Bab 7: di Bawah Langit-Langit Kelas

27 12 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan lambat setelah pertemuan pertama Yitzhaq dan Jonathan di kelas. Meskipun mereka duduk tak jauh satu sama lain, interaksi di antara mereka masih jarang terjadi. Keduanya tampak sibuk dengan rutinitas masing-masing, seolah-olah ada tembok tak terlihat yang memisahkan mereka. Setiap jam istirahat, Yitzhaq biasanya pergi menemui Dexter di halaman belakang asrama, tempat mereka berdua bisa bersantai di bawah naungan pohon-pohon besar yang meneduhkan. Percakapan mereka selalu ringan, lebih sering tentang pelajaran atau kegiatan di asrama, tetapi itu sudah cukup untuk membuat Yitzhaq merasa nyaman. Dexter, dengan kehangatannya yang alami dan sikapnya yang selalu ceria, adalah satu-satunya tempat Yitzhaq bisa beristirahat dari kekhawatiran yang terus mengintai dalam pikirannya.

Namun, pada suatu hari, saat matahari sedang tinggi-tingginya, Yitzhaq merasakan keinginan yang berbeda. Pada jam istirahat, bukannya mengikuti rutinitas biasanya dengan Dexter, dia memutuskan untuk tetap berada di kelas. Mungkin karena rasa lelah yang menumpuk atau hanya keinginan untuk menyendiri, Yitzhaq merasa perlu untuk menenangkan pikirannya yang terus berkelana ke tempat-tempat yang tidak ingin ia ingat.

Kelas itu sunyi. Hanya ada suara detik jam yang terdengar samar-samar, mengisi keheningan di antara dinding-dinding yang seakan menyimpan cerita-cerita yang tak terucapkan. Yitzhaq duduk di bangkunya, mengeluarkan roti dari kotak perbekalannya. Dengan gerakan lambat, dia mulai mengunyah roti itu, matanya menatap kosong ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan halaman sekolah yang hijau. Di sana, anak-anak lain bermain dan tertawa, suara mereka bergema dari kejauhan, seolah-olah datang dari dunia yang berbeda.

Pikiran Yitzhaq melayang-layang, kembali ke ingatan-ingatan yang ingin ia kubur dalam-dalam. Kehidupan barunya di asrama ini adalah sebuah tantangan yang tak pernah ia bayangkan. Setiap hari adalah ujian, bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk menjaga rahasia yang begitu berharga-rahasia yang, jika terungkap, bisa menghancurkan segalanya.

Di tengah lamunannya, sebuah suara lembut namun penuh rasa ingin tahu tiba-tiba memecah keheningan. "Isaac, kan?" Suara itu berasal dari arah belakang. Yitzhaq terkejut, seolah-olah tersadar dari mimpi yang panjang. Dia menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok Jonathan yang berdiri di dekat mejanya.

Jonathan adalah anak laki-laki berkulit putih kemerahan, rambut pirangnya tergerai rapi, seolah disisir dengan sempurna setiap pagi. Mata birunya berkilau seperti langit musim panas, dan ketika dia tersenyum, terlihat lesung pipi kecil yang hanya ada di sebelah kanan wajahnya, memberikan kesan ramah dan hangat. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyumnya itu, sesuatu yang membuat Yitzhaq merasa bahwa anak ini mungkin menyimpan rahasia yang sama seperti dirinya-rahasia yang tak bisa dibagi dengan sembarang orang.

Yitzhaq mencoba tersenyum, meskipun ada sedikit kecanggungan yang masih membayang di wajahnya. "Ya, aku Isaac," jawabnya pelan, merasa sedikit aneh mendengar nama barunya disebut oleh orang lain.

Jonathan mendekat, mengambil tempat duduk di kursi di depan Yitzhaq. Dengan gerakan lembut, dia meletakkan tasnya di lantai dan menatap Yitzhaq dengan mata birunya yang penuh rasa ingin tahu. "Kau tidak biasanya di sini saat istirahat," katanya, membuka percakapan dengan nada yang ramah. "Biasanya aku melihatmu bersama temanmu".

Yitzhaq mengangguk lagi, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih tulus. "Ya, biasanya begitu. Tapi hari ini aku merasa ingin beristirahat di sini saja," jawabnya, sedikit mengangkat bahu untuk menekankan bahwa tidak ada alasan khusus.

Jonathan mengangguk, tampaknya memahami. "Waktu untuk sendirian sejenak itu memang sangat penting," katanya bijak, seolah-olah dia sedang berbicara dari pengalaman pribadi.

Setelah itu, percakapan mereka mengalir dengan lebih mudah, seperti air sungai yang mengalir melewati bebatuan, kadang cepat, kadang lambat, tapi selalu bergerak. Mereka mulai saling mengenal lebih baik, meskipun dengan cara yang hati-hati dan penuh kehati-hatian. Jonathan bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi pemondok di asrama, dan Yitzhaq, sambil memilih kata-katanya dengan hati-hati, berbagi pengalamannya. Dia berbicara tentang rutinitas sehari-hari, tentang bagaimana dia berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di tempat baru ini, tetapi selalu waspada untuk tidak mengungkapkan terlalu banyak tentang dirinya.

Bettelheim [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang