KM 12. Kado Terakhir

79 19 0
                                    

Tiana sudah menguap untuk yang ke seratus kalinya di pagi ini. Sesekali ia mengusap mata. Lambungnya telah terisi penuh minuman kopi, tetapi rasa kantuk belum mau enyah dari matanya.

Lebar-lebar ia membuka mata lantas kembali mengerjapkan mata. Hari ini jadwalnya padat. Jadi, berharap bisa pulang tepat waktu rasanya mustahil. Siang nanti agenda Abyan bertemu dengan klien baru. Presentasi profil perusahaan dan lainnya pasti akan menyita banyak waktu.

Tiana melirik ke arah kubikel Satrio yang kosong lantas kembali memeriksa ponselnya. Pesan yang ia kirim sudah tercentang dua, tetapi belum juga dibaca oleh Satrio.

“Ulangi laporannya.”

Suara Abyan sontak membuat Tiana langsung bangkit, terhuyung dan jatuh di dekapan Abyan. Rasa kantuk Tiana sirna kala matanya beradu pandang dengan Abyan.

“Ma-maaf, Pak,” sesal Tiana cepat melepaskan diri dan mundur selangkah.

“Kalau enggak bisa begadang, enggak perlu sok begadang.”

Mata Tiana mengerjap. “Bapak tahu dari mana kalau saya begadang?”

Telunjuk Abyan menunjuk wajah Tiana. “Rambut berantakan, wajah kusam, kantong mata kamu saking besarnya bisa menjala paus.” Tiana mengusap kantong matanya. “Perbaiki laporannya. Salah satu angka saja, proyek kita bisa kacau dan saya enggak mau itu terjadi.”

“Baik, Pak.”

Baru saja Abyan hendak pergi, tetapi suara denting lift membuatnya diam sejenak. Ketika pintunya terbuka lebar. Seorang lelaki berpakaian sekuriti melangkah keluar. Wajah lelaki itu sudah bersimbah air mata, pelan ia menghampiri Tiana.

Tangannya gemetar menggenggam erat tangan Tiana. “Apa … istri saya yang antarkan ini, Mbak?” cicitnya disela tangis.

Tiana menggigit pelan bibir lantas menoleh ke arah Abyan. Seolah meminta bantuan akan jawaban terbaik yang harus diberikan.

Denting lift kembali terdengar, dua orang lelaki berseragam keamanan menghampiri dengan nafas tersengal-sengal. Salah satu di antaranya menarik tangan petugas keamanan dari kedua tangan Tiana.

“Maaf, Pak, tim saya mengganggu. Ayo, Bang, kita turun,” bujuknya.

Pak Udin menepis tangan rekannya dan malah kembali mencengkeram erat tangan Tiana. “Apa yang istri saya katakan, Mbak? Apa?”

Tiana kembali menoleh ke arah Abyan dan refleks Abyan menarik tangan Tiana. “Ada apa ini?”

***

Abyan yang duduk di sebelah Tiana menarik tangan Tiana yang sedari tadi tidak berhenti menusuk-nusuk telapak tangannya sendiri dengan ujung kuku.

Tiana sontak menoleh ke arah Abyan. “Hentikan,” ucap Abyan pelan.

Bibir Tiana gemetar, hampir saja air mata yang sedari coba ia tahan keluar. Pelan Tiana mengangguk lantas tersenyum tipis.

Abyan menarik nafas dalam-dalam. “Jadi, siapa yang pertama akan menjelaskan?” lanjutnya.

Pak Udin menyeka air mata. “Tadi pagi, Bang Usman kasih ini ke saya.”

“Usman?” ulang Abyan.

Pak Udin kembali menyeka air mata lantas mengangguk. “OB, Pak. Dia menemukan amplop berisi benda ini di pantri.”

“Dari mana Usman tahu kalau itu milik kamu.”

“Ada nama saya di amplopnya, Pak. Ini amplopnya, Pak.”

Abyan meraih amplop cokelat dari tangan Pak Udin. Abyan  coba menahan keterkejutan karena mengenali pemilik goresan pena yang tertera di permukaan amplop.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang