KM 06. Suka?

93 22 0
                                    

Kamu bisa mendengar saya?

Kamu bisa melihat saya?

Dua pertanyaan itu tentu tidak Tiana jawab. Ia memilih lari meninggalkan lorong toilet, belok ke koridor tangga darurat, bergegas menaiki anak-anak tangga menuju ruangannya.

Tangan Tiana gemetar mencari ponsel di antara tumpukan berkas. Mata dan jemarinya mencari nama Hesti di kontak panggilan sementara air mata sudah luruh melajur banjir di kedua pipi.

"Tiana."

Tiana berbalik cepat ketika ada yang menepuk punggung. Ponselnya terlepas begitu saja. Suara yang coba ditahan akhirnya tumpah ruah, tanpa peduli kalau yang ada di hadapannya adalah sang atasan, Tiana menghambur—mendekap Abyan. Tangisannya semakin menjadi ketika punggungnya ditepuk-tepuk Abyan.

***

"Besok kita jalan-jalan. Kita belum refreshing lagi. Gue punya referensi tempat makan baru,” usul Hesti sembari memeras kain lantas meletakkannya kembali di dahi Tiana.

"Jalan-jalan? Tumben lo enggak nyuruh gue ke dokter?"

"Obat orang stres itu healing, Sayangku."

Tiana melepaskan kain dari dahinya lalu duduk menatap Hesti. "Gue enggak stress Hes. Lo enggak percaya sama gue?"

"Gue mau percaya, tapi lo sendiri tahu, kan kalau gue pengecut. Gue sering ditinggal sendirian di ruang personalia. Gue takut kalau obrolan kita makin melantur jauh ke hal mistis," tutur Hesti dengan suara semakin rendah.

"Gue enggak salah lihat dan yakin enggak salah dengar." Tiana mencengkram kedua lengan Hesti. "Lo yakin enggak ada cerita tentang yang aneh-aneh di kantor? Semisal anak SMA meninggal bunuh diri atau bagaimana? Atau mungkin dulu kantor itu bekas gedung sekolah?"

Hesti melepaskan tangan Tiana. Entah mengapa bulu kuduknya berdiri. “Ih, kita enggak usah bahas ini dulu bisa enggak? Setahu gue dulunya lahan kantor itu bekas pabrik gula.”

“Mungkin—”

“Jangan berspekulasi aneh-aneh!” potong Hesti cepat sembari bergidik mengusap tengkuknya. “Lagian kalau memang ada hantu di kantor, dari dulu gue pasti sudah dengar selentingan begitu, nyatanya enggak ada Ti.”

“Setiap tempat pasti ada penghuni selain manusianya.”

Hesti menggeplak dahinya sendiri. “Ih, batu banget lo kalau dikasih tahu! Sudah dibilang jangan bahas masalah beginian! Gue kan bilang, mungkin itu cuma halusinasi!” omel Hesti yang jengkel bercampur takut.

“Hes gue yakin. Ini enggak mungkin salah lihat. Sudah tiga kali Hes! Tiga!” balas Tiana tidak mau kalah.

“Sumpah, lo itu termasuk orang yang paling enggak peduli dengan urusan beginian. Kalau memang lo bisa lihat begituan, kenapa enggak dari dulu Tiana? Lo sendiri barusan yang bilang tiap tempat ada penghuninya selain manusia. Kita sudah melewati banyak tempat angker termasuk kampus kita, bangunan kantin tua di belakang gedung dekan. Enggak mungkin kalau lo enggak pernah dengar cerita tentang tempat itu, tapi lo enggak pernah aneh-aneh atau lihat goib-goib kek gitu!” cerocos Hesti yang kemudian bangkit.

Tiana diam. Ucapan Hesti memang ada benarnya juga. Kalau memang Tiana punya kemampuan mendeteksi dunia mistis, mengapa baru sekarang? Seharusnya intuisi Tiana sudah terasah dari dulu, kan? Bahkan kalau diingat, ia paling tidak peka kalau teman-temannya merasakan hal tidak wajar.

Nyatanya sumpah demi apapun, Tiana tidak berhalusinasi. Bahkan penampakan siswa itu bukan hanya di kantor, tetapi di sini. Di bawah pohon jambu, depan rumah kos.

Tiana tiba-tiba bangkit lalu menarik tangan Hesti. “Ayo, ikut gue!”

“Ih, ke mana?”

Tidak menjawab, Tiana mencengkeram lebih erat tangan Hesti lalu menariknya keluar dari kamar. Sikap berontak Hesti membuat jarak sepuluh meter dari kamar menuju halaman kos terasa berat. Tiba di luar, Tiana melepaskan pergelangan tangan Hesti.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang