Bab 30

73 50 22
                                    

Lantunan lagu milik Alan Walker menemani perjalanan Syailendra pagi ini menuju hotel miliknya.

Semalam dia tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang di ucapkan oleh Ratu. Padahal dia meyakinkan diri bahwa Ratu juga merasakan apa yang ia rasakan tetapi kenyataan itu berbeda. Ratu tidak pernah memikirkannya sama sekali. Belum lagi desakan Gunawan yang menyuruhnya cepat-cepat menikahi Tania saat anak itu nantinya lulus wisuda.

Ah, hidup Syailendra yang sudah tertata dengan rapi selama sepuluh tahun itu kini kembali kacau hanya karena bertemu seseorang dari masa lalunya.

"Bajingan!" Syailendra mengumpat sepanjang jalan.

Sungguh, mood Syailendra sedang tidak baik. Kalau saja hari ini ia tidak memiliki kepentingan untuk datang ke hotel ini, mungkin Syailendra akan ikut meeting dengan ayahnya. Setidaknya ia hanya berada di hotel beberapa jam. Tidak seharian seperti sekarang ini.

Omong-omong soal hotel pribadi miliknya yang baru diresmikan, Syailendra sendiri merasa kewalahan menghadapi laporan dari para staf tentang saluran pembuangan di hotel ini yang sudah cukup tua. Untuk mengatasi masalah itu, hari ini ia membawa seorang ahli lingkungan guna mendiskusikan tentang permasalahan pembuangan tua di hotel barunya ini.

Menghabiskan waktu selama 30 menit karena terjebak macet, akhirnya Syailendra sampai di hotel La Pinsky miliknya. Usai memarkirkan kendaraannya di basemen, Syailendra pun naik ke lift menuju lantai satu. Sekeluarnya dari lift Syailendra langsung disambut dengan sapaan hormat dari para bawahannya.

"Selamat pagi, Pak."

"Ya, pagi."

"Semoga hari Bapak menyenangkan."

"Ya."

Syailendra hanya membalas seperlunya karena ia pun tahu kata-kata yang mereka ucapkan itu hanyalah sekedar formalitas belaka. Bahkan pernah ia mendapati langsung para staf menggunjingkannya. Apakah Syailendra memecat mereka? Jawabannya tidak. Syailendra masa bodoh dengan omongan orang lain. Ia sudah terlatih bersabar dari dulu. Mungkin itu juga yang membuat pribadinya menjadi lebih dingin dan tidak peduli pada keadaan sekitarnya selain hal yang berkaitan dengan pekerjaan.

Ting.

Syailendra mendapati ponselnya berbunyi pertanda pesan masuk. Ternyata dari sekretarisnya.

Selamat pagi, Pak. Bu Sheila sudah menunggu bapak di lobi.

Tanpa membalas pesan tersebut, Syailendra bergegas menuju lobi utama. Namun langkahnya mendadak terhenti saat sudah sampai di lobi itu kala melihat ke arah sofa dan menemukan perempuan yang sangat ia kenal.

"Ratu?" gumam Syailendra.

Degup jantungnya berdetak tak tahu malu. Perempuan yang menyebabkan ia tak bisa tidur semalam itu tampak mengobrol dengan sekretarisnya. Kening Syailendra mengerut dalam. Apa jangan-jangan dia orang lingkungan yang janji bertemu denganku hari ini?

Syailendra memijat kepalanya yang berdenyut. Mengakhiri rasa penasarannya, segera ia hampiri perempuan itu, hingga membuat sekretaris Syailendra menyadari sang atasan sudah datang.

"Nah, itu Bapak sudah datang, Bu."

Detik itu juga Ratu mengangkat wajahnya. Senyum hangatnya langsung padam, berganti ekspresi kaget yang sama persis dengan Syailendra.

"Ratu? Sedang apa kamu di hotelku?"

Deg!

Jantung Ratu mencelus mendengarnya. Hotelku. Kalimat yang menyatakan tanda kepemilikan, yang berarti Syailendra adalah pemilik hotel sekaligus klien yang menyebabkan ia ada di Jakarta hari ini.

Seribu Luka, Seribu Rahasia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang