Bab 13: Mengantarkan Kesadaran

17 0 0
                                    

Hari itu di sekolah, anak-anak sedang melakukan olahraga lompat. Suasana lapangan dipenuhi semangat kompetisi dan suara riuh rendah dari anak-anak yang berlatih. Yitzhaq berdiri di antrian, menunggu gilirannya untuk melompat. Di sebelahnya, Jonathan juga bersiap dengan tenang, memperhatikan gerakan teman-teman sekelas mereka yang berusaha mencapai lompatan terbaik mereka.

Namun, suasana berubah ketika terdengar suara keras dari arah dapur asrama. Semua mata beralih ke sana, termasuk Yitzhaq dan Jonathan. Seorang pria Belanda yang bertanggung jawab atas dapur sedang memarahi seorang pelayan pribumi, seorang ibu tua yang tampak sangat ketakutan.

“Kau harus lebih hati-hati! Ini bukan tempat untuk orang ceroboh sepertimu!” teriak pria Belanda itu dalam bahasa Belanda, suaranya penuh hinaan. Ibu tua itu hanya bisa menunduk, berusaha menahan air mata. Ia meminta maaf berkali-kali, tetapi pria Belanda itu terus mencacinya.

“Heb je geen ogen? Kijk naar jezelf, je kunt dit werk niet eens goed doen!” lanjut pria Belanda itu dengan nada semakin merendahkan. (Apakah kau tidak punya mata? Lihat dirimu, bekerja seperti ini saja tidak becus!) Beberapa anak mulai bergumam di antara mereka sendiri, merasa tidak nyaman dengan pemandangan tersebut. Beberapa menit kemudian, pria Belanda itu akhirnya menyuruh ibu tua tersebut untuk kembali bekerja, mengibaskan tangannya dengan kasar.

Setelah kejadian itu, suasana di lapangan kembali seperti semula, tetapi ketegangan masih terasa di antara para siswa. Yitzhaq mendapatkan gilirannya untuk lompat. Ia mengambil ancang-ancang, berlari dengan cepat dan melompat setinggi mungkin, berusaha memberikan yang terbaik untuk penilaian. Setelah mendarat, ia mengambil napas dalam-dalam, merasa lega karena berhasil melakukan lompatan dengan baik.

Setelah penilaian selesai, Yitzhaq mendekati Jonathan yang sedang berdiri di pinggir lapangan. “Apa kamu melihat kejadian tadi?” tanya Yitzhaq dengan suara pelan.

Jonathan mengangguk. “Ya, aku melihatnya. Sangat tidak adil, bukan?”

Yitzhaq menghela napas. “Sangat. Aku tidak mengerti mengapa mereka harus diperlakukan seperti itu. Seolah-olah mereka bukan manusia.”

Jonathan memandang Yitzhaq dengan penuh pemikiran. “Kolonialisme… itulah yang terjadi di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di sini seringkali merasa mereka lebih superior daripada pribumi.”

“Aku tahu,” kata Yitzhaq. “Tapi melihatnya langsung seperti ini membuatku merasa sangat marah dan tak berdaya. Mereka seharusnya diperlakukan dengan lebih hormat.”

Jonathan mengangguk setuju. “Benar. Tapi kebanyakan orang Belanda di sini tidak berpikir seperti itu. Mereka menganggap pribumi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka, bukan sebagai manusia yang layak dihormati.”

Yitzhaq merenung sejenak. “Kita juga Belanda, tapi kita tidak berpikir seperti itu. Bagaimana menurutmu kita bisa membantu?”

Jonathan mengangkat bahu. “Mungkin kita bisa mulai dengan menunjukkan rasa hormat pada mereka. Menghargai mereka sebagai manusia yang setara. Itu mungkin langkah kecil, tapi setidaknya itu sesuatu.”

Yitzhaq tersenyum kecil. “Kau benar. Langkah kecil, tapi berarti. Kita bisa mulai dari sini, di sekitar kita.”

Pembicaraan mereka terhenti ketika peluit tanda berakhirnya latihan olahraga berbunyi. Anak-anak mulai berkumpul, bersiap untuk kembali ke kelas. Namun, di dalam hati mereka, Yitzhaq dan Jonathan tahu bahwa mereka telah memulai sesuatu yang penting, sebuah langkah kecil menuju perubahan.

Setelah latihan olahraga selesai, Yitzhaq dan Jonathan bergabung kembali dengan teman-teman sekelas mereka dan berjalan menuju ruang kelas. Di sepanjang jalan, pikiran Yitzhaq masih dipenuhi dengan kejadian di lapangan tadi. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan, tapi ia belum tahu apa.

Di dalam kelas, para siswa duduk di meja masing-masing, bersiap untuk pelajaran berikutnya. Guru mereka, Meneer van der Meer, seorang pria Belanda yang selalu terlihat serius, masuk ke dalam kelas dengan membawa setumpuk buku. Ia meletakkan buku-buku itu di meja dan mulai mengajar tentang sejarah Hindia Belanda.

Ketika Meneer van der Meer mulai menjelaskan tentang kebijakan kolonial Belanda, Yitzhaq merasa hatinya berdegup kencang. Ia ingin mengajukan pertanyaan, namun ia ragu apakah itu ide yang baik. Jonathan yang duduk di sebelahnya melihat kegelisahan di wajah Yitzhaq dan memberi isyarat untuk mengajukan pertanyaan.

Akhirnya, dengan penuh keberanian, Yitzhaq mengangkat tangan. “Meneer van der Meer, mengapa orang-orang Belanda di sini sering memperlakukan pribumi dengan tidak hormat? Bukankah mereka juga manusia yang pantas dihargai?”

Suasana kelas menjadi sunyi seketika. Semua mata tertuju pada Yitzhaq dan Meneer van der Meer. Guru itu terdiam sejenak, terlihat terkejut dengan pertanyaan tersebut. Namun, ia segera menguasai dirinya dan menjawab dengan suara tenang, “Isaak, itu adalah pertanyaan yang sangat baik dan kompleks. Kolonialisme memang membawa dampak yang sangat besar, baik positif maupun negatif. Namun, kita harus memahami konteks sejarah dan tujuan dari kebijakan tersebut.”

Yitzhaq tidak puas dengan jawaban itu. “Tapi, Meneer, kita melihat sendiri bagaimana mereka diperlakukan. Seperti yang terjadi di dapur tadi. Itu tidak benar.”

Meneer van der Meer terdiam lagi. Ia melihat semangat di mata Yitzhaq dan tahu bahwa anak itu membutuhkan jawaban yang lebih mendalam. “Isaak, kamu benar. Perlakuan terhadap pribumi sering kali tidak adil dan tidak manusiawi. Itu adalah kenyataan yang harus kita akui. Namun, perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika kita ingin melihat perubahan, kita harus menjadi bagian dari perubahan itu.”

Setelah kelas selesai, Yitzhaq dan Jonathan memutuskan untuk berbicara lebih lanjut tentang apa yang bisa mereka lakukan. Mereka memutuskan untuk memulai sebuah kelompok diskusi kecil dengan teman-teman sekelas mereka, membahas tentang bagaimana mereka bisa menunjukkan rasa hormat dan menghargai para pribumi di sekitar mereka.

Di suatu sore, setelah pelajaran selesai, Yitzhaq dan Jonathan mengumpulkan beberapa teman dekat mereka di ruang perpustakaan asrama. Mereka mulai berbicara tentang kejadian di lapangan, tentang ketidakadilan yang mereka saksikan, dan tentang bagaimana mereka bisa membuat perubahan kecil namun berarti.

“Langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah dengan mulai memperlakukan semua orang dengan hormat, tanpa memandang ras atau status sosial mereka,” kata Jonathan dengan penuh semangat. “Kita bisa mulai dengan mengucapkan terima kasih pada para pelayan, menghormati mereka, dan memperlakukan mereka dengan baik.”

Teman-teman mereka setuju. Mereka juga sepakat untuk menyebarkan pesan ini ke siswa-siswa lain di asrama dan sekolah. Mereka merasa bahwa perubahan kecil ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

Beberapa hari setelahnya, kelompok diskusi kecil mereka berkembang. Lebih banyak siswa yang tertarik untuk bergabung dan berbicara tentang ketidakadilan yang mereka saksikan. Mereka juga mulai melakukan tindakan nyata, seperti membantu para pelayan di asrama, mengucapkan terima kasih, dan memperlakukan mereka dengan lebih hormat.

Yitzhaq merasa semakin yakin bahwa meskipun mereka masih muda, mereka bisa membuat perbedaan. Ia dan Jonathan bertekad untuk terus menyebarkan pesan tentang pentingnya rasa hormat dan kemanusiaan, berharap suatu hari nanti, Hindia Belanda bisa menjadi tempat yang lebih adil bagi semua orang.

Namun, di balik semua ini, Yitzhaq masih menyimpan rahasia besar tentang identitas aslinya. Ia tahu bahwa perjuangannya tidak hanya tentang ketidakadilan kolonial, tetapi juga tentang menyelamatkan dirinya dari ancaman yang lebih besar. Ia hanya berharap bahwa dalam perjalanannya mencari keadilan, ia juga bisa menemukan keselamatan atas identitas aslinya yang susah payah ia terus sembunyikan.

Bettelheim [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang