Pagi hari Syailendra bangun dengan mata yang berwarna merah. Dia merasa badannya sangat lesu. Itu karena semalam dirinya tidak tidur tenang. Dia merasa gugup mewakili Jawa Barat dalam olimpiade. Rasanya Syailendra ingin secepatnya mengerjakan soal itu.
Tetapi dia harus pergi ke Jakarta supaya bisa sampai di sana. Syailendra langsung saja mandi dan juga memakai baju dengan rapi. Setelah semuanya selesai dia langsung menarik koper itu untuk di bawa keluar.
Saat sampai di ruang makan seperti biasa selalu ada orang tuanya di sana. Detik itu juga jantung Syailendra kehilangan fungsi detaknya. Meski semalam ayahnya tidak mempermasalahkan dirinya yang pergi selama berhari-hari dengan alasan kegiatan pramuka, tetap saja Syailendra merasa takut akan dimarahi. Apalagi dengan keadaan ia menyeret-nyeret koper.
"Pagi, Pa, Ma," sapa Syailendra tergugu.
Gunawan dan Amelia menoleh sebentar, lantas kembali mengunyah makanannya.
"Ke mana kamu bawa-bawa koper segala? Bosan tinggal di sini?" tanya Amelia yang sepertinya tidak diberitahu oleh Gunawan perihal semalam.
Syailendra menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "A—aku mau camping, Ma. Ada kegiatan pramuka di sekolah dan aku perginya 4 hari. Minggu sore baru balik."
Amelia tampak mengangguk seolah percaya ucapan anaknya itu. "Ya udah. Sini sarapan."
Pada akhirnya Syailendra turut bergabung dengan kedua orang tuanya pagi itu. Tidak ada yang aneh. Semua berjalan normal seperti biasanya. Bahkan sikap kedua orang tuanya pagi ini terlihat baik-baik saja, tak sedikit pun menaruh curiga padanya.
Mengembuskan napas lega, Syailendra menyantap sarapannya dengan tenang. Besar harapannya bahwa olimpiade kali ini berhasil dan ia bisa membanggakan kedua orang tuanya.
Mana tahu dengan aku menang olimpiade tingkat nasional ini, pikiran Mama dan Papa padaku bisa berubah.
Aku akan jujur kalau aku ikut olimpiade nanti ketika aku menang. Sekarang biar dulu orang tuaku nggak tahu. Aku nggak ingin gagal sebelum acara ini dimulai. Semoga nanti ketika menerima piala, orang tuaku bisa menyayangiku dan berhenti mengekangku.
****
Sebelum ke bandara, Syailendra dan temannya yang lain diharuskan berkumpul terlebih dahulu di lapangan sekolah. Mereka akan dilepas oleh kepala sekolah sebagai perwakilan untuk mengikuti olimpiade nasional. Barulah setelah itu mereka diantar dengan bis ke bandara.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Syailendra menjadi sorotan. Namanya dimuat di media cetak sekolah dan juga media cetak kota. Sejujurnya Syailendra gugup. Takut jika sang ayah membeli koran itu dan membaca berita tentangnya. Itu bisa membuat kedua orang tuanya marah besar. Namun selama ini tidak ada tanda-tanda bahwa kedua orang tuanya mengetahui hal tersebut. Terbukti tadi pagi baik ayah atau pun ibunya tidak mempermasalahkan sama sekali kepergiannya.
Berarti semuanya aman, 'kan?
"Tolong jaga kesehatan kalian selama di sana, ya? Bapak harap kalian bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah kita. Sekali lagi, selamat berjuang. Doa kami semua menyertai kalian."
Pak Muklis selaku kepala sekolah memberikan sambutan yang dihadiahi tepuk tangan oleh seluruh siswa yang berkumpul di lapangan tersebut. Dan setelahnya lelaki paruh baya itu mengalungkan kalung bunga ke leher Syailendra, Ratu, Sasa dan juga Heri sebagai tanda hormat. Kilatan kamera bergantian menyoroti wajah mereka. Hanya Syailendra yang kelihatan tidak nyaman dan selalu menunduk ketika ada yang memotretnya. Ia sungguh tidak suka menjadi pusat perhatian.
"Syailendra! Semangat, ya! Aku ngefans sama kamu sekarang!"
"Syailendra, nanti terima kado dari aku, ya. Aku udah beliin kamu cemilan yang banyak buat bekal di atas pesawat!"
![](https://img.wattpad.com/cover/371304311-288-k199348.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seribu Luka, Seribu Rahasia [TAMAT]
RomanceDari semenjak lahir Syailendra dipaksa untuk "tak terlihat", dirumah, disekolah dan juga di lingkungan sekitarnya. Namun ternyata seorang perempuan bernama Ratu memperhatikan dan dengan jelas dan tertarik padanya. Perempuan cantik dan baik yang mem...