Helaan nafas Tiana membuat wajahnya lebih kusut dari selembar kertas yang diremas. Dahinya mengernyit ketika ia mengusap-usap rona lebam ungu kebiruan di pundak.
Tiana merapikan kembali kemeja lantas menatap lekat-lekat bayang diri di dalam cermin. Gagal sudah rencana kencan dengan Satrio. Namun, yang saat ini menyita hampir sebagian besar kepala Tiana adalah urusan yang terjadi antara dirinya dengan Chandra
Sentuhan Chandra di pundaknya seperti sengatan listrik. Panas, menyakitkan, jantung Tiana seakan berhenti sesaat dan yang paling membuatnya tidak bisa melupakan sensasi itu adalah perasaan seperti ditarik kebelakang sampai tak sadar kalau ia menjerit sekencang-kencangnya.
Tiana menoleh ke kiri dan kanan lantas keluar dari toilet. Perlahan ia berjalan kembali menuju kubikelnya. Sejenak ia menatap lembaran kertas berserak di meja. Pikirnya sebaiknya segera menyelesaikan tugas menyebalkan dari Abyan agar bisa cepat pulang. Ia ingin tidur.
Suara denting dari arah lift membuatnya menoleh. Bibir Tiana gemetar, khawatir firasatnya benar. Rasa-rasanya belum siap bila bertemu Chandra. Namun, wajah yang Tiana lihat ketika pintu lift terbuka membuat pupil matanya melebar.
"Hai." Satrio tersenyum lebar, melambaikan tangan, mendekati Tiana lantas meletakkan bungkusan yang dijinjingnya di atas meja. "Kamu sudah sarapan?"
"Hah?"
Satrio mengibaskan pelan telapak tangannya di hadapan Tiana. "Sudah makan belum?" ulangnya.
"Kamu ... ke sini?" tanya Tiana tak percaya.
"Aku baru ingat kalau ada hal penting yang harus diselesaikan sebelum Senin. Jadi, aku bisa temani kamu di kantor. Kebetulan."
Senyum cerah akhirnya bisa terlukis juga di wajah sendu Tiana. "Kebetulan yang melegakan. Terima kasih, ya."
Satrio menggaruk belakang kepalanya. "Terima kasih kenapa? Biasa saja. Aku bawa laptop, bisa numpang duduk di situ?" tanya Satrio menunjuk meja tempat Tiana biasa menaruh rak dokumen.
"Oh, iya, bisa. Ini raknya diturunkan dulu, sebentar."
Satrio menurunkan ranselnya lantas membantu Tiana merapikan meja lalu menarik salah satu kursi dari kubikel yang tak jauh dari meja kerja Tiana.
"Mudah-mudahan aku enggak ganggu kamu, ya?" ucap Satrio yang mulai membongkar ranselnya.
Lagi-lagi senyum terukir di wajah Tiana. Cepat ia menggeleng. "Enggak, kok. Aku malah lega karena ada yang menemani. Satrio, hmm ... maaf, ya. Seharusnya kita enggak ada di sini."
"Bukan salah kamu, kok. Kamu bilang saja kalau perlu bantuan, supaya kita cepat pulang. Memang kita enggak bisa nonton hari ini, tapi kalau makan bersama, tetap bisa, kan?"
Tiana mengangguk-angguk cepat. "Iya, bisa!" jawabnya penuh semangat.
Satrio membalas dengan tersenyum cerah yang tentu membuat Tiana meleleh kepanasan.
***
Sesekali Tiana melirik ke arah Satrio, sesekali melirik ke arah jam dinding dan sesekali tercenung menatap lembar dokumen yang berserak di mejanya. Ia menarik nafas dalam-dalam lalu sejenak memejamkan mata.
"Fokus, Tiana biar lo cepat-cepat pulang," batin Tiana.
Suara derit roda kursi membuat Tiana refleks menoleh. Tubuhnya membeku sesaat ketika matanya bertemu jelas dengan mata Satrio. Wajah keduanya kompak merona saat tersadar wajah mereka hampir bersentuhan.
Tiana sering melihat adegan ini dalam drama-drama romantis, tetapi tidak pernah berani membayangkan terjadi dalam drama percintaan miliknya. Sepertinya pemilik alam semesta sedang berbaik hati pada Tiana.
"Sorry," gumam Satrio yang dibalas gelengan pelan oleh Tiana.
Tiana bisa merasakan denyut jantungnya naik. Hangat terpaan nafas Satrio membuatnya kelabakan. Apa yang harus Tiana jawab? Apa lebih baik memejamkan mata? Menanti apa yang terjadi di drama romantis?
"Saya minta kamu datang untuk bekerja!"
Refleks Tiana mendorong wajah Satrio menjauhi dirinya lalu bangkit cepat hingga kursinya terjungkal. Suara dari neraka itu, Tiana hafal betul siapa pemiliknya.
Bapak Abyan Haidar yang terhormat. Seseorang yang selalu melabeli Tiana dengan kata pemalas, ceroboh, lamban, tidak becus serta semua arti berkonotasi negatif lain.
Tiana memutari kubikel lantas mendekati Abyan yang berdiri di depan lift. "Ba-Bapak? Bapak ... datang?"
Abyan tidak langsung menanggapi, ia membuka jaket lantas menyerahkannya pada Tiana. "Kenapa memangnya?"
"Bapak enggak bilang sama saya."
"Kenapa saya harus bilang sama kamu?"
"Hmm, itu, maksudnya -"
"Supaya kamu enggak terganggu pacaran sama Satrio?" potong Abyan.
Tiana menoleh ke arah Satrio. Lelaki itu tampak kesal sekali. Semua yang dituduhkan Abyan toh tidak sepenuhnya benar. Niat Tiana datang ke kantor adalah untuk bekerja. Bahkan ia tidak tahu kalau Satrio pun datang ke kantor.
"Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak. Materi presentasi dengan Mitra Abadi, Bapak minta senin harus sudah selesai. Jadi, saya mau selesaikan hari ini," ungkap Satrio akhirnya bersuara.
"Kalau kalian ingin melakukan aktivitas selain bekerja, lakukan di luar kantor. Tiana, bawa referensi yang sudah kamu kerjakan. Saya tunggu di ruangan," titah Abyan yang kemudian masuk ke ruangannya.
Tiana menarik nafas dalam-dalam lantas berjalan kembali ke kubikelnya lalu menyampirkan jaket Abyan di sandaran kursi. "Satrio, maaf."
Satrio tampak menutup laptop lantas meraih ranselnya. "Enggak apa-apa, aku ke kubikelku saja, ya? Nanti kamu malah kena marah lagi."
"Maaf Satrio."
Satrio tersenyum, menepuk pelan lengan Tiana lantas pergi menuju kubikelnya.
Tiana menggigit gemas bibir dalamnya lantas bergegas merapikan dokumen di meja. "Bisa-bisanya dia datang," cicit Tiana kemudian setengah berlari pergi ke ruangan Abyan.
Meski terbuka, sebelum masuk Tiana mengetuk daun pintu ruangan Abyan.
"Masuk."
Tiana tersenyum lantas meletakkan beberapa lembar dokumen di meja Abyan. Abyan meraihnya, mengamati tiap tulisan yang tercetak dalam kolom. Dahinya mengerut semakin dalam saat meletakkan kembali lembar dokumen di meja.
"Kamu datang ke kantor jam berapa? Mulai kerja jam berapa?"
"Seperti biasa, Pak. Jam delapan."
Abyan melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. "Ini sudah mau jam makan siang. Ngapain aja kamu dari tadi? Pacaran?"
"Enggak Pak! Satrio belum lama datang!" elak Tiana.
Abyan bangkit meraih laptopnya. "Ikut saya."
"Kemana, Pak?"
"Kamu pikir saya ke kantor mau ngapain? Olahraga? Pacaran? Kita ke tim lapangan, kamu kerja di bawah saja."
"Tapi Satrio bagaimana, Pak?"
Abyan mencondongkan wajahnya ke wajah Tiana. "Memangnya saya peduli? Saya enggak minta Satrio untuk datang ke kantor. Jadi itu bukan urusan saya. Cepat ikut saya."
Berat Tiana mengekor di belakang Abyan, sejenak ia diam di depan pintu lift. Kepalanya refleks terarah ke kubikel Satrio. Lelaki itu tampak larut di depan laptop. Satrio rela melepaskan satu hari liburnya untuk bekerja sambil menemani Tiana, tetapi si iblis Abyan malah mengacaukan segalanya.
Kepala Tiana menoleh ke arah Abyan yang tampak mengutak-atik ponsel. Cermat Tiana menelisik Abyan dari ujung kepala hingga kaki. Pakaian kasual Abyan tiba-tiba membuat Tiana tidak bisa melepaskan mata dari atasannya.
T-shirt tangan panjang cokelat muda dipadu dengan celana chino hitam juga rambutnya yang dibiarkan tanpa ditata seperti biasa membuat Abyan jauh lebih menarik. Bahkan ketika Abyan menyugar rambutnya yang membuat sedikit berantakan, sontak tanpa sadar Tiana mengagumi Abyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomanceKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...