Pembicaraan mereka yang semakin intens ini secara perlahan membawa mereka lebih dekat. Yitzhaq, yang awalnya merasa canggung berbicara dengan Jonathan, mulai merasa lega untuk berbicara. Meskipun dia tetap waspada dan selalu menjaga rahasianya, dia merasa bahwa Jonathan adalah seseorang yang bisa dia percayai-atau setidaknya seseorang yang ingin dia percayai selain Dexter dan Papa Heinrich di Hindia Belanda. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan lambat laun, keakraban mulai tumbuh di antara mereka. Rasa canggung yang tadinya ada, kini mulai memudar, digantikan oleh rasa hangat yang muncul dari pertemanan yang baru tumbuh.
Namun, di tengah-tengah percakapan mereka yang semakin akrab, Jonathan tiba-tiba teringat sesuatu. Wajahnya berubah serius, dan dia menatap Yitzhaq dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. "Aku pernah melihatmu sebelumnya," katanya, dengan nada yang hampir seperti sebuah pengakuan. "Saat itu kau terlihat seperti sedang berlari dari sesuatu. Apa yang terjadi?"
Pertanyaan itu seakan menghantam Yitzhaq seperti petir di siang bolong. Seketika, kenangan saat dia melarikan diri dari rumah Karel kembali menghantuinya-pemandangan jalan-jalan yang gelap, suara sepatu bot yang ia pakai saat berlari dengan kencag, dan ketakutan yang mencengkeram jantungnya. Dia merasakan kepanikan yang sama, namun kali ini dia berusaha keras untuk tetap tenang. Dengan napas yang hampir tak terdengar, dia menjawab, "Oh, itu... tidak ada apa-apa," suaranya tenang namun sedikit bergetar. "Mungkin kau salah lihat."
Jonathan tampak ragu, matanya menyelidik, seolah-olah mencoba mencari kebenaran di balik kata-kata Yitzhaq. Namun, dia tidak mendesak lebih jauh. Mungkin dia merasakan ketidaknyamanan yang melintas di wajah Yitzhaq, atau mungkin dia memilih untuk memberikan ruang. "Mungkin saja," katanya akhirnya, dengan senyum kecil yang mencoba menghilangkan ketegangan. "Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman."
Yitzhaq segera menggeleng, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. "Tidak apa-apa, benar-benar tidak apa-apa," jawabnya cepat, meskipun dalam hatinya dia tahu bahwa pertanyaan itu telah membuka luka lama yang masih belum sepenuhnya sembuh.
Di tengah percakapan ini, suara lonceng sekolah berbunyi, menandakan waktu istirahat sudah selesai. Kelas segera dipenuhi oleh anak-anak yang kembali dari halaman, dan suasana tenang yang sebelumnya mereka nikmati pun hilang. Yitzhaq dan Jonathan saling menatap sejenak sebelum keduanya tersenyum kecil, seolah-olah mengerti bahwa momen mereka berbagi cerita telah selesai untuk hari ini.
Dengan perlahan, mereka kembali ke bangku masing-masing. Yitzhaq duduk kembali di tempatnya, membiarkan suasana tenang yang baru saja mereka nikmati meresap dalam pikirannya. Jonathan mengambil tempat duduknya dan mulai mengeluarkan buku-buku dari tasnya, siap untuk melanjutkan pelajaran.
Pelajaran berikutnya berlangsung seperti biasa. Yitzhaq berusaha fokus pada apa yang diajarkan, meskipun pikirannya masih teringat pada percakapan yang baru saja dia lakukan dengan Jonathan. Di sampingnya, Jonathan tampak serius, mencatat dengan tekun setiap informasi yang disampaikan oleh guru. Namun, sesekali Jonathan melirik ke arah Yitzhaq dengan senyum kecil, seolah mengingat kembali obrolan mereka sebelumnya.
Saat pelajaran berakhir dan lonceng pulang berbunyi, kerumunan anak-anak berhamburan keluar dari kelas dengan kegembiraan. Yitzhaq dan Jonathan berdiri, masing-masing mengumpulkan buku-buku mereka. Jonathan bergerak ke arah pintu kelas dan menunggu di luar, sepertinya ingin berbicara dengan Yitzhaq sebentar sebelum mereka berpisah.
Yitzhaq mendekati Jonathan yang berdiri di depan pintu, merasa sedikit heran "Apa yang kau tunggu di sini?" tanya Yitzhaq, mencoba tersenyum sambil memeriksa isi tasnya.
Jonathan memandangnya dengan senyum ramah. "Aku cuma ingin memastikan kau tidak langsung pergi begitu saja. Aku tahu kau biasanya pulang ke kamar asrama setelah sekolah selesai. Jadi, aku pikir mungkin kita bisa berbincang sebentar sebelum kita pulang."
Yitzhaq merasa senang dengan perhatian Jonathan. "Tentu, ada yang ingin kau bicarakan?"
Jonathan menggaruk kepalanya, tampak sedikit canggung. "Sebenarnya, aku cuma ingin memastikan kalau kau baik-baik saja. Aku tahu kau baru di sini, dan aku tidak ingin kau merasa sendirian. Kalau ada sesuatu yang kau ingin bicarakan atau butuh teman, aku ada di sini."
Yitzhaq merasa hangat di dalam hati mendengar kata-kata Jonathan. "Terima kasih, Jonathan. Aku benar-benar menghargainya. Sebenarnya, aku merasa lebih baik sekarang. Percakapan kita hari ini sangat membantu."
Jonathan tersenyum lebar. "Baguslah kalau begitu. Aku juga senang kita bisa berbicara lebih banyak. Kadang-kadang, hanya berbicara dengan seseorang bisa membuat hari terasa lebih baik."
Yitzhaq mengangguk setuju. "Ya, aku setuju. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik."
Setelah itu, Jonathan melirik jam tangannya dan menyadari bahwa sudah saatnya dia pulang. "Ayo, kita pulang. Aku harap besok kita bisa ngobrol lagi, mungkin tentang buku-buku yang kita baca atau hal-hal lain."
Yitzhaq mengangguk, sambil tersenyum. "Tentu, aku akan menantikan itu."
Mereka berdua melangkah keluar dari kelas, masing-masing dengan tas di punggung. Di luar, langit mulai memudar menjadi oranye kemerahan, menandakan akhir hari yang sibuk. Jonathan dan Yitzhaq berjalan berdampingan sebentar, sebelum akhirnya mereka berpisah di persimpangan jalan, Yitzhaq menuju asrama dan Jonathan menuju rumahnya dengan mobil yang sudah terparkir di luar gerbang sekolah. Mereka saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, masing-masing dengan rasa harapan bahwa persahabatan mereka akan terus berkembang.
Yitzhaq melanjutkan perjalanannya kembali ke kamar asrama, merasa sedikit lebih ringan dan lebih optimis tentang hari-hari yang akan datang. Jonathan, di sisi lain, berjalan pulang dengan perasaan puas, mengetahui bahwa dia telah memberikan sedikit kehangatan pertemanan dan dukungan kepada teman barunya. Keduanya merasa bahwa langkah kecil mereka dalam menjalin persahabatan baru ini adalah awal dari sesuatu yang lebih berarti.
Hari-hari berikutnya, percakapan mereka terus berlanjut, baik di dalam kelas maupun di luar. Yitzhaq dan Jonathan mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama.
Seiring berjalannya waktu, Yitzhaq mulai merasakan bahwa dia tidak lagi sepenuhnya sendirian di dunia baru yang asing ini. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih terus menghantuinya, pertemanan dengan Jonathan memberinya rasa nyaman dan keberanian untuk terus melangkah. Jonathan mungkin tidak menyadarinya, tetapi kehadirannya telah menjadi seperti mercusuar di tengah laut yang gelap, memberikan Yitzhaq secercah harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa menemukan teman-teman yang baik di dunia ini, meskipun segala sesuatunya terasa sangat menakutkan dan tidak pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...