"Memang enggak bisa tuh orang kalau enggak nyiksa gue," gerutu Tiana coba menggapai tombol lift dengan satu tangan sedangkan tangan lain penuh membawa tumpukan berkas. "bisa-bisanya dia nyuruh gue sendirian bawa berkas segini banyak ke atas dari parkiran," omelnya lagi sembari menatap urutan angka-angka lantai lift yang mulai turun.
Semakin dekat, entah mengapa tiba-tiba Tiana mundur beberapa langkah. Ia menoleh ke kiri dan kanan karena merasa tengkuknya dibelai angin. Perasaannya semakin tidak karuan. Terlebih debar jantung Tiana mulai naik hingga membuatnya sesak.
Perlahan pintu lift terbuka. Satu-satu per satu orang di dalamnya keluar melewati Tiana yang diam mematung dengan mata tertancap pada seorang siswa sekolah menengah atas yang keluar paling terakhir.
Siswa itu sempat menatap Tiana, tetapi Tiana tidak mampu membalasnya. Hanya ekor mata yang mengikuti langkah siswa itu.
"Kenapa kamu masih di sini?" Suara dari orang yang dibencinya membuat Tiana sontak menoleh. Abyan mengendurkan dasi lantas kembali menekan tombol pintu lift dan tak lama pintunya terbuka. "Kamu mau sampai kapan berdiri di situ?"
Nada suara Abyan biasa saja. Tidak ada bentakan sama sekali, tetapi entah mengapa tiba-tiba tangis Tiana meledak begitu saja.
***
"Kamu mau diantar pulang?" Siska duduk di sebelah Tiana, lantas menyentuh dahi Tiana. "Kamu demam."
Tiana menggigit bibir lantas menggeleng. "Enggak apa, Mbak. Aku cuma kaget."
"Pak Abyan bentak kamu?"
Tiana kembali menggeleng. "Enggak, Mbak. Saya, saya juga enggak tahu kenapa."
"Kamu pucat. Saya minta Satrio atau supir kantor antar kamu pulang, ya? Atau kalau enggak kita ke klinik dulu, bagaimana?"
"Enggak perlu, Mbak."
"Kamu kenapa? Enggak mungkin kamu enggak kenapa-kenapa. Kamu pucat gitu Tiana."
"Saya ... tadi lihat-"
"Ika, batalkan jadwal meeting saya dengan Pak Danu."
Refleks Ika menatap Abyan yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. "Baik, Pak," jawabnya lalu memutar kursi kembali menghadap layar monitor.
Abyan beralih menatap Tiana yang berusaha sekeras mungkin agar tidak menatap si bos freak.
"Ambil tas kamu. Kita pulang." Perintah Abyan membuat Tiana menoleh padanya. "Saya enggak perlu ulang ucapan saya, 'kan Tiana?"
Tiana mengerjapkan mata. "Iya, Pak."
"Ambil tas kamu. Saya antar kamu pulang."
"Enggak perlu, Pak," tolak Tiana mentah-mentah.
Abyan diam sesaat. "Ini bukan tawaran."
Tiana merasakan senggolan di pinggangnya dan tak lama Siska berdeham. Tiana paham akan kode dari Siska, tetapi sungguh ia sedang tidak mau berdekatan dengan Abyan.
"Terima kasih, Pak, tapi-"
"Kamu pikir saya juga suka melakukan ini? Kamu sendiri tahu jadwal kerja saya padat, tapi saya enggak bisa diam saja dengar isu kalau saya yang buat kamu begini."
"Pak."
"Setelah antar kamu, saya harus kembali ke kantor. Semakin cepat kita pergi, akan semakin bagus."
Siska membuka laci lalu mengeluarkan tas milik Tiana. "Kalau ada apa-apa, kabari, ya Ti."
Tiana menarik nafas dalam-dalam, meraih tas lantas bangkit. "Baik, Mbak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomansaKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...