Bab 27 (Rumah Bu Nyai)

3 0 0
                                    

Sore itu di teras rumah, Azrina tampak menemani ibunya yang sedang merawat tanaman anggrek di halaman.

Gadis itu duduk di kursi teras dengan mengetik tugas skripsi.

"Gimana skripsi kamu, Nak?" tanya Ibunda Azrina sembari menyemprot air pupuk pada tanaman.

"Alhamdulillah, ada perkembangan Bun."

Azrina tersenyum dengan melihat ke arah ibunya.

"Kemarin Nana sempat ubah judul skripsi, Bun. Awalnya 'kan tentang psikologi klinis, trus Nana ubah tentang psikologi pendidikan, eh konsultasinya malah lancar banget," cerita Azrina.

Perlahan ibunda Azrina mendekat, dan duduk di teras menemani putrinya.

"Ya sudah kamu teruskan saja, jika itu lebih memudahkan kamu dalam menyelesaikan skripsi."

"Tapi masalahnya, Nana harus ambil data di dua tempat, Bun. Di sekolah umum sama di sekolah pesantren."

"Ya nggak apa-apa. Apa udah kamu tentukan di sekolah mana?"

"Udah sih, Bun. Kalau di sekolah umum, Nana ambil data di SMA Nana dulu, 'kan masih kenal dekat dengan kepala sekolah dan guru-gurunya. Kalau di pesantren ini, yang Nana bingung."

"Kenapa harus bingung? Teman ayah bunda banyak yang punya pesantren. Kamu mau, bunda bantu cari pesantren untuk penelitian?"

"Mmmmm.... Nggak usah, Bun," tolak Azrina.

"Sebenarnya kemarin, udah ada yang nawarin Nana untuk penelitian di pesantrennya. Beliau bahkan mengizinkan Nana menginap, dan menyarankan agar Nana belajar ilmu agama sembari ambil data penelitian," lanjutnya.

"Siapa?"

"Bu Nyai Halimah, Bun."

"Oooh... Di mana pesantrennya?"

"Di kecamatan Sidoarum. Letaknya di pinggiran kota, sekitar tiga jam dari kampus."

"Ya nggak apa-apa, kamu terima aja. Mungkin ada baiknya, sembari penelitian kamu belajar ilmu agama, jadi kamu dapat 2 ilmu, dan mendapat dobel pengetahuan. Kamu juga nggak bakal capek, karena nggak harus bolak-balik kampus, pesantren, kampus, pesantren," saran ibundanya.

Azrina berpikir sejenak.

"Kalau boleh tahu, pesantren Ibu Halimah itu, pesantren apa? Salafi atau modern?"

"Mmm.... Sepertinya pesantren salafi Bun, karena Nana lihat, dari penampilan santri perempuannya masih mengenakan sarung, dan mereka begitu takdim pada Bu Nyai, bahkan jalan di depan Bu Nyai sambil berjongkok."

"Oooh...."

Ibunda Azrina mengangguk-angguk.

"Kenapa, Bun? Bunda nggak jadi ngizinin Nana penelitian di sana?" tanya Azrina penasaran.

"Yang Nana pernah baca, biasanya 'kan, pesantren salafi itu berafiliasi kultural pada nahdatul ulama, sementara ayah bunda 'kan, beda organisasi."

Ibunda Azrina tersenyum mendengar ucapan putrinya.

"Itu kan hanya soal sudut pandang, Nak. Kita sama-sama ahlussunah wal jamaah, sama-sama ummat Nabi Muhammad, pengikut Sunnah Rasul. Jadi sah-sah saja jika kamu mau penelitian dan belajar mengaji di sana, bahkan dengan begitu wawasan kamu akan lebih berkembang luas."

"Oooh...."

Azrina mengangguk-angguk.

"Pergilah kalau mau pergi, bunda ngizinin kamu."

Ibunda Azrina tersenyum dengan mengusap kepala putrinya.

*****

Keesokan paginya di kampus.

Janji Untuk Azrina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang