Bab 8: Silam

32 11 0
                                    

Yitzhaq terjaga dari tidurnya dengan napas yang memburu, jantungnya berdegup kencang. Langit malam di luar kamar asrama memancarkan sinar rembulan yang pucat, memasuki jendela kecil yang menghadap ke arah halaman gereja. Dalam kegelapan kamar, bayang-bayang dari mimpi buruknya masih jelas terbayang di pikirannya.

Amsterdam, 22 Februari 1941

Di tengah cuaca dingin yang menggigit, hari itu menjadi sangat kelam di Amsterdam. Langit petang berwarna abu-abu suram, seolah-olah menutup rapat matahari dan menyelimuti kota dalam kesedihan. Suara truk-truk besar yang berderum keras mengisi udara, mengusir keheningan petang dan menggantinya dengan kegaduhan yang menakutkan.

Yitzhaq bersembunyi di balik semak-semak yang tumbuh lebat di pinggir jalan, tubuhnya membeku di bawah selimut ketakutan. Di depannya, sebuah adegan yang sangat menyayat hati terjadi. Truk-truk hitam besar, yang telah menunggu dengan mesin menyala, berdiri siap untuk mengangkut orang-orang dari komunitas Yahudi.

Di antara kerumunan orang Yahudi yang ketakutan, Yitzhaq melihat keluarganya-ayahnya, ibu, dan kakak perempuannya, Sara. Mereka tampak tak berdaya, tertunduk dengan penuh kesedihan. Ayah Yitzhaq, yang biasanya kuat dan tegas, kini terlihat kelelahan dan tertekan, sementara ibunya, dengan wajah pucat dan penuh air mata, memegang erat tangan Sara, yang tampak begitu cemas.

Yitzhaq memejamkan mata sejenak, mencoba menahan rasa sakit yang menusuk hatinya. Namun, suara teriakan dan perintah kasar dari para penjaga mengembalikan kesadarannya. Para penjaga, dengan seragam gelap dan wajah tanpa ekspresi, meneriaki orang-orang yang berdiri dalam barisan, memaksa mereka masuk ke dalam truk. Setiap kali seorang individu ditarik masuk, tangisan dan kesedihan menjadi lebih nyaring, menyatu dengan suara mesin truk yang menggerung.

Keluarga Bettelheim terpaksa berpisah dari orang-orang di sekitar mereka, diseret oleh para penjaga menuju truk. Yitzhaq bisa melihat mata ibunya yang berkaca-kaca menatap kosong seolah-olah meminta jawaban yang tidak bisa siapapun berikan. Ayahnya, yang berusaha menunjukkan kekuatan di hadapan keluarganya, hanya bisa menggeram ketika tangan-tangan kasar menggapai mereka. Sara, yang selalu menjadi saudara perempuannya yang penuh kasih, tampak begitu ketakutan dan bingung.

Dengan rasa sakit yang menusuk dan air mata yang hampir tak tertahan, Yitzhaq mencoba untuk tetap tersembunyi di balik semak-semak, merasa sangat tidak berdaya. Setiap kali truk-truk itu memuat orang-orang dan mulai bergerak, suara berderak dari logam dan jeritan-jeritan membuatnya semakin tertekan. Dia ingin berteriak, berlari menghampiri keluarganya, tapi kakinya seolah membeku di tempatnya.

Saat truk-truk itu meninggalkan area, meninggalkan hanya kekosongan dan kesedihan di belakang, Yitzhaq masih terdiam dalam persembunyiannya. Dia menatap sisa-sisa kerumunan yang mulai tercerai-berai, suara teriakan semakin jauh dan semakin samar. Pemandangan yang mengerikan ini seolah terukir dalam benaknya, dan bayang-bayang dari hari itu akan terus menghantui setiap langkahnya.

~~~

Kilas balik itu tiba-tiba bergeser, dan Yitzhaq teringat pada masa-masa ketika ia berada di rumah Karel. Dalam ingatannya yang menyakitkan, ia kembali pada hari pertama saat Karel memukulnya hanya karena kesalahan kecil.

Hari itu dimulai seperti hari-hari lainnya setelah kedatangannya di Hindia Belanda. Karel, pria yang tampaknya tegas dan tampak acuh tak acuh, ternyata memiliki sisi gelap yang tidak pernah ia duga. Yitzhaq baru saja memulai pekerjaannya, membersihkan dapur dan menata barang-barang di rumah Karel. Ketika Yitzhaq secara tidak sengaja menjatuhkan sebuah piring, pecahannya berserakan di lantai.

Karel muncul dengan langkah berat, wajahnya berubah menjadi merah marah. "Kau bodoh sekali!" teriaknya, suaranya penuh dengan kemarahan yang membuat Yitzhaq bergetar. "Kau tidak bisa melakukan satu pekerjaan dengan benar!"

Bettelheim [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang