Setelah hampir dua Minggu berada di rumah, kini Azrina kembali beraktivitas di kampus.
Gadis itu melangkah menghampiri Kinan yang sedang duduk di kursi panjang depan kantor fakultas.
"Huuuh!" Terdengar gadis itu membuang napas keras.
"Kenapa, Na?" Kedua alis Kinan bertaut, matanya menatap Azrina dengan rasa penasaran.
"Proposalku tidak disetujui, Ki."
"Loh! Kenapa? Katanya kemarin sudah disetujui?"
"Waktu bimbingan ke Bu Winda disetujui, tapi sama Pak Rusdi di tolak. Hmmmh!..." Azrina terlihat putus asa.
"Sabar, Na! Berarti kita harus lebih semangat lagi belajarnya. Ayo ke perpus! Siapa tahu nanti dapat pencerahan."
Dua sahabat itu mulai beranjak dari tempat duduknya menuju perpustakaan.
****
Waktu terus berjalan, tiga Minggu kembali terlewati. Azrina masih sibuk dengan pengajuan judul skripsinya.
"Gimana, Na?" tanya Kinan saat Azrina baru keluar dari ruang dosen.
"Hmmmmh!"
Azrina tampak lesu, dia berjalan keluar dari ruang dosen tanpa semangat.
"Suruh mengubah judul lagi?" tanya Kinan.
"Mmmm...."
Azrina mengangguk dengan wajah ditekuk.
"Suruh tambah variabel, Ki," lirihnya.
"Hmmmh! Keterlaluan banget sih dosen pembimbing kamu itu, masak satu bulan bahas judul melulu, aku aja bimbingan udah masuk bab 3, loh!" gerutu Kinan geregetan.
"Ya, udah. Yuk ke perpus aja, siapa tau nanti di sana dapat ide lagi!"
Kinan menggandeng tangan sahabatnya yang tampak tidak bersemangat itu.
Setelah sampai di perpustakaan Azrina mulai duduk di meja panjang membaca buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsinya, dan mulai mencari ide untuk memperbaiki judul skripsi tersebut.
Dalam kekalutan Azrina mulai meletakkan bukunya, gadis itu tampak menidurkan kepalanya di atas meja perpustakaan.
Kinan yang saat itu duduk di hadapannya mulai mengajak gadis itu berbicara.
"O, iya. Na. Gimana kabar, Si Gus?"
Azrina mendongak, lalu perlahan duduk dengan tegap.
"Mmmm...."
Azrina tersenyum datar.
"Jadi datang ke rumah kamu 'kan?" tanya Kinan
Azrina kembali tersenyum.
"Kamu beneran jadi di lamar 'kan?" tanya Kinan lagi, dan Azrina masih saja menjawab dengan senyum.
"Nggak jelas banget sih jawabnya, Na."
Kinan terlihat kesal.
"Hmmmh!"
Azrina mulai menghela napas dalam.
"Udah empat Minggu, Gus Aif nggak ada kabar, Ki."
"Haaaaa?"
Kinan mengerutkan alisnya dengan menatap Azrina tak percaya.
"Mungkin dia sibuk," ucap Azrina dengan menundukkan kepala.
"Sibuk apa dia? Cari lowongan kerja?" sahut Kinan.
Azrina kembali menjawab dengan tersenyum.
"Aku mau pulang ke kosan, Ki. Aku capek, pingin istirahat," ujar Azrina seolah ingin menghindari percakapannya dengan Kinan tentang Si Gus tampan itu.
****
Dua Minggu kembali berlalu, Azrina terlihat keluar dari ruang dosen pembimbingnya dengan wajah yang masih murung.
"Ada masalah lagi, Na?" tanya Kinan. Sahabat yang selalu setia menemaninya.
"Mmmm...."
Azrina mengangguk tampak semangat.
"Ternyata, kecerdasan dan IPK tinggi tidak menentukan cepatnya proses skripsi, ya? Hahahaha!" ledek Kinan dengan tertawa renyah berharap sahabatnya itu terhibur.
Benar saja, Azrina tersenyum kecil dengan menepuk pelan lengan Kinan.
"Dosen kamu emang keterlaluan banget, Na!" tambah Kinan.
"Iya, sih. Tapi mungkin, mereka ingin aku lebih paham, dan mengerti, makanya dibuat serumit ini."
"Ya udah lah, Na. Sabar ya!"
"Mmmm...."
Azrina mengangguk dengan tersenyum.
Kedua sahabat itu terlihat berjalan menyusuri koridor fakultas.
"O, iya. Na. Gimana kabar Si Gus?" tanya Kinan disela perjalanan mereka keluar dari gedung fakultas.
Azrina terdiam.
"Masih belum ada kabar?"
Kinan tampak penasaran.
Azrina mengangguk dengan tersenyum tipis.
"Kurang ajar banget sih, Dia. Awas aja ya, kalau ketemu nanti!"
"Emangnya mau kamu apain?"
"Aku tonjok mukanya."
Gadis berbusana muslim casual itu terlihat geram.
"Hmmmmh!"
Azrina membuang napas dengan tersenyum.
"Mungkin Gus Aif sibuk, Ki."
Azrina berkata dengan tenang sekali pun tampak jelas ada sebuah kegelisahan di sorot bening netranya.
"Hampir dua bulan nggak ngubungi kamu. Padahal janjinya mau melamar kamu setelah KKN. Gus macam apa dia, pendusta!"
"Nggak boleh su'udzan gitu, Ki. Lagi pula 'kan, Gus Aif tidak pernah berjanji, dia cuma pernah bilang, In Sha Allah akan segera ke rumahku, dan ingin secepatnya menghitbahku, tapi nggak ada kata janji di dalamnya," jelas Azrina.
"In Sha Allah itu kata yang digunakan seorang muslim ketika dia hendak berjanji. Kalimat itu memang bukan janji, tapi bukan berarti dia bisa mempermainkan kalimat In Sha Allah dengan tidak menepati ucapannya," balas Kinan.
"Mungkin dia sibuk, atau handphonenya hilang, atau rusak, jadi belum bisa atau pun belum sempat menghubungi aku."
"Naif banget sih kamu, Na."
Kinan melirik Azrina dengan kesal.
"Kalau dia sayang kamu, dia cinta kamu, dia pasti kebelet untuk segera ketemu kamu. Dia tau kamu ada di mana, kampus kamu di mana, kos-kosan kamu di mana. Kalau handphonenya rusak dia bisa nyamperin kamu ke sini, kan?"
"Nah! Mungkin itu alasannya, Ki. Dia nggak cinta atau pun sayang sama aku," sahut Azrina dengan tersenyum berat.
"Selama ini, dia 'kan nggak pernah bilang cinta atau pun sayang. Dia hanya pernah bilang, hatinya tidak tenang setiap kali melihat aku," cerita Azrina.
"Hmmmmh!....."
Tiba-tiba Azrina membuang napas keras, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Kinan dan menangis sesenggukan.
"Na, Nana!"
Kinan mulai mengusap kepala sahabatnya dengan lembut.
"Gus, nggak bisa aku hubungi, Ki. Dia tiba-tiba menghilang," ucap Azrina dengan tangis yang semakin menjadi.
Sepertinya kali ini Azrina tidak mampu membendung perasaan sedihnya, dia terus menangis meski semua orang yang berlalu-lalang di kampus itu memperhatikan dirinya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji Untuk Azrina
RomanceDia adalah Saifuddin Zuhri, seorang laki-laki yang terlahir dari keluarga Nahdiyin. Cerdas, pintar, santun, dan ramah, itulah yang membuat pria ini digandrungi oleh kaum hawa. Bukan hanya itu, kesalihannya pun membuatnya diidam-idamkan untuk dijadik...