Hari pertama tanpa Siska.
Tiana gugup?
Ya, sangat.
Ia sudah menuliskan apa saja yang harus dilakukan termasuk datang lebih awal dari Abyan. Walau telah mempersiapkan segalanya, Tiana tetap tidak percaya diri.
Laporan rencana harian sudah ia baca berulangkali hingga yakin minim kesalahan. Intinya tidak boleh memancing si mister freak untuk tantrum.
Suara denting lift terdengar dan pintunya terbuka. Abyan keluar dari sana, sejenak bertatapan dengan Tiana yang cepat memberikan senyum karir.
"Pagi, Pak." Abyan hanya memberikan satu anggukan kecil lantas masuk ke dalam ruangannya.
Cepat-cepat Tiana berlari menuju pantri, menaruh sekantung teh hijau di cangkir menambahkan dua sendok madu lantas mengisinya dengan air panas.
Sebelum menyerahkan cangkir teh hijau madu ke ruangan Abyan, Tiana pun tidak lupa meletakkan dua bungkus roti gandum panggang.
Tiana mengetuk pintu, setelah Abyan mempersilakan masuk. Tiana tersenyum lalu meletakan cangkir berisi teh dan piring kecil berisi roti.
"Hari ini Bapak ikut rapat pagi? Saya print dahulu materi rapatnya, ya, Pak."
Abyan tampak menarik nafas, Tiana mulai gelisah karena jelas Abyan terlihat jengkel. "Kenapa kamu bertanya hal yang enggak perlu? Jelas saya akan ikut rapat pagi dan jelas saya butuh materi rapat." Tiana menggigit pelan bibirnya, khawatir batas kesabarannya lenyap dalam sekejap mata. “Kenapa kamu masih di sini? Mau tunggu apa lagi?”
Tiana pergi secepat yang ia bisa. Berkali-kali ia menarik embuskan nafas. Berharap tingkat kekesalan dalam diri bisa turun walau satu level. Biasanya rapat pagi para manajer berlangsung antara satu sampai dua jam. Syukurlah, Tiana bisa sedikit melonggarkan belitan si Freak Abyan.
Mesin pencetak berdengung, Tiana bersiap meraih kertas yang akan keluar, tetapi pandangannya teralihkan pada seorang office boy yang berjalan mendekat dengan membawa baki.
“Pagi, Mbak,” sapanya dengan logat jawa kental.
“Mau ada tamu, Mas?” tanya Tiana dengan tatapan berpindah dari cangkir dalam baki ke wajah sang office boy.
“Oh, ndak, Mbak. Pak Abyan biasa, minta antar teh hijau,” jawabnya.
Tiana tercekat. Bukankah tehnya sudah ia hidangkan? “Disuruh Pak Abyan?”
“Iya, Mbak. Saya antar dulu, ya, Mbak?”
“Iya.”
Selepas sang office boy masuk ke ruangan Abyan, Tiana diam seribu bahasa. Namun, bibirnya tampak gemetar dan kabut di matanya mulai turun. Mengapa Abyan menolak sesuatu yang sudah Tiana siapkan? Apa salahnya?
***
Walau teh dan camilan yang disediakannya selalu tidak disentuh Abyan, tetapi Tiana tetap nekat menyajikan semua yang diminta Siska. Meski semua yang telah disiapkan selalu saja dibawa keluar oleh office boy, Tiana berpegang teguh, ia hanya menjalankan rutinitas harian Siska.
Hari ini semua check list pekerjaan hampir seluruhnya selesai. Tugas terakhir mengirimkan jadwal esok hari pada Abyan. Jemari Tiana berhenti menekan tiap tombol di keyboard ketika ia sadar kalau besok, seharian penuh jadwalnya berada diluar bersama Abyan.
Gelenyar nyata yang beberapa hari belakangan tidak pernah dirasakan Tiana, tiba-tiba merambati tengkuknya. Tiana mengangkat dagu ketika mendengar bel lift berdenting. Detak jantung Tiana berhenti sedetik ketika ia melihat sang anak SMA keluar dari dalam lift bersama dengan Alita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomantizmKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...