Bab 10: Kebaktian dan Keputusan

24 6 0
                                    

Pagi hari Minggu itu, suasana di asrama terasa berbeda. Ada semacam keheningan yang penuh harap menyelimuti anak-anak, seolah-olah mereka semua tahu bahwa hari ini adalah hari yang istimewa. Di aula utama gereja, anak-anak paduan suara, termasuk Yitzhaq dan Jonathan, sudah berkumpul dalam barisan mereka, bersiap untuk memulai kebaktian.

Ketika lonceng gereja mulai berdentang, menandakan dimulainya kebaktian, Papa Heinrich berdiri di depan mimbar dengan jubah pendetanya yang putih bersih. Kebaktian hari itu, seperti biasa, dimulai dengan doa pembukaan dalam bahasa Belanda, diikuti oleh pembacaan Kitab Suci. Yitzhaq duduk di bangkunya dengan tenang, mencoba meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Papa Heinrich, meski hatinya masih sedikit berdebar karena kegugupan yang tertinggal dari hari-hari sebelumnya.

Tiba saatnya bagi paduan suara untuk menyanyikan lagu-lagu rohani yang telah mereka latih. Yitzhaq dan Jonathan berdiri di barisan masing-masing, merasakan mata jemaat yang tertuju pada mereka. Musik pengiring mulai mengalun lembut, memberi tanda bagi mereka untuk memulai.

Suara pertama yang keluar adalah suara soprano, tinggi dan jernih, diikuti oleh suara tenor yang lebih rendah, dan kemudian baritone serta bass. Saat itulah Yitzhaq merasakan ketenangan mulai mengalir dalam dirinya. Suaranya, yang awalnya ragu-ragu, mulai menguat seiring dengan nada-nada yang mereka nyanyikan. Lagu pertama yang mereka bawakan adalah “Weet gij hoeveel sterren kleven aan de blauwe hemelboog?”, diikuti oleh beberapa lagu lainnya yang juga memiliki lirik yang penuh makna spiritual.

Kebaktian berlangsung dengan khidmat. Jemaat menyimak dengan seksama setiap khotbah yang disampaikan oleh Papa Heinrich, yang kali ini berbicara tentang pentingnya iman dan pengharapan dalam menghadapi masa-masa sulit. Kata-katanya mengalir dengan tenang, setiap kalimatnya terdengar jelas dan penuh keyakinan. Bagi Yitzhaq, khotbah itu terasa seperti berbicara langsung kepadanya—mengajarkannya untuk tidak menyerah, meskipun berada di tempat yang asing jauh dari kehidupan lamanya di Belanda.

Setelah kebaktian selesai, jemaat mulai berdiri, saling beramah-tamah, dan perlahan-lahan meninggalkan aula gereja. Yitzhaq dan Jonathan, yang telah menyelesaikan tugas mereka di paduan suara, berjalan keluar bersama-sama. Rasa lega yang besar melingkupi Yitzhaq—latihan yang mereka lakukan membuahkan hasil, dan mereka berhasil membawakan lagu-lagu rohani dengan baik.

Mereka menuju ke arah pintu keluar gereja, tetapi sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, Jonathan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Yitzhaq. “Ayo, kita temui Papa Heinrich sekarang untuk meminta izin mengelilingi Batavia,” ajak Jonathan dengan semangat.

Yitzhaq mengangguk setuju, meskipun ada sedikit rasa khawatir yang mengganjal di hatinya. Mereka berjalan menuju kantor Papa Heinrich, yang berada di salah satu sisi gereja. Setelah mengetuk pintu dan mendapat izin masuk, mereka melihat Papa Heinrich sedang membereskan beberapa dokumen di mejanya.

“Selamat pagi, Papa Heinrich,” sapa Jonathan dengan sopan. “Kami ingin meminta izin untuk berjalan-jalan di sekitar Batavia hari ini, jika Papa mengizinkan.”

Papa Heinrich mendongak dari dokumennya dan tersenyum pada mereka berdua. “Ah, Jonathan dan Isaak,” katanya dengan suara ramah. “Tentu, apa yang ingin kalian lihat di Batavia?”

“Kami ingin melihat bagaimana kehidupan para pribumi di sekitar Batavia dan mungkin juga mengunjungi beberapa tempat di pusat kota,” jawab Jonathan dengan antusias.

Namun, Papa Heinrich tidak langsung menjawab. Ia memandang Yitzhaq dengan pandangan yang lebih dalam, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian bagi Yitzhaq, Papa Heinrich akhirnya berkata, “Jonathan, bisakah kau menunggu di luar sebentar? Saya ingin berbicara dengan Isaak secara pribadi.”

Bettelheim [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang