisa nemu jodoh buat diri sendiri! Gila kali tuh setan!”

“Kenapa lo?” tanya Hesti yang tiba-tiba masuk ke kamar Tiana dengan membawa baki berisi dua mangkuk mie instan.

Tiana bangkit, ia belum yakin kalau Hesti akan mendengarkan ceritanya, lebih baik ia tidak menjawab pertanyaan Hesti. “Lo bawa apa? Lo … masakin gue? Loh, tumben. Pasti ada maunya.”

Hesti tersenyum lalu duduk di sebelah Tiana. Memang, tebakan Tiana tidak meleset . Alasannya mau repot-repot memasakkan sesuatu buat Tiana adalah misi mengorek info tentang apa yang sedang Tiana alami karena rumor di kantor soal Tiana yang suka bicara atau marah-marah sendirian di kantor semakin menggila.

“Kenapa, sih? Curiga amat. Memangnya enggak boleh? Gue kasihan saja lo selalu pulang telat. Jadi, gue masakin lo. Kita juga sudah lama enggak makan malam berdua kaya begini.”

Tiana melirik mie, sayuran serta telur di dalam mangkuk. “Tumben bisa so sweet gitu, tapi sayang gue enggak percaya sama alasan lo."

Hesti menurunkan salah satu mangkuk, lantas menggesernya ke arah Tiana. “Ah, bawel! Curigaan terus sama gue. Kita makan dulu."

“Memangnya sehabis makan kita mau ke mana?”

Hesti berhenti mengaduk mie dalam mangkuknya. “Enggak kemana-mana, tapi kalau mau pergi, akhir minggu ini gue ada waktu.”

Asap tipis mengepul ketika Tiana menarik mie dengan garpu. Ia meniup perlahan lalu menyantapnya. “Enggak bisa. Gue sudah ada janji sama Satrio. Mau nonton.”

Seketika nafsu makan Hesti hilang. Ketimbang mie yang ada di hadapannya ucapan Tiana jelas lebih menggoda. “Lo? Satrio? Kalian?”

Tiana mengelap bibir dengan punggung tangannya lalu mengangguk. “Iya.”

“Kok lo enggak cerita sama gue?” protes Hesti mencubit pinggang Tiana.

“Ish, sakit! Bagaimana mau cerita, gue sampai kos, lo sudah tidur, terus weekend lo sibuk sama bebep. Enggak ada waktu,” elak Tiana kembali menyantap makanannya.

Hesti terdiam mengamati sahabatnya yang tampak rakus menyantap mie buatannya. Tiba-tiba rasa bersalah itu sungguh mendera dada. Setahunya, Tiana adalah tipikal wanita yang cenderung tidak mau ambil pusing terhadap sesuatu hal, tetapi melihat kenyataan Tiana suka bicara sendiri, meyakinkan Hesti kalau Tiana depresi karena tekanan pekerjaan dari Abyan.

Selain itu, Tiana juga benar. Beberapa waktu belakangan juga Hesti jarang mengirimkan pesan. Hesti sibuk karena sebentar lagi akhir bulan dan urusan gaji karyawan berada di bawah tanggung jawabnya. Namun, ia tidak bermaksud mengabaikan Tiana.

“Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita sama gue,” ucap Hesti.

Tiana melirik Hesti yang kini wajahnya berubah sendu. “Lo kenapa? Tiba-tiba melow begitu?”

Hesti menarik mangkuk dari tangan Tiana, menaruhnya di lantai, lantas ia menggenggam erat tangan Tiana. “Ti, dengar, gue bisa bantu bayar setengah dari denda kontrak. Lo enggak perlu memaksa diri lagi. Lo bisa resign sekarang. Gue serius.”

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang