Bab 18

79 51 22
                                    

"Aku juga sayang kamu, Syailendra."

Kalimat itu Syailendra ingat di otaknya, dan ia anggap sebagai kepastian hubungan mereka meski pun tidak ada kata 'jadian' terucap di hari itu. Hubungan mereka masih sama. Dekat tanpa kepastian. Teman, tapi saling sentuh, saling cium, dan mengekang layaknya kekasih. Rasanya Syailendra tidak butuh komitmen asalkan ia bisa memiliki hati Ratu. Ya, Syailendra menganggap dirinya berhasil menembus hati perempuan itu hanya karena Ratu mengaku menyayanginya.

Hidup Syailendra yang semula monoton, kini terasa penuh warna karena ada Ratu di sisinya. Jika saja tidak ada perempuan itu, mungkin sampai sekarang Syailendra tidak akan melaju sejauh ini sampai tembus ke olimpiade tingkat nasional yang kebetulan akan diadakan seminggu lagi.

Fyi. Dua bulan berlalu setelah olimpiade provinsi. Minggu depan olimpiade nasional itu akan digelar secara besar-besaran, dan diadakan di Jakarta. Syailendra berlatih lebih keras lagi agar bisa membuat sekolah mereka membawa piagam penghargaan. Sayangnya, makin lama dirinya sibuk terus-terusan, makin susah pula ia menyembunyikan dari ayah dan ibunya tentang perlombaan ini.

Syailendra takut sewaktu-waktu ia ketahuan melaksanakan olimpiade tanpa izin mereka. Alih-alih bangga, orang tuanya pasti akan marah dan berujung ia dipukul. Membayangkannya saja sudah membuat Syailendra ngilu duluan. Oleh karena itu, sebisa mungkin ia menjaga rahasia ini dari sang ayah. Setidaknya sampai olimpiade terlaksanakan.

"Hari Rabu kita udah harus ke Jakarta berarti ya? Kan lombanya diadain Jumat," tanya Ratu.

Di ruang latihan, keempatnya berkumpul setelah belajar di kelas masing-masing. Latihan kian diperketat, dan mereka juga diingatkan untuk menjaga kesehatan tubuh masing-masing jelang perlombaan.

"Iya. Nanti kita berangkat sama bus sekolah. Kita nginepnya di hotel dekat SMA Angkasa," balas Heri.

Syailendra terdiam sejenak mendengar lokasi hotel tersebut. Merasa penasaran, ia pun bertanya, "emang kita nginap di hotel apa?"

"Kurang tau sih gue. Yang penting Rabu pas nyampe itu kita nginapnya di hotel, terus kamis langsung technical meeting, Jumat, Sabtu sama Minggu baru acara lombanya. Ya berdoa aja kita dapat fasilitas hotel bintang lima. Sekelas olimpiade nasional, lho, ini. Hahaha."

Ratu menyadari ekspresi Syailendra berubah. Ia usap bahu cowok itu sambil bertanya, "kenapa? Kamu kok kayak gelisah gitu?"

"Nggak, nggak apa-apa kok. Aku cuma nervous karena bentar lagi kita lomba tingkat nasional," katanya berkilah. Padahal sebenarnya Syailendra panik memikirkan di hotel mana lomba itu diadakan. Pokoknya jangan sampai di hotel satu itu!

"Ah, kalau nggak ada Syailendra, pasti kita nggak akan sampai di tahap ini. Berterima kasih banget sih aku sama kamu, Endra. Kamu yang paling keras perjuangannya selama ini. Makasih ya karena udah bikin kita sampai ke tahap nasional. Aku berasa beban grup. Hehehe," kekeh Sasa tak enak hati.

Heri yang biasanya mengejek Syailendra itu kali ini setuju dengan ucapan sang pacar. "Iya, ya. Kalau dipikir-pikir kita tuh cuma beban grup. Syailendra tanpa kita juga kayaknya bisa melaju sendiri ke olimpiade itu. Thanks, ya, Bro. Sorry selama ini gue suka bikin lo sebal," kata cowok itu serius sambil menepuk-nepuk bahu Syailendra.

"Sadar juga kalian kalau kalian itu cuma beban grup? Numpang nama doang," sindir Ratu sambil bercanda.

"Kayak lo yang enggak aja. Halah, kehebatan lo sama Syailendra itu beda jauh. Emang di sini kita bertiga itu beban buat Syailendra," sanggah Heri.

Mendapat pujian seperti itu Syailendra hanya bisa garuk-garuk kepala sambil tersenyum malu. Padahal semua ini ia lakukan demi Ratu. Ya, secara tidak langsung Ratulah yang menjadi tujuan Syailendra.

Seribu Luka, Seribu Rahasia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang