KM 22. Bimbang

92 24 8
                                    

Abyan kembali meraih ponselnya lantas membaca beberapa artikel yang telah ia unduh sebelumnya. Kebanyakan artikel berisi tentang manusia yang dianugerahi kemampuan berkomunikasi dengan makhluk halus dan sisanya penjelasan tentang kehidupan setelah kematian.

Pengakuan Tiana rupanya membuat Abyan sejenak mengenyahkan akal sehatnya. Semula, tingkah aneh Tiana dianggap Abyan sebagai ajang mencari perhatian. Namun, memang ada beberapa hal yang terasa sangat janggal.

Pertama, Tiana selalu bertingkah aneh ketika Tiana berada di sekitar departemen keuangan dan kalau ditelaah lebih dalam, memang Tiana aneh kalau berdekatan dengan Alita.

Kedua, di beberapa kejadian, Abyan merasa kalau sorot mata Tiana berbeda dan memang kalau diingat-ingat, sorot mata itu adalah milik Chandra.

Ketiga, keterlibatan Tiana soal anting-anting milik mendiang istri Pak Udin yang diam-diam ia kembalikan. Bagaimana caranya Tiana tahu soal anting-anting itu?

Keempat, pada hari Abyan membawa Alita ke rumah sakit, tanpa sengaja Abyan melihat Tiana bicara sendiri dan menyebut nama Chandra seolah-olah memang Chandra yang menjadi lawan bicara Tiana.

Semua kejadian ditambah pengakuan Tiana, memaksa Abyan untuk setuju kalau urusan yang membelit Tiana memang bisa melibatkan hal berbau mistis.

Abyan menoleh ketika mendengar ketukan dari pintu kamar. “Masuk, Ma,” ujarnya setengah berteriak.

Daun pintu terbuka, senyum Intan menyambut wajah Abyan. “Ayo makan, Mama sudah selesai masak.”

Abyan balas tersenyum, ia bangkit menghampiri Intan yang dengan sigap merangkul lengan Abyan. “Mama masak apa?”

“Ayam goreng.”

“Enak?”

Intan melepaskan rangkulan lantas memukul lengan Abyan. “Kalau dibandingkan sama masakan buatan ayahmu yang bekerja sebagai koki, ya enggak mungkin lebih enak masakan Mama, tapi ini lumayan. Mama simpan beberapa potong di kulkas, tapi belum digoreng. Besok, mau Mama goreng, kamu kasih ke Tiana, ya? Kalau kamu enggak mau kasih ke Tiana, biar besok Mama yang bawa.”

“Stop ganggu Tiana, Ma.”

“Mama mau bawain makan siang buat Tiana, itu enggak mengganggu. Kamu itu berlebihan. Pokoknya Mama enggak ganggu Tiana.”

“Mama enggak mau coba buka hati Mama buat kemungkinan yang lain? Semisal mendekati Alita?”

Intan menampilkan ekspresi berpikir cukup serius. “Nanti Mama pertimbangkan.”

Abyan mundur selangkah agar ibunya bisa berjalan melewatinya terlebih dahulu. “Kenapa masih dalam pertimbangan? Bukannya dulu Mama suka sama Alita, Mama penggemar lukisannya.”

“Siapa bilang Mama enggak suka sama Alita? Ya, sampai sekarangpun, Mama masih simpan lukisan Alita.”

“Mama lebih dahulu kenal Alita.”

Langkah Intan terhenti, ia berbalik memandangi wajah Abyan. “Kenapa?”

“Kenapa?” jawab Abyan menegaskan pertanyaan Intan.

“Ya kenapa tiba-tiba dari kemarin kamu memaksa Mama pertimbangkan soal Alita. Kamu suka sama Alita?”

“Mama sendiri paksa Abyan untuk suka sama Tiana.”

“Loh, memang kamu suka sama Tiana, toh? Abyan, kamu ingat teman kamu yang dahulu suka main ke rumah? Meski kalian masih kecil, tapi tatapan Alita ke teman kamu itu dalam sekali. Tatapan seseorang yang jatuh cinta Abyan.”

“Chandra, Ma.”

“Nah, iya. Namanya Chandra. Dia tinggal di Bandung sama Bunda Euis?”

“Chandra sudah meninggal, Ma.” Pupil mata Intan melebar, tangannya bergerak menutup mulutnya yang ternganga. “Chandra sudah meninggal,” ulang Abyan.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang