Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Yitzhaq merasa sedikit tenang. Meski masih ada rasa takut yang menghantui, ia bersyukur telah menemukan tempat berlindung dan seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakiminya. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan penuh dengan tantangan, tetapi untuk saat ini, ia bisa merasakan kedamaian, walau hanya sementara.
Keesokan paginya, Yitzhaq terbangun oleh suara lonceng gereja yang berdentang lembut. Ia membuka matanya dan sejenak kebingungan, lupa di mana ia berada. Namun, ketika ia melihat memar pada kaki dan tangannya, kenangan tentang pelariannya semalam kembali mengalir. Ia menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menghadapi hari yang baru.
Saat Yitzhaq keluar dari ruang kecil tempat ia tidur, ia melihat pendeta yang menolongnya sedang menyiapkan sarapan sederhana di meja dekat altar. Aroma roti segar dan sup sayuran hangat mengisi udara. Sang pendeta tersenyum hangat ketika melihat Yitzhaq mendekat.
“Selamat pagi, Yitzhaq,” sapa pendeta itu dengan suara lembut. “Kau tidur nyenyak?”
Yitzhaq mengangguk pelan. “Ya, terima kasih. Saya… saya sangat berterima kasih atas bantuan Anda, Pendeta.”
Pendeta itu duduk dan menunjuk kursi di seberangnya. “Duduklah, mari kita sarapan bersama. Setelah itu, kita akan bicara tentang rencana ke depan.”
Yitzhaq menurut dan duduk di kursi yang ditunjukkan. Ia mengambil roti dan mulai makan perlahan, merasakan kenyamanan dari makanan hangat yang jarang ia dapatkan selama tinggal bersama Karel. Selama beberapa saat, mereka makan dalam diam, hingga akhirnya pendeta itu membuka percakapan.
“Yitzhaq, aku telah memikirkan tentang apa yang kau ceritakan semalam,” ujar pendeta itu dengan hati-hati. “Aku tahu kau sudah melalui banyak hal yang sulit, dan aku ingin membantumu sebisa mungkin. Seperti yang aku katakan, kau bisa tinggal di sini untuk sementara waktu. Tapi, untuk melindungimu, kita harus memastikan bahwa tidak ada yang tahu tentang identitasmu yang sebenarnya.”
Yitzhaq menatap pendeta itu dengan rasa hormat yang mendalam. “Saya mengerti, Pendeta. Saya akan melakukan apa yang Anda minta.”
Pendeta itu mengangguk. “Bagus. Namun, aku juga ingin kau tahu bahwa berpura-pura menjadi orang lain tidak mudah. Ini adalah beban yang berat, terutama bagi seseorang seumurmu. Tapi ingatlah, kau tidak sendiri. Tuhan selalu bersamamu, dan aku juga ada di sini untuk mendukungmu.”
Yitzhaq merasakan kehangatan di hatinya mendengar kata-kata pendeta itu. Meskipun masih ada ketakutan yang menghantui, ia merasa sedikit lebih kuat dengan dukungan dari orang yang peduli padanya. Ia mengangguk dengan mantap, siap untuk menjalani peran baru yang harus ia mainkan demi keselamatannya.
Setelah selesai sarapan, pendeta itu mengajak Yitzhaq untuk berjalan-jalan di sekitar gereja. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana, seperti kegiatan di gereja dan sekolah asrama Protestan yang akan menjadi tempat tinggal Yitzhaq selanjutnya. Pendeta itu memberi tahu Yitzhaq bahwa ia akan segera mendaftarkannya ke sekolah tersebut, asrama itu masih satu komplek dengan gereja tua dimana Yitzhaq mendapatkan perlindungan, disana ia dijamin bahwa ia akan mendapatkan pendidikan dan tempat tinggal yang aman.
“Di sekolah asrama, kau akan belajar seperti anak-anak lainnya,” jelas pendeta itu. “Namun, ingatlah untuk selalu berhati-hati. Jangan biarkan siapa pun tahu tentang identitasmu yang sebenarnya. Kau harus beradaptasi dengan kehidupan sebagai seorang anak Kristen, setidaknya untuk sementara waktu.”
Yitzhaq mendengarkan dengan seksama, menyadari betapa pentingnya untuk tetap berhati-hati. “Saya akan mencoba yang terbaik, Pendeta,” kata Yitzhaq, berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mampu menjalani kehidupan yang penuh kebohongan ini.
Pendeta itu menepuk bahu Yitzhaq dengan penuh kasih. “Aku tahu kau bisa, Yitzhaq. Kau anak yang kuat. Ingatlah, Tuhan selalu bersama kita, meskipun kadang kita merasa sendirian. Jangan pernah kehilangan harapan.” Pikiran Yitzhaq kembali berputar ketika pendeta menepuk bahunya, ia mengingat saat pertama kali Pastor Willem melakukan hal yang sama. Ia sangat bersyukur, meskipun ia dihadapkan pada kondisi yang sulit, Tuhan terus mengirim orang-orang baik untuk menolongnya.
Setelah percakapan tersebut, pendeta itu tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Yitzhaq, ada satu hal lagi yang harus kita bicarakan. Nama Yitzhaq dan nama belakang Bettelheim mungkin terlalu mudah dikenali sebagai nama Yahudi. Ini bisa berbahaya jika ada yang mulai curiga atau menyelidik lebih jauh. Aku berpikir, mungkin lebih baik jika kita mengubah namamu agar terdengar lebih seperti nama anak-anak Belanda pada umumnya.”
Yitzhaq terkejut mendengar usulan itu. Ia tahu betapa pentingnya identitas dan nama bagi dirinya. Nama Yitzhaq Bettelheim adalah satu-satunya yang menghubungkannya dengan masa lalunya, dengan keluarganya, dan dengan siapa dirinya yang sebenarnya. Namun, ia juga tahu bahwa pendeta itu benar. Nama tersebut bisa membahayakannya.
Pendeta itu melanjutkan dengan lembut, “Bagaimana jika kita mengganti nama depanmu menjadi Isaak? Itu nama yang masih dekat dengan nama aslimu, namun terdengar lebih umum di sini. Dan untuk nama belakang, kita bisa menggunakan Meijer. Nama ini cukup umum di Belanda, jadi orang tidak akan terlalu memperhatikan.”
Yitzhaq menunduk, merenungkan kata-kata pendeta itu. Gagasan untuk mengganti namanya membuatnya merasa kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang perlu diambil demi keselamatannya.
“Isaak Meijer,” Yitzhaq mengulang nama itu pelan, mencoba merasakan bagaimana rasanya memiliki nama baru. “Baik, Pendeta. Saya setuju.”
Pendeta itu tersenyum penuh pengertian, mengetahui betapa beratnya keputusan ini bagi Yitzhaq. “Terima kasih, Isaak. Aku tahu ini tidak mudah, tapi ini adalah untuk kebaikanmu. Kita akan memastikan bahwa kau tetap aman. Ingat, apa pun namamu, jiwamu tetap sama. Tuhan selalu tahu siapa dirimu yang sebenarnya.”
Dengan keputusan itu, Yitzhaq—sekarang dengan nama baru Isaak Meijer—melanjutkan perjalanannya di dunia yang penuh dengan bahaya dan ketidakpastian. Di balik nama barunya, ia masih menyimpan ingatan tentang masa lalunya, tentang keluarganya, dan tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Namun, untuk saat ini, ia harus bertahan dan beradaptasi, menjalani kehidupan yang penuh kebohongan demi keselamatan dirinya.
Meskipun ia harus melepaskan nama aslinya, Yitzhaq bertekad untuk tidak melupakan siapa dirinya yang sebenarnya. Di dalam hatinya, ia tetap Yitzhaq Bettelheim, anak Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi, dan yang akan terus berjuang untuk bertahan hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...