KM 29. Celaka

86 26 6
                                    

Tiana menatap seragam lusuh Chandra yang masih tergeletak di atas kasur. Tangan Tiana gemetar menyeka air mata yang tiba-tiba luruh tanpa disadari.

“Keluarga yang dicuri,” cicit Tiana mengulang kalimat yang diucap Euis.

Usai menangis sampai dada Euis sesak, Euis kembali bercerita tentang Chandra pada Tiana.

Keluarga Chandra adalah satu dari beberapa donatur tetap panti asuhan. Bisa dibilang dari segi ekonomi, keluarga Chandra sangat tercukupi. Chandra adalah anak pertama dari pasangan yang saling mencintai sampai tiba-tiba ayah Chandra mengusir sang istri—Maya Rohimah bersama Chandra yang saat itu masih berusia tiga tahun.

Tidak memiliki arah tujuan karena Maya tidak memiliki sanak saudara, Euis meminta Maya untuk sementara tinggal di panti asuhan. Kehidupan keduanya membaik ketika Maya akhirnya mendapatkan pekerjaan dan memutuskan keluar dari panti.

Kebahagiaan Maya dan Chandra tidak berlangsung lama, Maya sakit hingga Euis memaksa keduanya untuk kembali tinggal di panti. Berkali Euis mendatangi ayah Chandra yang sudah menikah kembali, berharap ayahnya mau memberikan biaya untuk kebutuhan sekolah Chandra.

Namun, sampai Maya mengembuskan napas terakhirnya, ayah Chandra tidak pernah mau sedikit saja menunjukkan batang hidungnya seolah terkena sihir yang membuatnya lupa akan keberadaan Chandra juga Maya.

Sama-sama disakiti oleh ayah kandung, membuat Chandra bisa memahami Alita lebih dalam. Dimana Chandra berada, Alita pasti ada di sisinya.

Tangan Tiana merengkuh kemeja seragam sekolah Chandra. “Walau begitu aku enggak bisa melepaskan Abyan. Maaf Chandra. Aku akan coba bicara sama Alita, mungkin dia bisa mengikhlaskan kamu.”

Dering ponsel membuyarkan lamunan Tiana. Nama Intan yang tercetak di layar membuatnya cemas. Tiana mengusap layar ponselnya.

“Halo.”

“Tiana, kamu bisa ke rumah sakit sekarang? Abyan sudah sadar.”

Senyum Tiana mengembang. “Iya, Tiana ke sana sekarang.”

Tepat ketika Tiana hendak menaruh kembali kemeja seragam Chandra, sesuatu terjatuh dari sakunya yang lapuk. Tiana memungutnya.

Ponsel yang Tiana genggam terlepas. Ia mengenali tiga senyum dari potret yang terjatuh. Tangan Tiana gemetaran ketika ia membaca tulisan di balik potret. Lututnya lemas, entah sejak kapan air matanya berderai.

Kepala Tiana bergerak menoleh ke arah dinding tempat potret-potret Chandra dipajang. Kencang ia membekap mulutnya sendiri.

***

Tiana hanya bisa diam membiarkan sang ibu mengeringkan rambutnya yang tergerai. Pandangan Tiana menatap lurus dinding kamarnya yang dicat biru muda.

“Kamu itu tumben. Malam-malam begini pulang, hujan juga. Kalau ada apa-apa, bagaimana Tiana?” cerocos Santi. Tidak mendapat tanggapan, Santi duduk di tepian ranjang, ia merengkuh tangan putri semata wayangnya. “ada apa? Kamu sama manajer kamu bertengkar lagi? Jangan galak-galak, Tiana. Bagaimanapun, dia itu atasan kamu.”

Mata Tiana bergerak pelan memandang Santi. “Enggak, Ma. Kami enggak bertengkar.”

“Lalu kenapa kamu lemas begini? Ada apa?”

“Abyan melamar Tiana, Ma.”

Ekspresi Santi sama sekali tidak menunjukkan raut bahagia. Hanya cemas yang menyelimuti matanya. “Sejak kapan kamu punya pacar? Kamu sudah janji sama Mama akan selalu cerita kalau ada lelaki yang suka sama kamu. Kapan dia melamar kamu? Kenapa kamu enggak bilang sama Mama?”

“Ma.”

“Kamu tunggu dulu, sebentar.”

Tiana diam melihat ibunya tergopoh keluar kamar dan tak lama kembali lagi. Santi mengeluarkan sesuatu dari saku.

Menanti Janji, Menagih RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang