Setelah berbulan-bulan terombang-ambing di atas kapal, Yitzhaq akhirnya melihat daratan. Pelabuhan Batavia di Hindia Belanda muncul di kejauhan, dikelilingi oleh hutan tropis dan kilauan air laut yang berkilau di bawah sinar matahari. Perubahan drastis dari dinginnya Eropa ke panas dan lembapnya cuaca tropis membuat tubuh Yitzhaq yang sudah lelah semakin merasa lemas. Setiap gerakan terasa berat, dan ia merasa keringat menetes di pelipisnya saat kapal akhirnya merapat di dermaga.
Ketika kapal merapat, suasana pelabuhan Batavia menyambut Yitzhaq dengan deru aktivitas yang membingungkan. Aroma pedagang yang menjajakan barang-barang eksotis bercampur dengan bau garam laut dan minyak, menciptakan campuran bau yang asing baginya. Suara bising kendaraan, kereta kuda, dan teriakan pedagang di pasar semakin menambah kesan bahwa ia berada di dunia yang sama sekali baru. Yitzhaq merasa seolah terlempar ke luar zona nyaman yang pernah ia kenal, dihadapkan pada lingkungan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Karel, kerabat Willem yang telah berjanji untuk menampung Yitzhaq, berdiri di pelabuhan dengan sikap yang sangat berbeda dari yang diharapkan Yitzhaq. Pria tersebut mengenakan pakaian resmi kolonial yang rapi, tetapi ekspresinya tampak dingin dan acuh tak acuh. Tatapan matanya yang tajam menilai Yitzhaq dengan dingin ketika kapal merapat.
"Jadi, kau Yitzhaq?" tanya pria itu dengan nada yang datar, tidak menunjukkan emosi apapun.
Yitzhaq mengangguk, berusaha menjaga ketenangannya meskipun hatinya berdebar kencang. "Ya, saya Yitzhaq."
"Baiklah, ikutlah denganku. Kita tidak punya banyak waktu," kata Karel sambil bergerak menjauh dari dermaga, menunjukkan jalan ke arah kendaraan yang menunggu. Karel tidak menunjukkan senyum atau sapaan hangat, dan sikapnya lebih mirip seorang atasan yang memberi perintah daripada kerabat yang siap menyambut.
Yitzhaq mengikuti Karel dengan langkah hati-hati, mencoba menyesuaikan diri dengan cuaca panas yang menyengat. Setiap langkah terasa berat, dan rasa cemas yang menyelimuti dirinya membuatnya sulit untuk bernafas lega. Selama perjalanan menuju rumah Karel, Yitzhaq melihat pemandangan yang sangat berbeda dari apa yang ia kenal-sebuah campuran antara kekayaan kolonial dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Kota Batavia tampak sibuk dengan aktivitas, dan jalanan dipenuhi dengan kendaraan dan orang-orang yang tampak terburu-buru.
Setibanya di rumah Karel, Yitzhaq melihat bangunan besar dengan arsitektur kolonial yang megah. Rumah itu memiliki teras yang luas dengan pilar-pilar tinggi, dan jendela-jendela besar yang dikelilingi oleh taman hijau yang terawat rapi. Meskipun rumah itu tampak megah, suasananya terasa dingin dan tidak menyambut. Karel menunjukkan kamar tamu yang sederhana di sudut rumah.
"Kau akan tidur di sini," kata Karel sambil menunjuk ke kamar tersebut. "Beristirahatlah sebentar. Besok pagi, kita akan memulai rutinitasmu di sini."
Kamar itu sederhana namun cukup bersih, dilengkapi dengan sebuah tempat tidur kayu, sebuah meja kecil, dan sebuah kursi. Dindingnya dicat dengan warna pucat dan hanya ada satu jendela kecil yang menghadap ke halaman belakang. Meskipun kamar itu jauh dari nyaman, Yitzhaq merasa sedikit lega karena setidaknya ia memiliki tempat untuk tidur. Karel pergi tanpa memberikan banyak penjelasan lebih lanjut, meninggalkan Yitzhaq sendiri di dalam kamar yang terasa asing.
Malam pun tiba, dan suara hujan tropis yang deras turun di luar jendela menambah kesan kesunyian yang menyelimuti kamar. Hujan yang turun dengan deras dan cepat membasahi atap rumah membuat suara ritmis yang menenangkan, namun juga menambah rasa sepi yang mendalam di dalam kamar. Yitzhaq duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit yang pucat, dengan pikiran yang melayang-layang dan bergejolak.
Dengan lembut, Yitzhaq mengeluarkan liontin bintang daud dari bawah bantalnya. Kalung itu adalah satu-satunya benda yang menghubungkannya dengan Willem, dan merupakan simbol perlindungan dan harapan yang sangat berharga baginya. Dengan hati-hati, ia memegang liontin tersebut di tangannya, merasakan dingin perak yang kontras dengan suhu panas di sekitarnya. Ia berdoa dengan penuh harapan, memohon agar Tuhan memberinya kekuatan untuk menghadapi tantangan yang ada di depan dan agar dirinya selalu dilindungi di tempat yang asing ini.
Sambil berdoa, Yitzhaq merenungkan perjalanan yang telah ia tempuh. Ia ingat setiap detik yang melelahkan di atas kapal, setiap ombak yang mengguncang, dan setiap malam yang penuh dengan kecemasan dan kerinduan akan rumah. Setiap hari dalam perjalanan itu, ia berharap kapal tersebut akan segera tiba di tujuan dan membawanya ke tempat yang lebih aman. Namun, sekarang ketika ia sudah sampai, rasa cemas baru muncul-tentang bagaimana hidupnya akan dijalani di bawah atap Karel yang tidak bersahabat.
Ia melihat ke luar jendela kecil kamar, menyaksikan hujan yang turun dengan deras di malam tropis yang gelap. Tetesan air membentuk pola di kaca, seolah-olah mencerminkan ketidakpastian yang ia rasakan. Dengan hujan yang menghapus jejak-jejak di tanah, Yitzhaq merasa seperti dirinya juga sedang berada di persimpangan jalan yang tidak jelas arahnya. Ia berusaha untuk tetap positif, tetapi bayangan tentang kehidupan yang akan datang membuatnya sulit untuk merasa tenang.
Hujan terus turun sepanjang malam, dan setiap ketukan di atap menyanyikan lagu kesepian dan keputusasaan. Yitzhaq berbaring di tempat tidurnya, memeluk liontin bintang daud dengan erat. Ia berusaha tidur, tetapi tidur datang dengan susah payah. Di dalam dirinya, ia merasa seperti berada dalam ruang hampa, terperangkap antara harapan dan ketidakpastian.
Ia membayangkan hari-hari mendatang dan bagaimana ia harus beradaptasi dengan kehidupan baru ini. Ia tahu bahwa dirinya harus kuat dan siap menghadapi segala kemungkinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...