Bab 12: Menguntai Benang Merah

10 0 0
                                    

Hari-hari berlalu, dan Yitzhaq semakin nyaman dengan kehidupannya di asrama. Meskipun Jonathan tidak tinggal di sana, mereka tetap akrab dan sering menghabiskan waktu bersama di sekolah. Jonathan juga mulai mengenal Dexter, teman sekamar Yitzhaq, setelah Yitzhaq memperkenalkan mereka. Ketiganya sering berbicara tentang banyak hal, mulai dari pelajaran hingga impian mereka di masa depan.

Sementara itu, sudah hampir dua minggu berlalu sejak Yitzhaq melarikan diri dari rumah Karel dan menetap di asrama. Karel masih belum menemukan jejaknya. Suatu malam, ketika pulang dari kantornya di Batavia, Karel terjebak hujan lebat. Mobilnya mogok dan harus diperbaiki di bengkel. Karena rumahnya masih beberapa jam perjalanan dari tempat itu, ia memutuskan untuk berteduh di sebuah gereja yang tak jauh dari sana.

Gereja itu tampak tenang dan sunyi, sebuah tempat perlindungan di tengah badai. Karel memasuki gereja dengan langkah berat dan basah, mencari tempat untuk beristirahat. Papa Heinrich, yang sedang berada di gereja, menyambut Karel dengan ramah. “Selamat malam, Tuan. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan penuh perhatian.

Karel, yang merasa lega mendapatkan tempat berteduh, menjelaskan situasinya. “Mobil saya mogok di tengah hujan, dan saya harus menunggu bengkel memperbaikinya. Saya hanya butuh tempat untuk sementara.”

Papa Heinrich tersenyum. “Tentu, Anda bisa berteduh di sini. Kami memiliki beberapa kursi yang nyaman, dan Anda bisa menikmati secangkir teh hangat jika Anda mau.”

Karel duduk di salah satu kursi di dekat altar, merasakan kehangatan dari teh yang disuguhkan Papa Heinrich. Mereka mulai berbincang-bincang untuk mengisi waktu. Papa Heinrich dengan ramah mengungkapkan bahwa gereja ini dekat dengan sebuah asrama dan sekolah yang dikelolanya.

“Oh, menarik sekali,” kata Karel, “Saya sedang mencari tempat untuk memberikan bantuan amal. Mungkin asrama ini bisa menjadi salah satu penerima bantuan kami. Kami sedang mencari tempat yang memenuhi kriteria tertentu.”

Papa Heinrich mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kami tentu terbuka untuk bekerja sama. Asrama dan sekolah ini memang membutuhkan dukungan, dan kami akan sangat menghargai bantuan tersebut.”

Namun, suasana berubah ketika Karel menyebutkan namanya. Papa Heinrich merasa terkejut, tetapi berusaha menyembunyikan reaksinya. Karel memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan deskripsi seseorang yang pernah diceritakan Yitzhaq, Papa Heinrich merasa perlu berhati-hati.

“Jadi, Tuan Karel, apakah ada yang bisa saya bantu selain menunggu perbaikan mobil?” Papa Heinrich bertanya dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian dari ketegangan yang tiba-tiba muncul.

“Tidak ada yang spesial,” jawab Karel, tidak menyadari ketegangan yang muncul. “Saya hanya menunggu mobil saya siap. Saya cukup senang berada di sini.”

Setelah pertemuan tersebut, Papa Heinrich merasa resah. Ia sadar bahwa ada kemungkinan besar Karel yang mencari Yitzhaq adalah orang yang sama dengan pria yang baru saja ia temui di gereja. Papa Heinrich memutuskan untuk berbicara dengan Yitzhaq keesokan harinya untuk memastikan keselamatannya.

Keesokan harinya, setelah kebaktian pagi, Papa Heinrich memanggil Yitzhaq ke ruangannya. Yitzhaq merasa gugup, tetapi ia tahu bahwa Papa Heinrich selalu peduli padanya. Ketika mereka duduk berhadapan, Papa Heinrich mulai berbicara dengan suara lembut.

“Isaak, aku perlu berbicara denganmu tentang sesuatu yang penting. Semalam, aku bertemu dengan seseorang di gereja. Dia menyebut namanya Karel, dan dia mencari tempat untuk memberikan bantuan amal. Apakah ini Karel yang sama yang pernah kamu ceritakan?” Papa Heinrich menjelaskan ciri-ciri Karel: pria bertubuh tinggi dengan rambut pirang, wajahnya tegas dengan tatapan mata tajam yang sering membuat orang merasa gentar.

Yitzhaq terdiam sejenak, merasa jantungnya berdebar kencang. “Ya, Papa Heinrich. Dia adalah orang yang sama. Apakah dia tahu aku di sini?”

Papa Heinrich menggelengkan kepala. “Tidak, dia tidak tahu. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Aku akan memastikan bahwa tidak ada yang tahu tentang keberadaanmu di sini, tetapi kamu juga harus tetap waspada.”

Yitzhaq mengangguk, merasa lega sekaligus khawatir. Ia tahu bahwa Papa Heinrich akan melindunginya, tetapi kehadiran Karel begitu dekat membuatnya merasa terancam. Ia harus lebih berhati-hati dan selalu siap menghadapi kemungkinan terburuk.

Sementara itu, Papa Heinrich melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa asrama dan sekolah tetap terlindungi dari kemungkinan ancaman. Ia mulai memperketat keamanan dan mengatur pertemuan rutin dengan staf dan pengurus sekolah untuk membahas strategi perlindungan, terutama dari orang-orang yang mencurigakan. Papa Heinrich juga mengatur agar Yitzhaq tidak terlihat secara publik dan hanya keluar dari asrama dalam keadaan yang sangat terkendali.

Malam itu, suasana asrama tenang. Cahaya bulan menerobos masuk melalui jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai. Angin malam yang sejuk menyelinap masuk, menggerakkan tirai tipis yang tergantung di jendela. Di luar, suara jangkrik dan burung hantu memenuhi keheningan malam. Para penghuni asrama sudah tertidur pulas, tenggelam dalam mimpi-mimpi mereka.

Di salah satu sudut ruangan, Yitzhaq terbangun dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang bisa membangunkan teman-temannya. Ia meraih kippah yang disimpan di bawah bantal dan meletakkannya di atas kepalanya. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju meja kecil di pojok ruangan. Di atas meja itu, ada sebuah lilin yang sudah siap dinyalakan.

Yitzhaq menyalakan lilin dengan hati-hati, memperhatikan bagaimana api kecil itu berkedip-kedip sejenak sebelum akhirnya stabil. Cahaya lilin menerangi wajahnya dengan lembut, menyoroti ekspresi penuh kedamaian dan kerinduan. Bayangan api lilin menari di dinding, menciptakan suasana yang hampir magis di dalam kamar asrama yang sederhana.

Ia duduk di kursi kayu di depan lilin tersebut, mengambil napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Dalam keheningan malam, Yitzhaq mulai melaksanakan tefillah, doa malam Yahudi. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, namun penuh dengan kekhidmatan dan ketulusan. Kata-kata Ibrani yang ia ucapkan mengalir dengan lancar, seolah-olah menjadi jembatan yang menghubungkannya dengan Tuhan dan masa lalunya.

Yitzhaq merasa kedamaian yang luar biasa saat berdoa. Meski jauh dari keluarga dan rumahnya, doa ini memberinya perasaan dekat dengan mereka. Ia merasakan kehadiran ayah, ibu, dan saudara-saudaranya dalam setiap kata yang ia ucapkan. Tefillah ini adalah penghubung yang kuat dengan identitasnya sebagai seorang Yahudi, sesuatu yang tak bisa diambil oleh siapa pun.

Cahaya lilin yang hangat memberikan rasa nyaman di tengah kegelapan malam. Bayangan kecil dari nyala lilin bergerak lembut di dinding, menciptakan atmosfer yang menenangkan. Yitzhaq menutup matanya sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan dan doa. Ia berdoa untuk keselamatan dirinya, keluarganya, dan semua orang yang ia sayangi.

Ketika selesai, Yitzhaq membuka matanya perlahan. Ia merasa lega, seolah-olah beban yang ia pikul selama ini sedikit terangkat. Dengan penuh kasih sayang, ia meniup lilin, membiarkan asap tipis naik ke udara sebelum menghilang. Kegelapan kembali menyelimuti ruangan, tetapi di hati Yitzhaq, ada cahaya yang terus bersinar.

Yitzhaq kembali ke tempat tidurnya dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang terbangun. Ia berbaring dan menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Ia menatap langit-langit kamar sejenak, merasa damai dan penuh harapan. Doa malam itu memberikan kekuatan baru untuk menghadapi hari-hari berikutnya.

Dalam keheningan malam, Yitzhaq memejamkan mata, tersenyum kecil dengan hati yang tenang. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia memiliki Tuhan di sisinya, dan itu memberikan kekuatan yang tak terhingga. Dengan keyakinan dan doa yang tulus, Yitzhaq siap menjalani hari esok, menghadapi setiap tantangan dengan hati yang teguh.

Bettelheim [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang