“Saya sudah bicara dengan Alita. Dia hanya meminta untuk sementara waktu kamu enggak masuk ke ruangan finance.”
Tiana masih tertunduk lesu sembari sesekali terisak. “Maaf sudah merepotkan.”
Abyan tidak menanggapi, ia masih sibuk menatap pohon jambu dari balik jendela mobil. Ada beberapa hal yang tidak bisa ia mengerti. Tatapan mata Tiana yang dilihatnya di kantin berbeda dengan yang baru saja ditatapnya, seolah-olah memang dua orang yang berbeda.
Kalau diingat, ini kali kedua Abyan merasakan hal serupa. Abyan melirik Tiana lantas kembali memejamkan mata. Entah apa yang ada di benaknya hingga ia nekat mendatangi rumah kos Tiana hanya untuk mengatakan bahwa Alita tidak menuntut hukuman berat untuk Tiana.
“Kalau saja, Alita adalah lelaki ….”
Abyan menoleh, dahinya mengerut, tetapi Tiana tidak kunjung melanjutkan kalimatnya. Hanya isak tangis yang kemudian memenuhi isi mobil Abyan.
“Kamu takut digosipkan sebagai penyuka sesama jenis?” tanya Abyan.
Tiana mengangkat pandangan, meremas lengan Abyan lantas mengangguk berkali-kali. “Aku lagi pendekatan sama Satrio,” raungnya disambut derai air mata.
Abyan melepaskan tangan Tiana. “Apa peduli saya soal itu?”
Sejenak tangis Tiana terhenti, matanya menatap Abyan beberapa detik dan ia tersadar kalau yang ada di hadapannya adalah orang yang juga membencinya.
Bibir Tiana gemetar, tangisnya meledak lebih kencang dari sebelumnya. Abyan panik, ia menoleh ke kiri-kanan karena takut suara tangis Tiana terdengar keluar dan yang terburuk ia akan menjadi korban keadaan.
“Jangan menangis! Percuma, tangisan kamu enggak akan mengubah keadaan!”
Tangis Tiana hilang dalam beberapa detik, tetapi kembali tumpah karena sadar ucapan Abyan benar. Apapun yang akan coba ia jelaskan, tidak akan ada yang percaya. Jadi, tangisnya percuma saja.
Abyan meremas kedua lengan Tiana. Menatapnya tajam hingga tangis Tiana menghilang. “Dengar, apa pentingnya Satrio untuk kamu sampai-sampai penilaian buruk dia menjadi yang paling kamu takutkan?”
Tiana coba melepaskan tangan Abyan, tetapi semakin ia coba lakukan, semakin kencang Abyan meremas lengan Tiana. “Kenapa memangnya?”
“Kamu suka sama dia?”
Kedua alis Tiana naik. “Kenapa memangnya?”
“Apa kamu enggak bisa cari lelaki selain dia?”
Tiana menggigit kencang bibirnya. “Iya! Memang! Aku enggak bisa! Memangnya apa peduli kamu?”
Melihat amarah yang nyata dari kilat mata Tiana, Abyan melepaskan lengan Tiana. “Ya, aku enggak peduli.”
Tiana diam, ia tersadar kalau baru kali ini ia melihat wajah Abyan sedekat ini. Tangannya bergerak mengusap pipi Abyan. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, ia ingin menolak Abyan dengan kata-kata yang lebih halus.
Mungkin yang terjadi padanya, alasan ia tidak juga menemui jodoh adalah karma dari rasa sakit hati Abyan. Andai saja, Abyan bisa mengatakan kalau Abyan sangat menyukainya, Tiana akan coba lebih lembut lagi atau malah menerimanya.
Air mata yang tadi sempat berhenti mengalir akhirnya jatuh lagi. “Ian, apa bisa sekali lagi kamu bilang suka sama aku? Apa bisa?”
Abyan melepaskan tangan Tiana dari pipinya. “Apa sekarang aku bisa pulang? Apa kamu bisa keluar dari mobilku?”
Tiana menyusut air mata dengan punggung tangan lalu keluar dari mobil dan berlari masuk ke kamar kos.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Janji, Menagih Rindu
RomanceKalau belum bisa menikah, seenggaknya tahun ini bisa punya pacar. Harus! Satu tekad ini membuat Tiana nekat memutar hidup. Namun, malah berakhir terlibat dalam belitan masalah Abyan, si bos iblis berwujud manusia. Deritanya bertambah-tambah ketika...