3

634 60 4
                                    

Hari ini, Jeon mendapatkan shift dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore, pemuda manis itu berjalan pulang.

Sore hari di kota Kopenhagen, pemuda manis itu masih berseragam serba hitam, Jeon menengadahkan kepalanya ke atas dan mendapati langit Jingga dan masih sedikit biru, telak membuatnya tersenyum kecil.

Jeon berjalan melewati jalanan Kopenhagen yang terdapat banyak pejalan kaki dan orang naik sepeda. Negara yang damai. Aroma keju panggang di udara—mungkin berasal dari restaurant di seberang jalan membuat pemuda manis itu keroncongan. Tapi, dia sudah memiliki kebiasaan memasak di rumah. Jika Jeon sudah memiliki kebiasaan, maka dia akan jaga itu secara konsisten. Jeon sangat suka keteraturan.

Beberapa saat kemudian, dia sampai di apartemennya. Dia melepas sepatu, seragam dan memakai pakaian santai. Dilanjutkan dengan mandi, memasak, makan dan menonton tv. Nyaris dia tidak pernah melewatkan kegiatan dengan urutan yang berbeda. Pasti sama.

Ketika televisi menyala di depannya, Jeon menghela nafas berat, dia merasa.....kesepian. Dari sekolah SMA sampai ke bekerja dia melakukan semuanya jauh dari rumah. Kadang, Jeon sangat merindukan orang tuanya hingga dia menangis diam-diam di dalam kamar. Kadang dia perlu seseorang, tapi di umurnya yang sudah dewasa, dia tidak bisa menemukan teman yang digunakannya sebagai rasa pengusir kesepian, karena semua orang nampak sibuk. Jadi, pemuda manis itu tidak berani menganggu teman-temannya ataupun.....Yohan—bahkan lelaki itu memiliki dua pekerjaan ( Polisi dan pemilik cafe ). Rasanya kosong, hampa dan melelahkan. Tapi Jeon memilih untuk bertahan. Dia tidak bisa menyia-nyiakan masa mudanya untuk bersenang-senang saja bukan?

Dan dalam pikirannya yang jenuh, Jeon perlahan menutup matanya dan tidak sadar jatuh ke dalam pikirannya. Mendadak, disana Jeon melihat seorang lelaki bermata gelap sedang meringkuk dalam sel tahanan. Nafas Jeon naik turun melihat adegan memilukan itu dan segera membuka matanya.

"Kenapa aku malah  memikirkan tahanan itu? Aku sudah pasti gila" gumam Jeon.

Ding

Dong

Ding

Dong

Kedua bahu pemuda manis itu meloncat ketika terkejut dengan bel apartemennya sendiri. Dia langsung berdiri dan berjalan menuju sana.

"Siapa sih yang datang selarut ini?" Jeon menekuk kedua alisnya.

Ceklek!

Saat pintu terbuka, menampakan sosok Yohan yang tinggi serta kedua tangannya berisi kantung kertas cokelat. Dan Jeon bisa mencium aroma keju darisana.

"Kau harus makan dengan baik!" Yohan menyodorkan kantung kertas itu.

"Ta-tapi, aku sudah makan tadi" jawab Jeon dengan wajah menyesalnya.

Menggeleng dilakukan oleh Yohan.

"Bisa dihangatkan untuk besok" Yohan mengusap pucuk kepala Jeon dengan gemas.

"Baiklah, terimakasi. Ayo masuk dulu" Jeon membuka pintunya lebih lebar.

"Ah, tidak usah, ini sudah malam dan aku akan pergi untuk berjaga hari ini"

"Baiklah, hati-hati Yohan!" Jeon melambaikan tangannya pada Yohan yang perlahan pergi meninggalkannya.

Pemuda manis itu menatap dua kantung kertas yang berisi burger hangat. Jeon tersenyum tipis, dia tau jika sepupu jauhnya itu sedang menyukainya. Namun, Jeon mengabaikannya saja, lagipula Yohan tidak pernah benar-benar memberitahu Jeon tentang perasaannya.

Pemuda manis bermata biru lalu menutup pintunya, punggungnya bersandar di daun pintu dan malah memikirkan pria psikopat bermata gelap yang selalu menatapnya dalam. Kim Vicle, namanya sepertinya tidak asing—tentu saja karena nama itu sudah tersebar di penjuru Kopenhagen sebagai pembunuh berantai. Tapi bukan itu, Jeon rasanya pernah mendengar namanya namun bukan di berita pembunuhan, pokoknya di suatu tempat yang Jeon tidak ingat.

CRIME WITH VICLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang