“Kamu enggak bermaksud meminjamkan uang itu sama Satrio, 'kan?”
Nyaris saja ponsel Tiana terjatuh dari genggamannya. Ia mendongak dan senyum menyebalkan Chandra yang sudah cukup lama tidak dilihatnya muncul kembali. Tiana membalik ponselnya.
“Kenapa memangnya? Jangan ikut campur!”
Chandra melipat tangan. “Kalau nanti kamu kena sial, jangan salahkan aku dan bilang aku enggak memperingatkan kamu.”
“Tumben lo ke sini,” kata Tiana coba mengalihkan topik pembicaraan.
Senyum Chandra semakin melebar. “Abyan mau antar Alita pulang ke kosan. Sepertinya usahamu akan berhasil.”
Deg.
Apa pun itu, Tiana merasa dadanya terhunus tombak, tertembak peluru, atau apalah itu istilahnya yang membuatnya bahkan sulit bernapas. Tiana hanya mampu diam mendengarkan ocehan gembira Chandra dan lama kelamaan suara Chandra terdengar samar kemudian menghilang.
Bibir Chandra hanya bergerak-gerak tanpa ada suara yang keluar. Tiana coba mengerjapkan mata, kondisinya tetap sama. Rasa sesak itu malah naik ke ujung kerongkongan, membuat matanya terasa panas.
“Tiana? Tiana!”
Kursi kerjanya berputar. Kali ini tiba-tiba matanya menatap Abyan. Tiana bangkit hingga Abyan mundur selangkah.
“I-iya, Pak.”
“Pertemuan malam nanti dengan Bapak Wicak diundur. Kamu bisa pulang sekarang. Saya juga mau pulang.”
Jas yang tadi pagi dikenakan Abyan sudah disampirkan di lengannya, dasinya pun sudah tidak dikenakan, satu kancing kemeja yang paling atas juga sudah dibuka.
Ya, Abyan bersiap pulang.
Tidak mendapat jawaban dari Tiana, Abyan melangkah pergi menuju lift. Awalnya Tiana hanya mengamati langkah Abyan dan tepat ketika pintu lift terbuka, Tiana berteriak, “Ian!”
Abyan urung masuk. Ia membiarkan beberapa staf melewatinya lantas berbalik menatap Tiana. “Apa kamu enggak bisa panggil saya dengan sebutan selain itu di kantor?”
Tiana menggeleng, ia menarik kedua tangannya ke dada, berharap debaran di dalam sana bisa tidak terlalu menggila. “Kamu mau pulang? Kita … searah. Aku bisa ikut kamu?”
Abyan cepat menggeleng. “Enggak bisa.”
Entah apa yang mendorong Tiana untuk berlari mendekati Abyan. “Kenapa memangnya?”
Tatapan Abyan menukik tajam menusuk mata Tiana. “Apa urusannya sama kamu? Kenapa saya harus jawab pertanyaan kamu?”
Tiana mengerjapkan mata lalu tertawa walau ia sadar tidak ada yang perlu ditertawakan. “Aku, aku sekertaris kamu. Sudah sewajarnya kalau aku tahu ke mana saja atasan aku pergi.”
Satu alis Abyan naik. “Sejak kapan kamu peduli tentang pekerjaan kamu?”
Kali ini Tiana balas menatap tajam Abyan, bahkan ia berkacak pinggang. “Aku masih menjadi karyawan perusahaan ini. Kamu sendiri yang bilang kamu atasan aku dan aku bawahan kamu,” balasnya tidak mau kalah.
Abyan mengangkat pergelangan tangan, layar jam tangannya di arahkan pada Tiana. “Sudah lewat dari jam lima dan saya tadi bilang kamu boleh pulang, kamu enggak lembur. Jadi, sekarang kamu dan saya sudah bukan atasan dan bawahan. Sekarang saya permisi karena ketimbang meladeni kamu, saya ada urusan yang lebih penting.”
Lift kembali berdenting, pintunya terbuka lebar, Abyan masuk dan perlahan pintunya menutup kembali. Tiana masih diam dalam posisi yang sama. Ia menggigit kencang bibir sedangkan dadanya tampak naik turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomanceKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...