Karel berdiri di ruang kerjanya, menatap surat dari Pastor Willem dengan wajah penuh kemarahan. Sudah dua minggu sejak Yitzhaq menghilang, dan kini surat itu tergeletak di meja kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan kertas-kertas penting lainnya. Setiap kata dalam surat itu seolah menambah beban di pundaknya.
"Apa yang harus aku tulis?" gumam Karel, suaranya penuh dengan kemarahan dan frustasi. Ia meremas surat itu dengan tangannya, merasa semakin tertekan dengan setiap detik yang berlalu. Dengan keras, Karel memaki Yitzhaq dalam pikirannya, namanya seperti terucap penuh kebencian dari bibirnya. "Sialan anak itu...!" Karel melanjutkan dengan umpatan-umpatan kasar. "Apa yang dia pikirkan? Mengapa harus melarikan diri begitu saja?"
Karel berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, wajahnya merah padam karena kemarahan. Ia memikirkan betapa rumitnya situasi ini, dan bagaimana ia harus menghadapi Pastor Willem yang sangat menekankan pentingnya laporan tentang Yitzhaq. Tekanan untuk memberikan jawaban yang memadai semakin menambah beban yang sudah ada di pundaknya.
Rasa frustasinya semakin memuncak, dan ia memutuskan untuk kembali ke kamar Yitzhaq di rumah Karel. Ia merasa mungkin ada sesuatu yang terlewatkan, sesuatu yang bisa memberinya petunjuk tentang keberadaan Yitzhaq.
Setibanya di kamar itu, Karel mulai menggeledah setiap sudut ruangan. Meja tulis, lemari pakaian, dan bahkan bawah ranjangnya, semuanya ia periksa dengan penuh kebingungan dan kemarahan. Namun, usaha Karel tidak membuahkan hasil. Ruangan itu tampak seperti saat Yitzhaq masih ada di sana-teratur dan bersih tanpa ada petunjuk berarti yang dapat membantu Karel menemukan jejaknya.
"Dasar anak itu!" Karel menggeram. "Dia benar-benar berhasil menghilang tanpa jejak."
Karel menggeledah lebih lanjut, membuka laci-laci dan memeriksa barang-barang pribadi Yitzhaq, namun ia hanya menemukan beberapa catatan yang tidak berguna dan barang-barang kecil yang tidak memberikan informasi yang diinginkannya. Frustasi dan marah, Karel akhirnya menyerah dan meninggalkan kamar itu dengan rasa putus asa yang mendalam.
Kembali ke ruang kerjanya, Karel duduk dengan lesu di kursinya, tatapannya kosong saat ia kembali melihat surat dari Pastor Willem. Ia masih belum tahu apa yang harus ditulis, dan rasa bingung serta kemarahan membuatnya semakin sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat.
Karel masih terduduk di kursinya, tatapan matanya penuh kemarahan dan frustrasi. Ia menghela napas panjang, lalu mulai mengumpat dengan suara keras, seolah sedang berbicara dengan bayangan Yitzhaq yang tidak ada di sana.
"Dasar anak tidak tahu berterima kasih!" geram Karel sambil memukul meja dengan kepalan tangannya. "Sudah aku tampung, beri makan, beri tempat tinggal, tapi dia malah lari seperti pengecut!"
Kemarahan Karel semakin memuncak saat mengingat bagaimana Pastor Willem memohon padanya untuk menerima Yitzhaq. Pastor Willem bercerita bahwa Yitzhaq adalah anak yatim piatu yang tidak punya apa-apa, dikirim ke Hindia Belanda untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik karena orang tuanya terlilit hutang dan Yitzhaq dicari untuk dijadikan budak.
"Kalau bukan karena Pastor Willem yang memintaku, aku tak akan sudi membawa anak itu ke sini!" Karel melanjutkan ucapannya dengan nada marah. "Dia bukan tamu, dia budak yang seharusnya bersyukur karena aku menyelamatkannya dari nasib yang lebih buruk!"
Karel kembali teringat bagaimana Pastor Willem meyakinkannya melalui telegraf. "Anak itu harus diselamatkan, Karel. Mendiang orang tuanya terlilit hutang besar, dan jika Yitzhaq tidak membayarnya, Yitzhaq akan dijadikan budak. Tolong bantu dia, beri dia tempat di rumahmu di Hindia Belanda."
Dengan berat hati, Karel menerima permintaan Pastor Willem, namun di dalam hatinya, ia selalu melihat Yitzhaq sebagai beban, bukan tamu. Baginya, Yitzhaq adalah budak yang seharusnya bersyukur karena telah diselamatkan dari nasib buruk. Karel merasa seolah ia telah melakukan suatu kebajikan yang sangat besar, dan seharusnya Yitzhaq merasa terutang budi kepadanya.
Sekarang, setelah Yitzhaq kabur, Karel merasa semua pengorbanannya sia-sia. Ia marah karena merasa dikhianati oleh Yitzhaq yang ia anggap tidak tahu berterima kasih.
"Kalau dia memang anak yang baik, dia akan tahu caranya berterima kasih!" seru Karel lagi, kemarahan yang semakin memuncak membuatnya semakin kehilangan akal. "Aku sudah memberinya segalanya, tapi dia malah melarikan diri! Dia tak pantas mendapat belas kasihan!"
Karel menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa frustasinya terlalu besar untuk diabaikan. Ia merasa dipojokkan oleh situasi yang semakin rumit ini. Dengan enggan, ia memutuskan untuk kembali menulis surat balasan kepada Pastor Willem, namun kali ini dengan penuh kebohongan dan manipulasi, mencoba menyembunyikan kebenaran tentang pelarian Yitzhaq.
Karel mulai menulis, berusaha menyusun kata-kata yang dapat menenangkan kekhawatiran Pastor Willem tanpa mengungkapkan bahwa Yitzhaq telah melarikan diri. Meski hatinya dipenuhi kebencian dan kemarahan, ia tahu bahwa ia harus menjaga citranya di mata Pastor Willem dan orang-orang yang lebih berpengaruh.
Surat itu akhirnya selesai, dengan nada yang seolah meyakinkan bahwa Yitzhaq dalam keadaan baik-baik saja dan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar. Karel menandatangani surat tersebut dengan tangan yang gemetar, penuh dengan rasa marah dan frustrasi yang mendalam. Ia tahu bahwa apa yang ditulisnya hanyalah kebohongan, namun ia merasa tak ada pilihan lain.
Ketika surat itu diletakkan di atas meja kerjanya, Karel merasakan sedikit kelegaan meskipun kemarahan dan kegalauan tetap membelenggu hatinya. Ia berharap bahwa Pastor Willem tidak akan mendalami terlalu jauh, dan ia dapat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam tentang Yitzhaq di masa depan.
Dengan surat yang sudah disegel, Karel kembali menatap ruangan kerjanya yang berantakan, merasa lelah dan putus asa. Ia tahu bahwa masalah ini belum sepenuhnya berakhir, dan ia harus terus berjuang untuk menjaga posisinya dan menjaga agar citranya tetap baik di mata orang-orang yang lebih berkuasa. Sambil menghapus peluh di dahi dan merapikan kertas-kertas di mejanya, Karel mencoba untuk menenangkan dirinya, berharap agar masalah ini tidak akan semakin memburuk.
Malam itu, Karel sulit tidur. Pikiran tentang Yitzhaq terus menghantui benaknya. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Yitzhaq yang melarikan diri muncul, seolah mengejeknya. Karel bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju ruang tamu. Ia menuangkan segelas brendi dan meneguknya perlahan, mencoba menenangkan pikirannya.
Suara-suara malam di Batavia terdengar samar-samar dari luar. Karel berdiri di dekat jendela, menatap kegelapan di luar. Angin malam yang sejuk sedikit membantu meredakan emosinya. Namun, rasa frustrasi dan kebencian masih membara di dalam dirinya. Ia berpikir tentang apa yang akan terjadi jika Pastor Willem mengetahui kebenaran.
Karel tahu bahwa Pastor Willem adalah orang yang sangat berpengaruh. Jika ia sampai tahu bahwa Yitzhaq telah melarikan diri, reputasi Karel bisa hancur. Ia akan kehilangan dukungan dan mungkin juga pekerjaannya. Karel menggertakkan giginya, merasa semakin tertekan dengan setiap pikiran yang muncul di benaknya.
Keesokan harinya, Karel memutuskan untuk mencari bantuan. Ia pergi menemui seorang detektif swasta yang ia kenal, berharap bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan Yitzhaq. Detektif itu, seorang pria paruh baya dengan wajah yang penuh bekas luka, mendengarkan cerita Karel dengan penuh perhatian.
"Aku ingin kau menemukan anak itu," kata Karel dengan suara tegas. "Aku tidak peduli bagaimana caranya, yang penting dia harus ditemukan."
Detektif itu mengangguk, wajahnya serius. "Aku akan melakukan yang terbaik, Tuan Karel. Tapi ini mungkin akan memakan waktu."
Karel mengangguk, merasa sedikit lega. "Aku akan membayarmu dengan baik. Temukan dia, dan aku akan memastikan kau mendapatkan bayaran yang layak."
Detektif itu segera memulai pencariannya. Ia mengunjungi berbagai tempat di Batavia, berbicara dengan orang-orang dan mencari informasi yang mungkin berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...