Di suatu malam yang dingin di musim gugur tahun 1941, sebuah desa kecil di pinggiran kota Amsterdam dibalut dalam keheningan yang mencekam. Jalanan gelap hanya diterangi oleh cahaya redup lampu-lampu jalan yang seolah-olah juga takut akan bahaya yang mengintai dari balik bayangan. Pepohonan tua yang berdiri di sepanjang jalan bergoyang pelan, seolah berbisik dalam bahasa rahasia yang hanya bisa dipahami oleh angin. Di kejauhan, suara-suara samar mengindikasikan aktivitas di kota, tetapi di sini, di desa kecil ini, dunia seakan terhenti.
Di dalam sebuah rumah sederhana di ujung desa, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun dengan kulit pucat dan rambut keriting berwarna coklat gelap duduk gemetar di sudut kamar. Namanya Yitzhaq, dan ia baru saja kehilangan segalanya. Matanya yang berwarna coklat terang yang biasanya memancarkan keceriaan, kini dipenuhi dengan ketakutan yang mendalam. Tangan-tangan kecilnya menggenggam erat sebuah selimut tipis, satu-satunya penghiburan dalam malam-malam yang kelam dan sunyi.
Beberapa hari sebelumnya, keluarganya yang Yahudi ditangkap oleh tentara Nazi dalam sebuah penggerebekan mendadak. Mereka menyerbu rumahnya dengan brutal, menghancurkan pintu yang sudah usang, dan menyeret orang tua serta kakak perempuannya tanpa ampun. Suara jeritan dan tangisan memenuhi ruangan, membuat hati Yitzhaq bergetar ketakutan. Yitzhaq, yang saat itu sedang bermain di luar, berhasil melarikan diri dan bersembunyi di dalam semak-semak di dekat rumah. Dari balik dedaunan yang rimbun, ia menyaksikan keluarganya diangkut ke dalam truk hitam yang menderu-deru, meninggalkan debu dan kenangan yang hancur di belakang. Gambar itu terpatri dalam pikirannya, mengukir luka yang tak akan pernah sembuh.
Sejak saat itu, Yitzhaq menjadi buronan di negerinya sendiri. Tak ada tempat yang aman baginya di bawah kekuasaan Nazi. Setiap bayangan di malam hari tampak seperti ancaman, setiap langkah kaki di jalan terdengar seperti suara kematian yang mendekat. Namun, dalam keterpurukannya, muncul secercah harapan dari seorang pria yang telah dikenal keluarganya sejak lama, Pastor Willem.
Willem adalah seorang pendeta Katolik yang terkenal akan keberaniannya melindungi siapa pun yang terancam oleh kebrutalan Nazi. Willem memiliki postur tubuh yang tinggi dan wajah penuh welas asih, dengan mata yang dalam dan penuh empati. Di tengah-tengah kekejaman perang, Willem berdiri sebagai lambang kemanusiaan yang belum sepenuhnya pudar. Ia telah menyembunyikan banyak orang yang diburu oleh Nazi, memberikan mereka tempat perlindungan dan harapan baru.
Ketika Willem menemukan Yitzhaq yang ketakutan, hatinya terenyuh. Tanpa ragu, dia membawanya ke tempat persembunyian di rumahnya yang sederhana, sebuah rumah tua dengan dinding batu yang tebal dan jendela-jendela kecil yang mudah disembunyikan. Di sana, Willem memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi anak yang hatinya dipenuhi kegelapan.
"Tenanglah, anakku," kata Willem dengan lembut sambil menepuk bahu Yitzhaq. Suaranya penuh kasih sayang dan kelembutan, seperti seorang ayah yang berbicara kepada anaknya. "Aku akan melindungimu. Tapi kau harus tetap waspada, kita tidak bisa tinggal di sini selamanya."
Yitzhaq hanya bisa mengangguk, merasa campuran antara rasa syukur dan cemas. Di dalam hatinya, ia merasa bersyukur karena ada seseorang yang peduli padanya, tetapi ia juga sadar bahwa Belanda tidak lagi aman. Nazi telah menancapkan kukunya di tanah ini, dan kapan saja identitasnya bisa terbongkar. Willem juga tahu bahwa waktu mereka semakin sempit. Dengan setiap detak jarum jam, ancaman itu semakin dekat. Maka, dia mulai merencanakan pelarian yang lebih besar, sebuah rencana yang penuh risiko namun merupakan satu-satunya harapan Yitzhaq untuk bertahan hidup.
Willem memiliki seorang kerabat di Hindia Belanda, seorang pejabat kolonial yang bisa ia percayai untuk memberikan perlindungan bagi Yitzhaq. Dengan hati yang berat, Willem memberitahu Yitzhaq tentang rencananya, saat mereka duduk di ruang kecil yang selalu gelap untuk menghindari kecurigaan. Bau lilin yang menyengat mengisi udara, sementara bayangan api kecil yang menari di dinding menambah suasana yang suram.
"Kau harus meninggalkan Eropa," ujar Willem pada suatu malam, suaranya terdengar berat namun tegas. "Aku sudah mengatur semuanya. Kau akan pergi ke Hindia Belanda. Di sana, seorang kerabatku akan menampungmu. Kau akan aman di sana, jauh dari kekuasaan Nazi."
Yitzhaq merasakan kekhawatiran yang mendalam menyelimuti dirinya. Pergi ke tempat yang sama sekali asing, meninggalkan satu-satunya orang yang masih peduli padanya, tampak seperti tugas yang mustahil. Namun, ia tahu bahwa Willem hanya ingin menyelamatkannya. Willem adalah satu-satunya pelindung yang dimilikinya saat ini, dan jika Willem berpikir bahwa pergi adalah satu-satunya jalan keluar, maka Yitzhaq tidak punya pilihan lain selain mengikutinya.
"Apakah... apakah aku akan pernah bisa kembali?" tanya Yitzhaq dengan suara bergetar, matanya mencari jawaban di wajah Willem. Di balik kata-katanya tersembunyi harapan yang rapuh, keinginan untuk kembali ke masa lalu yang kini terasa seperti mimpi yang hancur.
Willem terdiam sejenak, merasakan beban dari pertanyaan yang diajukan anak itu. Wajahnya yang biasanya penuh ketenangan kini tampak lelah, seolah-olah usia yang dia bawa telah menumpuk dalam hitungan malam. "Aku tidak tahu, Yitzhaq," jawab Willem akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Tapi yang paling penting sekarang adalah kau harus hidup. Dan di sana, kau punya kesempatan untuk itu."
Malam itu, sebelum tidur, Willem memberi Yitzhaq sebuah liontin berupa kalung dari perak yang berbentuk bintang daud, simbol harapan yang tak boleh padam. "Simpan ini," kata Willem sambil mengenakan kalung itu di leher Yitzhaq. "Ini akan melindungimu. Dan ingatlah, kau tidak sendirian."
Hari keberangkatan tiba dengan cepat. Yitzhaq hampir tidak punya waktu untuk mempersiapkan dirinya secara emosional. Willem telah menyiapkan sedikit barang untuknya-sebuah tas kecil berisi pakaian ganti, beberapa makanan yang bisa tahan lama, dan sebuah buku kecil yang berisi doa-doa dalam bahasa Ibrani yang Willem temukan entah dari mana. Di pagi yang sejuk itu, Yitzhaq menaiki kereta yang akan membawanya ke pelabuhan, ditemani oleh Willem yang tetap diam selama perjalanan. Kereta bergoyang pelan di atas rel, bunyi deru mesinnya mengisi keheningan di antara mereka. Hati Yitzhaq dipenuhi rasa cemas dan ketidakpastian, tetapi ia juga merasakan sedikit ketenangan karena Willem berada di sisinya.
Setibanya di pelabuhan, Yitzhaq berdiri di tepi dermaga, menatap kapal besar yang akan membawanya pergi ke Hindia Belanda, nama kapal itu adalah "Kapal Oranye" yang akan membawa penumpang melalui jalur pelayaran terjadwalnya, kapal ini melayani pelayaran pada rute Amsterdam-Cape Town-Batavia. Kapal itu terlihat megah dan menakutkan sekaligus, dengan cerobong asap yang tinggi dan lambung kapal yang kokoh. Angin laut yang kencang menggoyangkan rambutnya, membawa serta bau garam dan kehidupan laut yang asing baginya.
"Ini dia, Yitzhaq," kata Willem, menepuk bahunya sekali lagi. "Kau harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik, dan ingatlah bahwa selalu ada harapan, di mana pun kau berada."
Dengan air mata yang menggenang di matanya, Yitzhaq memeluk Willem untuk terakhir kalinya. Tubuh pria tua itu terasa hangat dan kuat, memberikan sedikit rasa aman yang begitu ia butuhkan. Namun, pelukan itu harus segera berakhir, karena suara kapal yang menderu-deru mengisyaratkan bahwa waktu mereka sudah habis. Dengan hati yang berat, Yitzhaq menaiki kapal yang akan membawanya ke Hindia Belanda, meninggalkan Eropa yang semakin jauh di belakangnya.
Perjalanan melintasi lautan yang luas terasa seperti mimpi yang tak kunjung berakhir. Gelombang laut yang besar membuat kapal bergoyang tanpa henti, dan setiap goyangan itu membuat Yitzhaq merasa semakin terasing. Ia berusaha mengingat kembali setiap momen bersama keluarganya-suara tawa ibunya, sentuhan lembut ayahnya, dan senyum hangat kakaknya. Namun, kenangan-kenangan itu semakin kabur, seperti pasir yang terlepas dari genggaman. Di setiap gelombang, Yitzhaq merasakan ketakutan dan kerinduan yang mengoyak hatinya. Ia tak pernah tahu apakah ia akan melihat Willem lagi, atau bahkan mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...