...
“SATU POIN LAGI, PLEASE! MIPA SATU HARUS MENANG!” teriak Celia sambil menangkupkan kedua tangan di samping mulutnya, menyerupai toa. Rambut panjangnya berayun mengikuti gerakannya, seperti bendera yang tertiup angin.
“Ck, capek enggak, Cel, teriak-teriak dari tadi?” tanya Viong sambil menopang dagu. Mata cokelatnya menatap datar, tak terpengaruh oleh euforia di sekitarnya.
“Harusnya lo juga semangatin kelas kita!” Celia menyahut, tetap bersemangat.
Viong hanya memutar mata, menoleh ke arah Putri yang duduk di sampingnya. “Put, balik kelas yuk. Kayaknya Celia masih semangat banget nih.”
“Yah, gue juga masih pengen lihat, Yong.” Putri tersenyum kecil. “Enggak kasihan, tuh, lihat Celia segitu semangatnya malah ditinggal?”
Viong mendengus dan kembali menopang dagu, menatap malas ke arah lapangan di bawah tempat mereka duduk. Cowok-cowok sedang berlari ke sana kemari, berkeringat, berlomba memperebutkan bola basket.
“Apa, sih, yang seru dari nonton basket?” gumamnya.
Tiba-tiba, Celia berteriak lagi, “CURANG! MASA KELAS GUE KALAH?” Suaranya memenuhi lapangan, menarik perhatian penonton lain.
Dari bangku di bawah, Sari—gadis dari MIPA Dua—membalas sambil mengejek. “Curang? Ngaca, deh!”
“KALIAN YANG CURANG!” Celia hampir melangkah turun, tapi Viong segera menahan lengannya. “Udah, balik aja, yuk.”
Di kelas, Celia masih menggerutu. “Gue kesel banget, Yong! Mau gue gunting, tuh, bibir monyongnya.”
“Ya udah, santai. Toh, ini bukan kejuaraan nasional,” ujar Viong tenang.
“Tapi... HUAAA, COWOK-COWOK KESAYANGANKU! SEDIH BANGET KALIAN HARUS KALAH!” Celia berlari mendekati cowok-cowok kelas mereka yang baru selesai bertanding, tampak lelah dan kecewa.
“Nih, minum dulu!” Celia menyodorkan botol ke Yose, lalu menyeka keringatnya dengan saputangan.
Arga mengerutkan dahi, setengah bercanda. “Cel, kita-kita enggak lo peduliin?”
Celia terkikik hendak berjalan menuju Arga, tapi Yose menahan tangannya. “Peduliin gue aja. Yang lain biarin aja.”
Arga tergelak. “Bukan pacar tapi posesif, namanya apa, guys?”
“FRIENDZONE!” seru teman-teman mereka serempak, disusul gelak tawa.
...
Kelas sebelas MIPA 1 dan 2 sedang pelajaran olahraga. Setelah pemanasan yang Pak Dadang ajarkan, mereka memutuskan bertanding basket. Saat pertandingan selesai dan waktu istirahat hampir tiba, beberapa murid sudah kembali ke kelas, ada juga yang memilih nongkrong di kantin.
Di kelas, Giovano Kumbara atau Gio, menepuk bahu Venus dengan semangat. “Ayo, Ven, gabung sama geng kita. Gue yakin lo bakal betah,” katanya penuh antusias.
“Iya, Ven. Lo kan ganteng, orkay, pinter basket, motor lo juga lebih keren dari motor-motor kita,” sahut Gavin, mencoba merayu.
Venus Abyrael Naufal hanya menatap mereka datar. Ia sudah sering diajak masuk ke geng mereka sejak kelas sepuluh.
“Nama gengnya apa?” tanya Venus akhirnya, sedikit penasaran.
“The Geng Coim,” jawab Alfarendra, atau Al.
Venus mengerutkan kening. “Coim?”
“Yup, Coim. Singkatan dari ‘Cowok Imut’,” jelas Gavin sambil tersenyum bangga.
Venus terdiam, menatap mereka seolah tak percaya. Ia tersedak ludah sendiri mendengar nama geng yang menurutnya aneh itu.
“Kenapa, Ven? Keren, kan?” tanya Nataniel atau Niel, berharap Venus tertarik.
Venus menyesap jus jeruknya, kemudian berkata datar, “Nggak.”
Al menatapnya heran. “Kenapa lo nggak pernah mau masuk geng kita, sih, Ven?”
Venus menghela napas. “Gue bukan cowok imut.”
“Ya ampun, jadi cuma karena nama itu?” Niel tak percaya.
Venus memutar matanya malas. “Iya. Lihat muka lo pada aja, gue udah nggak tertarik.”
Niel memegang dadanya pura-pura kesal. “Sialan lo, Ven. Sekali ngomong langsung bikin hati aa potek.”
Al berusaha membujuk lagi. “Ya udah, kita ganti aja namanya. Biar lo mau join, oke?”
Venus mendesah, mengangkat bahu. “Terserah.”
Al langsung menoleh ke teman-temannya. “Sekarang giliran kalian, coba kasih nama baru.”
“Gue punya!” sahut Niel penuh semangat. “Coca.”
“Coca?” Gavin heran. “Coca-Cola?”
“Bukan, bangke. Coca itu ‘Cowok Cantik’,” jawab Niel sambil tersenyum lebar.
Gavin langsung memukul bahunya. “Kita serius, Niel, malah lo aneh-aneh.”
Niel hanya meringis sambil mengusap bahunya yang sedikit sakit. “Kenapa? Cowok imut nggak bisa, jadi cowok cantik juga nggak?”
Gavin menggeleng, lalu mencoba ide lain. “Geng Jaya?”
“Geng motor?” ujar Niel masih ngotot.
Al menepuk dahinya, frustasi. “Yang serius, dong!”
“Geng terkuat?” Niel mencoba lagi, tanpa menyerah.
Al akhirnya menoleh ke Gio, penuh harapan. “Gio, ide lo apa?”
“Geng Tobrut,” jawab Gio santai.
“Sialan!” Al menghela napas kesal. “Gue salah pilih temen, nih.”
Venus yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Ganti aja, namanya jadi Vagos.”
Keempat cowok itu langsung menatapnya penuh semangat. “Anjir, keren banget!” ujar Gio kagum.
“WELCOME TO THE GENG VAGOS!” seru Al lantang, penuh rasa puas.
Gavin hanya bisa menghela napas melihat ketuanya yang kelewat antusias.
***
Jujur aku agak risih sama ceritaku ini, karena ini cerita pertama ku.
Jadi aku udah revisi pelan-pelan buat makin enak bacanya.Jangan lupa tekan tombol vote, komen sebanyak-banyaknya terserah. Dan ikuti akun ini yaaa!!
KAMU SEDANG MEMBACA
VENUS (END)
Teen Fiction--- "Yong..." panggil Venus, tangannya menggenggam tangan Viong, menghentikan langkahnya. "Boleh gue cium lo?" bisik Venus, suaranya serak, penuh keinginan. "Hah?" gumam Viong, bibirnya sedikit terbuka. Venus nggak menunggu jawaban. Dia mendekat, bi...