KM 03. Neraka Berwujud Manusia

151 25 7
                                    

"Makanan sudah datang. Maaf lama, tadi macet di persimpangan depan sana," cerocos Hesti menaruh dua bungkusan plastik di atas meja. Tidak mendapat respon dari lawan bicara, Hesti mendekati Tiana yang sibuk dengan laptopnya. "Lo … ngapain?" tanyanya lantang terkejut melihat Tiana tampak serius membaca info lowongan pekerjaan.

"Cari kerja.”

Hesti menutup laptop Tiana. "Cari kerja? Maksudnya bagaimana? Hari ini hari pertama lo masuk kerja, loh! Hari pertama, loh! Ada apa?"

Tiana menarik nafas dalam-dalam. "Iya, tahu. Gue masih males buat cerita. Nanti saja ceritanya.”

Hesti duduk di sebelah Tiana. "Ada apa? Si ganteng kenapa? Tadi dia tiba-tiba pulang. Ada apa?”

"Si ganteng? Siapa?"

"Pak Abyan."

Tiana terbahak lantas merebahkan dirinya di kasur. "Si ganteng? Maksud lo si freak?"

Hesti menarik tangan Tiana, memaksanya untuk kembali duduk. "Ada apa, sih?"

"Dibilang gue males ceritanya."

"Ih, apaan?" desak Hesti.

“Nanti gue cerita.”

“Apaan, sih? Sekarang! Enggak ada nanti-nanti!”

"Dia ngusir gue Hes.”

“Ngusir? Gimana? Ngusir bagaimana?”

“Sumpah aneh! Dia liat gue sudah kaya liat hantu!"

"Tunggu, maksudnya gimana?"

“Gue juga enggak ngerti. Pokoknya begitu!”

Hesti diam sejenak. “Ini pasti cuma salah paham. Gue kenal sama Pak Abyan.”

“Bukannya lo sendiri yang cerita kalau dua kandidat sebelum gue hanya bertahan kurang dari seminggu? Mungkin karena mereka sadar kalau atasannya itu adalah neraka berwujud manusia!”

Hesti tertawa pelan dan tawanya lenyap ketika disambut tatapan sinis Tiana. “Iya, sih, tapi bukan sepenuhnya salah Pak Abyan, sih. Mereka juga keluar baik-baik. Mereka mengerti kalau Pak Abyan perlu orang yang sudah biasa mengatur jadwal dan lainnya. Terlebih Mbak Ika juga sebentar lagi cuti.”

“Bodo amat.”

Melihat keteguhan dalam mata Tiana, Hesti mulai cemas. “Lo sudah tanda tangan kontrak Tiana dan lo harus bayar penalti Ti. Kandidat sebelumnya bisa keluar seenak jidat karena waktu itu belum ada sistem penalti. Atasan gue minta diberlakukan sistem seperti itu buat antisipasi karyawan selanjutnya keluar seenaknya."

“Gue enggak peduli. Gue tahu dan gue masih punya tabungan. Soal itu aman.”

Hesti kembali diam. Tiana tidak boleh gegabah. Tahu betul kalau sahabatnya ini sangat sulit dipatahkan keputusannya, tetapi kalau berhubungan dengan lelaki, Tiana pasti berubah pikiran. Hesti tersenyum menggoda.

“Lo sudah kenalan sama semua tim kerja lo?”

Tiana mengangguk. “Sudah.”

“Terus bagaimana?”

“Bagaimana apanya?”

“Tadi Satrio ke ruangan gue, tanya-tanya soal lo. Dia tahu kalau kita teman dekat.” Hesti diam sejenak memperhatikan ekspresi Tiana, “kayaknya dia tertarik sama lo,” lanjut Hesti berbisik.

Sejenak Tiana diam, merapikan rambut lalu tertawa pelan lantas menatap Hesti. “Ah, yang bener?”

Yakin kalau ikannya sudah memakan umpan, Hesti memasang wajah lebih serius. “Ih, beneran. Dengar, kontrak lo cuma enam bulan. Gue juga akan selalu dukung kalau seandainya lo dapat kerjaan yang lebih baik, tapi sekarang bukan saat yang tepat buat lo mendadak resign di hari pertama.”

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang