KM 21. Chandra

82 26 2
                                    

Abyan mengatakan kalau kondisi Alita membaik dan setelah diopname selama lima hari, Alita bisa pulang. Tiana ingin menemui Alita, ingin meminta maaf, tetapi Hesti selalu mencegah Tiana menemui Alita dengan alasan takut Alita kembali terguncang, takut melakukan hal gila lagi.

Lembar terakhir keluar dari mesin fotocopy. Tiana meraih tumpukan berkas yang harus ia gandakan rangkap tiga kemudian ia menarik napas dalam-dalam.

Pandangan Tiana tanpa sengaja menatap ke luar jendela. Ia menyipitkan mata. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat pohon rindang yang berada di ruko pertokoan di depan kantor dan yang menarik perhatian Tiana adalah Chandra berdiri di sana bersama seorang wanita paruh baya yang mengenakan sweater rajut hijau.

“Tiana, dokumen itu harus selesai hari ini. Kamu lembur—”

“Sebentar,” Tiana memotong kalimat Abyan, ia menaruh tumpukan berkas di meja, sejenak menatap Abyan lantas berlari pergi.

Sinar mentari senja menerpa wajah Tiana ketika ia melangkah tergesa keluar dari lobi. Wanita paruh baya yang berdiri di sebelah Chandra adalah keluarga dari Alita.

Langkah Tiana terhenti. Tangis Chandra menembus masuk ke dalam dadanya. Ada banyak pertanyaan tentang hubungan Alita dengan Chandra yang ingin Tiana cari jawabannya, tetapi mendengar tangisan Chandra seperti ini, sekarang Tiana ingin tahu siapa Chandra sebenarnya.

“Maafkan Chandra. Bunda, Chandra bersalah.”

Jadi, itu ibunya Chandra, batin Tiana.

Saat pertama kali melihat rupa Chandra dengan penuh darah, Tiana takut, tetapi sekarang Tiana merasa hatinya perih. Kuat Tiana menggigit bibirnya sendiri. Ia coba menguatkan diri mendekati wanita yang dipanggil bunda oleh Chandra.

“Sore, maaf.”

Wanita itu melepaskan kacamata, lantas menyeka air matanya. Ia sempat tersenyum. Namun, senyumnya sirna ketika ia menatap wajah Tiana.

“Saya Tiana,” lanjut Tiana menjulurkan tangan.

Wanita itu kembali tersenyum lantas menyambut jabat tangan Tiana. “Ibu Euis Wati.”

Tiana coba tersenyum senatural mungkin. Tiba-tiba saja Tiana bingung, apa yang harus ia jelaskan pada Euis? Tiana mau dikenal sebagai siapa? Sebagai orang yang mencium Alita di depan orang hingga Alita berusaha mengakhiri hidupnya?

“Kamu teman kos Alita?” tanya Euis disambut anggukan kepala Alita.

“Iya. Saya yang kamarnya di seberang kamar Alita. Saya minta maaf.”

Euis berjalan mendekati Tiana, ia mengusap pipi Tiana dan kedua matanya sudah berkaca-kaca. “Alita benar. Saya bisa melihat Chandra dalam mata kamu.”

Mendengar nama Chandra disebut, Tiana sebentar menoleh ke arah Chandra lalu kembali menatap Euis. “Ibu ini, ibunya Chandra?”

Cepat Euis menyeka air matanya sebelum beranak sungai. “Bukan, saya ibu asuh Chandra dan Alita sewaktu mereka tinggal di panti.”

“Panti?”

Euis mengangguk. “Kamu kenal Chandra? Temannya Chandra atau Alita sewaktu sekolah? Sepertinya saya pernah lihat kamu, tapi lupa dimana.”

“Saya kenal Chandra, tapi kami bukan teman satu sekolah, saya juga bukan teman satu sekolah Alita.”

Euis diam, mengamati wajah Tiana sesaat kemudian menarik napas dalam-dalam. “Saya sudah kehabisan akal mencari alasan yang bagus agar Alita mau ikut saya pulang. Alita bilang, setelah lihat kamu, dia merasa Chandra akan segera datang menjemputnya.”

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang