Tiana tidak akan bisa melupakan Alita yang tergeletak dengan mulut berbuih. Tiana tidak akan bisa melupakan umpatan Abyan pada pengemudi lain yang menghalangi laju mobilnya selama perjalanan menuju rumah sakit dan Tiana tidak akan bisa melupakan ucapan dokter yang mengatakan terlambat sedikit saja maka nyawa Alita tidak akan terselamatkan.
Kenapa bisa jadi begini, batin Tiana mengusap wajahnya.
Suara tangis Chandra menggema di dalam kepala Tiana. Amis bau darah mengisi rongga hidungnya. Tiana berpindah duduk ke bangku seberang, tetapi saat ia duduk, Chandra sudah ada di sampingnya lagi.
“Jangan menghindari aku.”
“Kenapa lo enggak diam saja di ruang ICU sana. Temani Alita,” ucap Tiana yang akhirnya bersuara.
Chandra menggeleng. “Aku enggak bisa.”
“Chandra, gue ingin bantu lo, tapi enggak begitu. Lo juga harus bisa menahan diri. Jadi, kalian itu sepasang kekasih?”
Chandra menggeleng lantas mengusap air matanya. “Bukan.”
“Lalu apa? Jujur, rasanya gue juga ingin mati. Gue dicap sebagai penyuka sesama jenis, Alita juga pasti digosipkan hal yang sama. Lo tahu sendiri kalau Alita bukan tipe yang bisa bicara sama orang lain, dia pasti pendam semuanya sendirian dan lo malah seperti itu.”
“Aku tahu. Ya, Alita memang enggak bisa bicara sama sembarang orang. Aku ingin kamu jadi temannya, aku ingin Alita bisa bicara tentang apa yang dia rasakan. Aku ingin Alita menganggap kamu sebagai teman.”
“Ya gue juga sedang usaha Chandra. Sabar.”
Chandra mengangkat kedua tangannya yang gemetar. “Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menyentuhnya lagi.”
Amarah dalam dada Tiana perlahan padam oleh air mata Chandra. “Gue mau keluar dari kantor.” Chandra menoleh, “gue akan usahakan Pak Abyan dan Alita berpacaran ketika gue keluar dari kantor. Gue janji. Walau gue enggak jadi teman Alita, Pak Abyan bisa jadi teman seumur hidupnya Alita. Mama Pak Abyan orang yang menyenangkan, Alita enggak akan pernah kesepian dan kesulitan lagi,” lanjut Tiana.
Perlahan seiring senyum terukir di wajah Chandra, darah serta luka-luka yang membasahi kepala Chanda menghilang sempurna.
“Kamu janji?”
Tiana mantap mengangguk. “Iya, asalkan lo juga janji bisa menahan diri.”
“Iya.”
“Tiana!” Sigap Tiana menoleh, Hesti tampak berlari tergopoh-gopoh menghampiri Tiana. “Maaf, gue lama, tapi gue sudah berusaha untuk secepat mungkin sampai ke rumah sakit.”
Tiana menarik tangan Hesti untuk duduk di sebelahnya. “Yakin enggak ada yang tahu soal Alita?”
Hesti masih coba mengatur napas. “Iya, gue izin pulang ke atasan bilang ada urusan keluarga.”
“Semua bisa semakin heboh kalau tahu kondisi Alita seperti ini.”
Hesti mengeluarkan ponselnya. “Gue sudah menghubungi kontak darurat Mbak Alita dari data karyawan, tapi sepertinya baru bisa datang besok.”
“Kalau begitu biar malam ini, gue yang jaga Alita.”
“Enggak perlu.”
Hesti dan Tiana kompak menoleh. Entah sejak kapan Abyan sudah berdiri menyandar di pilar rumah sakit yang berada di ujung deretan bangku dekat lorong menuju unit gawat darurat.
Tiana bangkit dari bangku besi rumah sakit dan berjalan menghampiri Abyan. Cemas menyergap Tiana, kepalanya mulai bertanya, sejak kapan Abyan berdiri di situ? Apa Abyan mendengar percakapannya dengan Chandra? Apa Abyan tahu Tiana sedang berusaha menjodohkannya dengan Alita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomanceKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...