Malam di asrama itu sunyi, dengan hanya suara angin yang berhembus lembut di luar jendela. Yitzhaq duduk di sudut kamarnya yang gelap, jauh dari pandangan teman-teman sekamarnya yang sudah terlelap. Tangannya menggenggam pecahan kaca kecil yang dia sembunyikan selama beberapa hari terakhir. Ia merasa putus asa, terjebak dalam dunia yang seolah tak memberinya tempat untuk bernapas. Pieter dan kawan-kawannya terus-menerus menghantuinya, menertawakannya, menghinanya, dan mengingatkannya setiap hari bahwa ia tidak akan pernah benar-benar diterima di sini.
Yitzhaq perlahan mengarahkan pecahan kaca itu ke pergelangan tangannya. Ada perasaan aneh yang muncul di dalam dirinya—campuran antara ketakutan dan kelegaan. Setiap kali kaca itu menyentuh kulitnya, rasa sakit fisik itu tampak mengalihkan pikirannya dari penderitaan batinnya yang tak terlihat. Ia merasa bahwa hanya di saat-saat itu, ketika semua orang tertidur, ia bisa merasakan kendali penuh atas hidupnya, meskipun sesaat.
Namun, suara langkah kaki yang pelan mendekat membuatnya berhenti. Yitzhaq buru-buru menyembunyikan pecahan kaca itu di balik tumpukan buku saat Dexter muncul di ambang pintu, menatapnya dengan wajah khawatir.
"Apa yang kau lakukan, Yitzhaq?" bisik Dexter dengan nada yang penuh perhatian.
Yitzhaq tak bisa menjawab. Ia hanya menunduk, merasa malu dan takut ketahuan. Namun Dexter sudah melihat cukup banyak. Dengan perlahan, Dexter mendekat dan duduk di samping Yitzhaq.
"Kau tidak perlu melakukan ini," kata Dexter lembut sambil mengambil pecahan kaca itu dari tangan Yitzhaq. "Percayalah, aku tahu Pieter dan teman-temannya membuat hidupmu sulit, tapi ini bukan jawabannya."
Yitzhaq menghela napas panjang, merasa kepalanya berdenyut dengan penuh tekanan yang tak kunjung reda. "Aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan, Dexter. Mereka tidak akan berhenti. Setiap hari aku merasa semakin terpojok. Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa terus bertahan seperti ini."
Dexter meletakkan pecahan kaca itu jauh dari jangkauan Yitzhaq. "Lawan mereka. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keberanian. Pieter dan yang lainnya hanya berani karena mereka tahu kau takut. Jika kau bisa menunjukkan bahwa mereka tidak bisa merusakmu, lama-lama mereka akan berhenti. Aku tahu itu sulit, tapi kau tidak sendirian."
Yitzhaq terdiam. Kata-kata Dexter terasa jauh di lubuk hatinya, namun rasa takut dan putus asanya terlalu mendalam. Ia menginginkan keberanian yang Dexter bicarakan, tapi rasanya itu masih jauh dari jangkauannya.
Sementara itu, di tempat lain, Jonathan tampak ceria seperti biasanya. Setiap hari di sekolah, ia adalah pusat perhatian, tersenyum dan tertawa dengan teman-temannya. Namun, di balik senyumnya, ada beban yang hanya ia sendiri yang tahu. Setiap kali ia pulang ke rumah, ia dihadapkan dengan kenyataan bahwa hidupnya bukan miliknya sendiri. Ayahnya adalah seorang pria keras, dengan ambisi besar untuk masa depan Jonathan.
"Aku ingin kau menjadi sesuatu yang penting, Jonathan," sering kata ayahnya dengan nada yang tak terbantahkan. "Pejabat, militer—sesuatu yang akan membanggakan keluarga kita."
Namun, Jonathan tidak pernah memiliki minat pada hal-hal itu. Ia lebih suka duduk diam dengan buku-buku favoritnya, atau menulis cerita-cerita pendek tentang dunia yang lebih bebas. Dunia di mana orang tidak terikat oleh ekspektasi orang lain, di mana mereka bisa menjadi diri mereka sendiri tanpa paksaan. Tapi di rumah, dunia seperti itu tidak ada.
Jonathan dipaksa mengikuti les privat, kursus militer, bahkan pelatihan pidato yang diatur ayahnya setiap hari setelah sekolah. Ia kelelahan, tapi tidak pernah menunjukkan keluhannya di depan orang lain. Ia takut mengecewakan ayahnya, takut dianggap gagal. Jadi, ia menyembunyikan perasaannya dengan senyum dan tawa di sekolah.
Namun, setiap kali ia melihat Yitzhaq di sekolah, yang tampak semakin murung dan tertutup, Jonathan merasakan cermin penderitaan dirinya sendiri. Meski berbeda, beban yang mereka tanggung sama beratnya, tapi tidak ada dari mereka yang menceritakan masalah mereka secara terbuka. Jonathan yang selalu tampak ceria tidak ingin menunjukkan kelemahannya, sementara Yitzhaq, yang cenderung lebih introspektif, mulai tenggelam dalam depresinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bettelheim [On Going]
Historical FictionSeorang anak Yahudi berhasil kabur untuk menghindari holocaust setelah di selamatkan oleh seorang pastor katolik, yang terkenal akan kemanusiannya terhadap sesama manusia. Lalu kemudian sang pastor membantunya dan berhasil membawanya kabur ke salah...