Bab 28 (Aktivitas Pesantren)

7 0 0
                                    

"Itu tadi mbak-mbak pengurus yang melaporkan, kalau anak-anak banyak yang belum membayar SPP pondok. Mau belanja untuk kebutuhan makan santri, bingung karena uangnya kurang," cerita Ummi Halimah.

"Memangnya SPP di pesantren ini berapa Bu Nyai?"

"Dua ratus lima puluh ribu satu bulan, untuk kebutuhan listrik, air dan makan. Makannya dua kali, pagi dan sore," terang Ummi Halimah.

"Masya Allah, murah sekali, ya." Azrina tersenyum kecil.

"Ya, banyak yang bilang begitu, tapi kenyataannya, banyak yang nggak mampu bayar. Ya sudah, yang penting mereka mau sekolah dan mengaji, dari pada di rumah, ora lapo-lapo, hape-hapean terus, malah kurang faedahe," cerita Ummi Halimah dengan gaya bahasanya yang medok jawa.

"Mmm ... kalau bayar SPP sekolah bagaimana? Apa juga sering nunggak?"

"Sekolah diniyah di sini gratis, begitu juga dengan sekolah umum, soalnya sudah ada dana dari pemerintah untuk kebutuhan siswa."

"Loh! Gaji gurunya bagaimana? Apa semua gurunya pegawai negeri?"

"Yo enggak toh, Cah Ayu. Malah lebih banyak guru honorer. Tapi 'kan, ada kebun kopinya almarhum Kiai. Alhamdulillah bisa buat bayar honor ustadz ustadzah."

"Masya Allah!" Azrina tersenyum kagum.

"Saya pernah dengar Bu Nyai, kalau ada pesantren dan sekolah di desa yang ngopeni pendidikan masyarakat dengan harga murah bahkan gratis, itu pasti milik Nahdiyin. Dan kalau ada sekolah Islam di kota yang mampu bersaing dengan sekolah non muslim, itu pasti milik Muhammadiyah. Apa benar, ya?"

"Iyo sih, Nduk. Iso didelok teko perjuangane almarhum Kiai. Ngopeni kebun kopi karo sawah gawe mbangun pesantren iki, gawe sangune ustadz ustadzah. Lan iso didelok teko Universitas Muhammadiyah seng gedunge magrong-magrong, nyebar nang sak kabehane kuto gedhe, mahasiswane akeh, akreditasine apik, bener-bener iso ngopeni pendidikan, toh."

"Berarti dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini, benar-benar bisa membangun peradaban dan kemajuan pendidikan di negeri kita, ya? Mereka bekerja sesuai kebutuhan, dan dengan porsi masing-masing. Tapi anehnya ada saja beberapa simpatisan dari masing-masing ormas yang belum faham, sering saling menyalahkan, dan merasa paling benar. Iya 'kan, Bu Nyai?"

Azrina kembali bertukar pikiran.

"Iyo, sing koyo ngunu kuwi, pasti sing kurang wawasane," jawab Ummi Halimah. "Yo, iku tugasmu karo konco-koncomu. Sebagai mahasiswa, generasi muda, kudu iso menyatukan visi misi umat Islam untuk membangun Indonesia agar lebih maju, tanpa harus ribet mikiri perbedaan seng sebenare nggak perlu diperdebatkan. Lawong tujuane podo, mencari ridho Allah lan ngikuti sunnah Rosulullah," lanjutnya dengan bertutur lembut.

"Mmmm ..." Azrina mengangguk-angguk dengan senyum tipis.

"Yo wes. Ayo saiki tak terno nang kamarmu!"

Ummi Halimah menepuk lembut lengan Azrina sembari beranjak dari sofa.

"Saya tinggal di asrama sebelah mana?" tanya Azrina dengan menarik kopernya dan berjalan cepat menjejeri langkah Ummi Halimah yang masuk ke ruang keluarga.

"Kamu, nggak perlu tinggal di asrama. Tinggal di rumah ummi saja, di sini kamarnya banyak, ada juga kamar Ning Hana, putri ummi. Kamu tinggal di kamar dia saja, sudah ummi bersihkan dari kemarin."

"Ooh, nggak merepotkan Bu Nyai, kalau Azrina tinggal di rumah ini?" tanya Azrina sopan.

"Yo enggak to, Cah Ayu. Kebetulan ummi tinggal sendirian, kadang yo mbak-mbak santri yang ngancani. Mumpung ada kamu. Yo wes, kamu aja yang ngancani Ummi. Gelem 'kan meneng kini?"

Janji Untuk Azrina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang