KM 02. Mr (Not) Simple

170 33 5
                                    

"Pak, Bapak dengar saya, 'kan, Pak?"

Pertanyaan Siska membuat langkah Abyan terhenti di pertengahan lorong. Ia berbalik menatap sekertarisnya yang tampak kesulitan mengatur nafas.

"Iya, saya dengar."

Siska mengangguk. "Kalau begitu yang akan menemani Bapak bertemu klien sore nanti adalah pengganti saya, ya, Pak?"

Dahi Abyan mengerut tanda tidak setuju atas usul Siska. "Kenapa begitu? Seharusnya kita bertiga bukan?"

"Pak, saya sudah minta izin sama Bapak dari minggu lalu kalau saya mau check up kandungan, loh, Pak."

Abyan kembali mengerutkan dahinya. "Memang begitu, ya?"

"Iya, Pak."

Abyan diam sejenak. "Kalau begitu, oke," timpal Abyan kembali meneruskan langkahnya.

"Pak, tapi saya mohon sama Bapak, jangan aneh-aneh, ya, Pak. Bulan depan saya sudah cuti, Pak."

Abyan kembali berhenti, nyaris Siska menabraknya. "Saya enggak begitu Ika."

Siska menarik nafas dalam-dalam. "Pak, saya enggak punya calon cadangan lagi, loh, Pak. Jangan galak-galak, ya, Pak."

Abyan tertawa. "Sejak kapan saya galak. Saya enggak begitu."

Sebenarnya Siska malas menanggapi, ia tahu sang atasan selalu mencari cara agar dirinya bisa setuju untuk mengambil keputusan ketimbang cuti melahirkan lebih baik ambil status bekerja dari rumah saja. Intinya Siska tetap mengurus semua jadwal Abyan.

"Pak, pokoknya saya cuti tiga bulan ya, Pak. Sesuai dengan regulasi kantor," tegas Siska.

"Iya, saya tahu. Saya ...."

Kalimat Abyan terhenti kala melihat beberapa staf keluar dari lift di ujung lorong. Ritme debar jantungnya menggila saat menatap senyum dari seseorang yang sangat dikenalnya.

Refleks Abyan berbalik lantas berjalan cepat menjauh dari tujuan awal pergi ke lantai lima menuju ruangannya. Teriakan Siska yang berulang kali memanggil namanya tidak Abyan pedulikan.

Setengah berlari Abyan tergesa berbelok masuk ke dalam toilet. Bulir keringat di dahi seolah tampak seperti Abyan baru saja lari maraton lebih dari lima puluh kilometer. Dengan tangan gemetar ia membuka keran lantas berkali membasuh wajahnya.

Senyum yang baru saja dilihatnya pasti bukan sekadar imajinasi belaka atau ... mungkinkah memang benar? Padahal Abyan tidak sedang memikirkan hal buruk yang pernah singgah dalam hidupnya. Ia tidak mau menyimpulkan apa yang baru saja dilihatnya. Khawatir kenyataannya adalah ia tidak berhalusinasi.

"Pak? Pak Abyan? Pak?" Suara cemas Siska membuat Abyan menoleh cepat. "Pak?" ulang Siska sembari menggedor pintu.

"Se-sebentar Ika. Perut saya sakit," elaknya.

"Bapak enggak kenapa-kenapa? Butuh obat?"

"Enggak. Kamu pergi ke atas duluan saja, nanti saya nyusul."

"Bapak yakin?"

"I-iya Siska."

"Baik, Pak."

Suara langkah Siska terdengar menjauh. Abyan kembali menatap wajahnya di cermin toilet. Berusaha keras mengatur deru nafasnya.

Sial.

Semua yang terjadi di masa lalu berkelebat nyata ketika ia menutup mata. Abyan menggeleng.

"Enggak! Jangan konyol!" desisnya.

Kejadian yang telah coba ia lupakan tidak mungkin bisa menjelma sangat nyata. Abyan kembali menarik nafas dalam-dalam.

"Enggak Abyan, kamu harus tenang. Kamu harus memastikan. Kamu bukan remaja ingusan lagi. Kamu lelaki dewasa Abyan," cicit Abyan kemudian keluar dari toilet.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang