Bab 15: Sistem Kolonial

7 1 0
                                    

Batavia, dengan segala keindahan dan kemegahannya sebagai pusat Hindia Belanda, memancarkan bayangan gelap dari sistem yang tertata rapi namun penuh ketidakadilan. Di sekolah dan asrama tempat Yitzhaq dan Jonathan belajar, terdapat kasta-kasta sosial yang sangat terasa, mencerminkan sistem kolonial yang sudah mengakar. Anak-anak Belanda berada di puncak, diikuti oleh kaum Indo-Eropa yang dipandang lebih rendah namun tetap lebih terhormat daripada pribumi. Di dasar piramida sosial, terdapat para pribumi yang bekerja sebagai pelayan, penjaga, dan pegawai asrama.

Yitzhaq, sebagai seorang pendatang baru dan anak Yahudi yang berusaha bersembunyi dari identitas aslinya, sering merenungkan perbedaan-perbedaan sosial ini. Meskipun ia berhasil berteman dengan Jonathan dan beberapa siswa lain, semakin lama ia mulai merasakan tekanan dari kelompok siswa yang tidak setuju dengan pandangannya tentang kesetaraan dan keadilan. Pieter dan kawan-kawannya, yang sangat mendukung kekuasaan kolonial, merasa terancam oleh gagasan-gagasan Yitzhaq dan Jonathan.

Suara perdebatan tentang kolonialisme di antara para guru mulai terdengar di lorong-lorong sekolah. Guru-guru yang memiliki pandangan berbeda mulai berbicara satu sama lain, dan kabar mengenai kelompok diskusi Yitzhaq dan Jonathan sampai ke telinga Papa Heinrich, kepala sekolah dan pendeta gereja. Papa Heinrich mendengarkan dengan seksama laporan-laporan tersebut, dan meskipun secara pribadi ia sependapat dengan perjuangan mereka untuk keadilan, ia tahu bahwa tindakan mereka bisa memicu keributan besar di sekolah.

Di kantornya yang sejuk dan tenang, Papa Heinrich duduk dengan wajah cemas. Ia memahami bahwa mengubah tatanan yang sudah berakar dalam sistem kolonial bukanlah perkara mudah, apalagi untuk anak-anak seumuran Yitzhaq dan Jonathan. Di sisi lain, ia juga tidak bisa membiarkan ketegangan ini terus berlarut-larut.

Keputusan yang diambilnya pun pahit namun dianggap perlu. Ia memanggil Yitzhaq dan Jonathan ke kantornya pada suatu sore setelah jam sekolah. Dengan nada penuh kebapakan, ia menjelaskan kepada mereka bahwa kelompok diskusi mereka harus dibubarkan untuk sementara waktu.

“Kalian berdua telah membuat dampak besar di sekolah ini,” kata Papa Heinrich dengan suara lembut namun tegas. "Aku mengagumi keberanian kalian untuk menyuarakan ketidakadilan. Tapi, kalian juga harus mengerti bahwa mengubah sistem yang sudah mengakar seperti kolonialisme ini tidak semudah membalikkan telapak tangan."

Jonathan, yang duduk di samping Yitzhaq, terlihat gusar. "Tapi, Papa Heinrich, bagaimana mungkin kita bisa diam saja melihat perlakuan tidak adil terhadap para pribumi? Mereka diperlakukan seperti bukan manusia."

Papa Heinrich mengangguk pelan. "Aku tidak mengatakan kalian harus diam. Tapi kalian juga harus paham, sistem ini sudah berjalan selama ratusan tahun. Orang-orang yang diuntungkan oleh sistem ini tidak akan menyerah begitu saja. Dan ingatlah, kalian masih anak-anak. Belum saatnya bagi kalian untuk menanggung beban sebesar ini."

Yitzhaq merasakan berat di dadanya. Ia tahu Papa Heinrich benar, tetapi ia juga merasa tidak bisa begitu saja menyerah. "Jadi, apa yang harus kami lakukan?" tanyanya pelan.

Papa Heinrich menarik napas panjang. "Untuk saat ini, aku harus menghentikan kelompok diskusi kalian. Ini demi mencegah keributan lebih lanjut di antara siswa-siswa. Aku tahu ini bukan keputusan yang kalian harapkan, tapi ini adalah yang terbaik untuk sementara waktu."

Yitzhaq dan Jonathan saling bertatapan. Mereka memahami maksud Papa Heinrich, tapi tidak bisa menahan rasa kecewa yang mendalam. Namun, mereka menghormati keputusan tersebut dan setuju untuk membubarkan kelompok diskusi mereka, meski tekad untuk memperjuangkan keadilan masih menggelora di hati mereka.

Sejak pembubaran kelompok diskusi, kehidupan di asrama menjadi semakin sulit bagi Yitzhaq. Pieter dan kawan-kawannya semakin menunjukkan kebencian mereka. Bagi mereka, Yitzhaq bukan hanya anak pendatang yang menyusahkan, tapi juga penghasut yang ingin menggoyang stabilitas kolonial. Pieter sering mencari alasan untuk merundung Yitzhaq, mulai dari komentar sinis hingga intimidasi fisik yang tak terhindarkan di tempat-tempat sepi.

Pada suatu malam, ketika Yitzhaq sedang berjalan di lorong asrama yang sunyi setelah selesai belajar, Pieter dan beberapa temannya menyergapnya di sudut gelap. Pieter mendorongnya keras ke dinding.

"Je weet toch dat jij hier niet thuishoort, Meijer? Waarom blijf je niet gewoon stil zoals yang lainnya?" (“Kau tahu kau tidak seharusnya berada di sini, Meijer? Kenapa kau tidak diam saja seperti yang lain?”), gertak Pieter dengan tatapan menghina.

Yitzhaq menunduk, tidak berani menatap mata Pieter. Selama ini, ia mencoba untuk menghindari konflik terbuka, tapi kebencian Pieter semakin sulit dihindari. Pieter menendang tas Yitzhaq yang jatuh di lantai, dan teman-temannya tertawa.

Setelah insiden itu, Yitzhaq semakin menarik diri. Ia jarang berbicara dan semakin jarang tersenyum. Jonathan, yang bukan pemondok di asrama, hanya bisa bertemu Yitzhaq di sekolah. Ia mulai memperhatikan perubahan sikap Yitzhaq, yang semakin diam dan tampak selalu murung.

Jonathan sering mendekati Yitzhaq di sela-sela jam pelajaran. “Isaak, apa kau baik-baik saja? Kau semakin jarang bicara belakangan ini. Ada sesuatu yang terjadi?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran.Yitzhaq hanya menggeleng. “Aku baik-baik saja, Jonathan. Hanya lelah saja.”

Namun, Jonathan tahu ada sesuatu yang salah. Yitzhaq tidak lagi seceria dulu, dan ia hampir tidak pernah bergabung dalam diskusi-diskusi kecil di antara teman-teman mereka. Jonathan merasa bersalah karena ia tidak bisa selalu berada di asrama untuk melindungi Yitzhaq dari Pieter dan teman-temannya.

Setiap kali mereka bertemu, Jonathan terus bertanya tentang keadaan Yitzhaq. Tapi Yitzhaq selalu menghindar dengan jawaban singkat. Tekanan yang Yitzhaq hadapi mulai menggerogoti kepercayaannya pada teman-temannya, termasuk Jonathan. Perasaan terasing dan rasa takut yang terus menerus menghantui membuatnya terjebak dalam kesunyian yang tidak bisa diungkapkan.

Ketegangan yang terjadi di sekolah dan asrama mulai merambah ke dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meski kelompok diskusi mereka telah dibubarkan, perdebatan mengenai kolonialisme masih terus mengalir di antara para siswa.

Beberapa mendukung gagasan Yitzhaq dan Jonathan, sementara yang lain, seperti Pieter, semakin keras menolak perubahan apa pun yang dianggap mengancam kekuasaan kolonial.

Yitzhaq dan Jonathan kini berada di persimpangan jalan. Mereka harus memutuskan apakah akan terus memperjuangkan keyakinan mereka atau menyerah pada tekanan lingkungan yang semakin tidak bersahabat. Di sisi lain, Pieter dan kawan-kawannya semakin intens dalam perundungan mereka, menunggu momen di mana Yitzhaq mungkin benar-benar patah.

Di tengah semua ini, Papa Heinrich hanya bisa berharap bahwa di suatu hari nanti, ketika masa kanak-kanak mereka berlalu, anak-anak ini akan tumbuh menjadi orang dewasa yang bisa mempengaruhi perubahan nyata di dunia yang penuh dengan ketidakadilan. Tapi untuk saat ini, ia merasa hanya bisa menghindari keributan yang lebih besar dan melindungi asrama dari perpecahan yang lebih dalam.

Bettelheim [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang