KM 28. Andai Saja

81 24 6
                                    

Suara dering ponsel Tiana membuatnya kembali terjaga. Ia menyingkap selimut lantas menyeka peluh yang membanjir dahi dan leher. Beberapa detik Tiana duduk di tepian ranjang lantas berdiri.

Sejenak ia coba mengembalikan kesadaran lantas menatap ke sekelilingnya lantas mencari ponsel di tas.

“Halo, Hesti!”

“Ti, gimana kabar Pak Abyan? Rencananya besok manajer gue sama manajer lain mau jenguk. Gue mau ikut, lo mau gue bawain baju ganti?”

“Hesti! Hes, sekarang lo ada di mana?”

“Masih di kosan, baru mau berangkat ke kantor. Kenapa?”

“Hes, kita harus singkirkan arwah Chandra! Lo harus bantu gue!”

“Chandra? Lo enggak kenapa-kenapa, 'kan? Ada apa?” tanya Hesti bisa merasakan kegelisahan Tiana dari suara Tiana yang gemetar.

“Sekarang lo ke kamar gue!”

“Ada apa?”

“Sekarang Hesti!”

Refleks Hesti keluar dari kamar, setengah berlari menuju kamar Tiana.

“Kamar lo dikunci!”

“Cadangannya gue taruh di bawah pot, cepat masuk ke kamar gue Hes!”

Hesti memeriksa satu per satu pot yang berjejer di kamar Tiana. Senyumnya melebar ketika ia menemukan kunci dan berhasil membuka pintu kamar.

“Sekarang apa?”

“Lo cari di tas gue yang hitam, di balik pintu. Lo cari kartu nama Moira!”

“Moira? Lo mau ngapain Tiana?”

“Gue mau melenyapkan arwah Chandra!”

Hesti menurunkan tas kecil warna hitam yang tergantung di balik pintu lantas mengeluarkan semua isinya di atas kasur.

“Kenapa? Ada apa? Moira ini siapa?”

“Chandra enggak suka gue dekat sama Abyan. Dia bilang kalau Abyan masih bersama gue, Abyan akan mati, Chandra akan bawa Abyan! Kita harus—”

Tiana berbalik ketika ponselnya tiba-tiba di tarik. Ia mundur beberapa langkah, wajah marah Euis menyambut Tiana ketika ia berbalik.

“Apa maksudnya? Apa maksud kamu ingin melenyapkan arwah Chandra? Kenapa sedari tadi kamu terus menyebut nama Chandra? Dia sudah tenang di alam baka!”

Tiana menggeleng. “Enggak, Bunda. Arwah Chandra belum menyeberang dari dunia ini. Alita masih menahannya. Tiana tahu ini aneh, enggak bisa dipercaya, tapi apa pun itu, sekarang kita harus melindungi Abyan dari Chandra!”

Euis melepaskan tangan Tiana. “Apa maksudnya? Chandra menyayangi Abyan dan Alita, kenapa kamu jahat sekali? Bisa-bisanya kamu memfitnah Chandra!” Air mata Euis mulai turun.

“Bunda, Bunda harus percaya sama aku!”

“Percaya kamu? Memangnya kamu siapa? Kenapa kamu jahat sekali memfitnah Chandra?”

“Bunda, aku bisa melihat arwah Chandra, aku bisa berkomunikasi dengannya. Selama ini Chandra selalu berada dekat dengan Alita karena Alita enggak bisa melepaskan Chandra! Aku dan Chandra buat kesepakatan, kalau aku bisa membuat Abyan menikahi Alita, Chandra akan ganggu aku lagi, Bun.”

Euis menyusut air matanya. “Lalu kenapa sekarang kamu malah akan menikah dengan Abyan? Anggap saja saya percaya akan semua ucapan kamu lalu kenapa kamu enggak bisa melepaskan Abyan untuk Alita?”

“Bunda.”

“Alita dan Chandra, sedari kecil mereka sudah sangat menderita. Seluruh dunia enggak adil, mereka berdua berhak bahagia. Tiana, kamu bisa mendapatkan lelaki lain, enggak ada yang salah dengan kamu, tetapi Alita … enggak seberuntung kamu.”

Tiana terdiam menatap derai air mata Euis. Darahnya ikut berdesir lebih cepat. Tidak ada sedikitpun alasan untuknya meninggalkan Abyan. Tiana mencintai Abyan.

“Sebagai anak yang tumbuh di panti asuhan, Alita akan sulit mendapatkan lelaki yang baik, meskipun lelaki itu datang, keluarganya enggak akan bisa menerima wanita yang berasal dari panti asuhan, wanita yang enggak memiliki latar belakang yang jelas, tapi Abyan, dia adalah lelaki baik, Intan juga menyayangi Alita,” Euis menyatukan kedua telapak tangannya. “Bunda mohon, tinggalkan Abyan.”

Pelan Tiana menggeleng. “Enggak ada yang bisa membuat aku meninggalkan Abyan kecuali Abyan sendiri yang meminta aku pergi. Soal Chandra, aku akan minta Alita untuk melepaskannya.”

Cepat Euis menarik tangan Tiana yang akan keluar kamar. “Jangan katakan apa-apa tentang Chandra. Sudah bertahun-tahun setelah kepergian Chandra, akhirnya Alita bisa tersenyum lagi. Tolong, jangan membuka luka itu lagi.” 

Tangan Euis yang gemetaran melepaskan tangan Tiana, langkahnya terantuk berjalan menuju lemari, ia membuka salah satu laci di dalam lemari lantas mengeluarkan sebuah tas. 

Euis mengeluarkan bungkusan plastik lantas meletakkannya di atas kasur. Pelan Euis membentangkan satu per satu pakaian dari dalam plastik.

Kemeja seragam sekolah yang menguning, bekas noda kecoklatan hampir menutupi tiap permukaan. Celana panjang abu-abu yang robek di beberapa bagian. Noda coklat kehitaman juga ada di beberapa bagian celana. 

Satu buah ikat pinggang, tas selempang lusuh, satu sepatu, sepasang kaos kaki dan jaket hitam ikut dikeluarkan Euis.

“Ini adalah pakaian terakhir yang dikenakan Chandra, Chandra pergi karena saya yang memintanya pergi. Seharusnya saya bisa membujuk Alita untuk mau diadopsi tanpa memikirkan Chandra. Tiana, kami sudah sangat menderita, tolong kami.”

“Aku enggak bisa.”

Euis berlutut, Tiana cepat merengkuh tubuh Euis yang gemetaran. “Katakan pada Chandra, saya sangat menyesal, sangat menyesal. Andai saja waktu itu saya enggak berpikir Alita bisa hidup lebih baik setelah diadopsi, saya enggak akan minta Chandra untuk mencari ayah kandungnya, saya enggak akan lakukan itu. Saya … yang membuat Chandra terlibat dalam kecelakaan itu, saya!”

"Bunda, apa yang terjadi? Chandra meninggal karena kecelakaan?"

Euis mengangguk. "Malam itu, Chandra sempat menghubungi saya, Chanda menangis, dia meminta maaf. Dia bilang ... enggak bisa kembali. Dia sudah enggak punya tempat lagi. Saya minta Chandra untuk pulang ke Bandung, tapi ternyata hanya kabar duka yang kembali ke pelukan saya, Chandra sudah meninggal."

"Bunda."

Euis kembali menyeka air matanya. "Alita yang malang karena menjadi korban kekerasan ayahnya sendiri. Sejak pertama kali masuk panti, Alita enggak bisa beradaptasi dengan baik, Alita lebih suka menyendiri. Hampir setiap malam Alita terbangun karena mendapat mimpi buruk dan Chandra adalah orang pertama yang berhasil membuat Alita menangis lepas. Alita sudah menautkan hidupnya pada Chandra."

Tiana diam, mendengarkan dengan baik setiap kata yang terbata keluar dari Euis.

"Alita berbakat, setelah masuk sekolah, dia senang melukis, Chandra yang sering menjadi model lukisan Alita. Bakat Alita dicintai oleh salah satu guru SMA Alita. Dia ingin mengadopsi Alita dan mengajaknya pindah bersama suaminya ke Inggris. Chandra sangat bersemangat, memohon pada Alita untuk mau menerima surat adopsi, tapi Alita enggak mau, Alita enggak mau pergi tanpa Chandra dan saya ... yang egois, meminta Chandra untuk pergi meninggalkan panti karena memang Chandra masih memiliki ayah."

"Bunda."

"Saya yang sudah membunuh Chandra, seharusnya saya enggak setuju dengan persyaratan adopsi dari guru itu. Seharusnya saya sadar kalau Alita enggak bisa hidup tanpa Chandra. Saya bersalah Tiana!"



***

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang