Malam itu, rumah besar milik Karel terasa begitu sunyi. Angin malam menggesek-gesek dedaunan pohon, menciptakan suara gemerisik yang hampir mengalahkan derak lantai kayu di bawah kaki Yitzhaq. Ia berdiri di ambang pintu kamarnya, menunggu dengan sabar waktu yang tepat untuk melarikan diri. Keluarga Karel telah pergi menghadiri sebuah pesta di luar kota, memberi Yitzhaq kesempatan yang telah lama ia nantikan.
Hidup di bawah atap Karel adalah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Setiap hari, Yitzhaq dipaksa bekerja tanpa henti, tanpa penghargaan, tanpa belas kasih. Karel memperlakukannya bukan sebagai seorang anak yang membutuhkan perlindungan, melainkan sebagai budak yang harus tunduk pada setiap perintahnya. Tidak ada satu hari pun yang berlalu tanpa penghinaan atau hukuman. Tekanan ini akhirnya mendorong Yitzhaq ke ambang putus asa, membuatnya bertekad untuk melarikan diri, meski tahu bahwa dunia luar juga penuh dengan bahaya.
Dengan hati-hati, Yitzhaq mengambil sebuah kain lebar yang telah ia persiapkan sejak beberapa hari lalu untuk menaruh beberapa barang yang akan dia bawa. Di dalamnya hanya ada beberapa barang berharga, Ia ikat dengan kuat barang-barang itu. Tak lupa liontin bintang daud yang diberikan oleh Pastor Willem. Ia menggenggam liontin itu erat-erat, mencoba menguatkan dirinya sebelum melangkah keluar dari kamar kecil yang selama ini ia sebut penjara.
Tanpa suara, Yitzhaq menyelinap melewati koridor panjang yang gelap, menuju pintu belakang rumah. Jantungnya berdebar kencang, setiap langkah terasa seperti menggema di seluruh rumah. Ia tahu, jika tertangkap, nasibnya mungkin akan lebih buruk dari sebelumnya. Namun, pikirannya hanya dipenuhi oleh satu hal: kebebasan. Ia harus lari, ia harus keluar dari neraka ini.
Ketika akhirnya ia berhasil membuka pintu belakang dan menghirup udara malam yang segar, Yitzhaq merasa seolah beban yang selama ini menghimpit dadanya terangkat sedikit. Namun, ia tahu bahwa pelarian ini baru saja dimulai. Tanpa membuang waktu, Yitzhaq mulai berlari, menjauh dari rumah yang selama ini menjadi sumber penderitaannya.
Di tengah jalanan yang sepi dan hanya diterangi oleh remang-remang cahaya bulan, Yitzhaq terus berlari. Ia tidak tahu ke mana tujuannya, hanya tahu bahwa ia harus menjauh sejauh mungkin dari tempat itu. Suara gemerisik dedaunan di sekitar membuatnya semakin waspada, takut ada seseorang yang mengejarnya.
Tiba-tiba, di tengah pelariannya, Yitzhaq melihat seorang anak laki-laki berjalan santai di jalanan yang sama. Anak itu terlihat seperti bukan dari kalangan biasa—pakaiannya rapi, dan wajahnya bersih. Yitzhaq merasa panik, tetapi ia tidak bisa berhenti sekarang. Namun, sebelum ia bisa berbelok untuk menghindari anak itu, anak laki-laki tersebut sudah menyadarinya.
“Hoi! Apa yang terjadi? Kenapa kau berlari?” Anak itu berseru dalam bahasa Belanda, suaranya penuh rasa ingin tahu.
Yitzhaq tidak menjawab. Ia hanya terus berlari, mengabaikan anak laki-laki itu. Namun, meski hanya sejenak, Yitzhaq sempat melihat ekspresi bingung di wajah anak itu, seolah-olah ia tak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, Yitzhaq tidak punya waktu untuk menjelaskan atau berpikir lebih jauh. Ia harus segera menemukan tempat berlindung.
Beberapa saat kemudian, Yitzhaq menemukan sebuah gereja tua di tepi kota. Gereja itu tampak sunyi, dinding-dindingnya ditumbuhi lumut, tetapi bagi Yitzhaq, tempat itu adalah satu-satunya harapan. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berlari masuk ke dalam gereja, berharap menemukan perlindungan di balik dinding suci tersebut.
Di dalam gereja, suasana terasa lebih tenang. Hanya ada sedikit cahaya dari lilin-lilin yang menyala di altar, menciptakan bayangan yang bergetar di sepanjang dinding batu. Yitzhaq berjalan perlahan, mencoba menenangkan napasnya yang memburu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ia merasa bahwa tempat ini lebih aman daripada di luar.
Ketika ia mendekati altar, seorang pendeta muncul dari balik tirai di belakangnya. Pendeta itu adalah seorang pria tua dengan wajah yang lembut dan penuh kasih. Ia melihat Yitzhaq dengan pandangan penuh pengertian, seolah-olah ia sudah tahu apa yang sedang terjadi. Pendeta ini mengingatkannya mengenai Pastor Willem.
“Anak muda, apa yang membawamu ke sini pada malam yang larut ini?” tanya sang pendeta dengan suara tenang.
Yitzhaq menatap pendeta itu dengan gugup, kata-kata terasa sulit keluar dari mulutnya. Ketakutan yang telah lama ia pendam tiba-tiba membuncah dalam hatinya. Bagaimana jika pendeta ini tidak sebaik yang ia kira? Bagaimana jika ia mengusirnya atau lebih buruk lagi, melaporkannya? Yitzhaq merasa bimbang, antara ingin menceritakan kebenaran atau terus berbohong demi keselamatannya.
“A-aku… aku hanya… sedang mencari tempat untuk berlindung,” jawab Yitzhaq akhirnya, suaranya gemetar. Ia merasa detak jantungnya semakin kencang.
Pendeta itu memandang Yitzhaq dengan lembut, tidak ada tanda-tanda curiga di wajahnya. “Kau terlihat ketakutan, nak. Jangan khawatir, kau aman di sini.”
Yitzhaq menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang mulai menggelayuti hatinya. Ia ingin percaya pada kata-kata sang pendeta, tetapi ketakutan itu masih ada. Bagaimana jika kebaikan ini hanya topeng? Bagaimana jika pendeta ini mengkhianatinya?
“Aku… aku lari dari rumah…” lanjut Yitzhaq dengan suara yang semakin lirih. “Tempat itu… terlalu menakutkan.”
Pendeta itu menunduk, melihat dengan lebih seksama ke arah Yitzhaq, seolah mencoba melihat apa yang tersembunyi di balik mata yang penuh ketakutan itu. “Tidak ada yang perlu ditakutkan di sini, nak. Rumah siapa yang kau lari dari?”
Yitzhaq merasa tercekik oleh pertanyaan itu. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, bingung antara memberi tahu kebenaran atau tidak. Tapi tekanan dari semua penderitaan dan kekerasan yang telah ia alami selama ini membuat pertahanannya runtuh. Air mata yang ia coba tahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya.
“Saya lari dari rumah Karel… Karel yang… Karel yang kejam,” suaranya patah-patah, dan tangisnya akhirnya tak terbendung lagi. “Saya dipukul, dihina… saya… saya tidak kuat lagi.”
Pendeta itu berjalan mendekati Yitzhaq dan meletakkan tangannya dengan lembut di bahu anak laki-laki itu. “Kau telah melalui banyak hal yang sulit, nak. Jangan khawatir, di sini kau aman.”
Yitzhaq terisak, tetapi sentuhan lembut dari pendeta itu memberinya sedikit rasa nyaman. Ia merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya, seolah beban yang ia pikul mulai terangkat sedikit demi sedikit. Namun, masih ada satu rahasia besar yang ia sembunyikan. Sambil terisak, Yitzhaq menggenggam liontin Bintang Daud di lehernya, merasakan ketakutan kembali menyeruak.
“A-aku… aku sebenarnya…” suaranya hampir tak terdengar di tengah tangisnya. “Aku sebenarnya seorang Yahudi. Papa Willem… pastor Willem menyuruhku berpura-pura menjadi anak Kristen agar aku bisa selamat. Maafkan aku…”
Pendeta itu tampak terkejut sejenak, tetapi ia segera menenangkan Yitzhaq dengan suara lembutnya. “Jangan khawatir, Yitzhaq. Tuhan mencintai semua anak-Nya, dan kamu tetap berharga di mata-Nya, tidak peduli siapa dirimu. Di sini, kau tidak perlu takut. Aku akan melindungimu seperti yang dilakukan Pastor Willem.”
Yitzhaq memandang pendeta itu dengan mata berkaca-kaca, hampir tak percaya pada kebaikan yang baru saja ia terima. “Anda… Anda tidak akan memberitahu siapa pun?”
Pendeta itu menggeleng pelan. “Rahasiamu aman bersamaku, Yitzhaq. Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini, dan kita akan memastikan kau aman. Namun, untuk melindungimu, kau harus terus berpura-pura menjadi anak Kristen. Hanya dengan begitu kau bisa bertahan di negeri ini.”
Yitzhaq merasa lega sekaligus sedih. Meskipun ia tahu bahwa hidupnya akan tetap penuh dengan kebohongan, setidaknya ia tidak sendiri lagi. Sang pendeta membawanya ke ruang kecil di belakang gereja dan memberinya tempat untuk beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...