FINAL Bab 36

97 51 23
                                    

Restoran yang berada di dekat hotel itu menjadi tempat Ratu dan Tania berbicara empat mata, sesuai dengan kemauan Tania. Awalnya Ratu menolak keras, namun Tania terus memaksanya. Jadilah Ratu menyetujui permintaan perempuan itu. Mereka mengobrol di area luar restoran karena Tania tidak ingin Syailendra tahu ia menemui Ratu, katanya.
Canggung. Mungkin inilah suasana yang bisa menggambarkan bagaimana mereka saat ini. Ratu merasa 'asing' berdekatan dengan Tania. Selain karena Tania adalah tunangan Syailendra, Ratu sendiri masih belum bisa menerima hadirnya perempuan itu di tengah-tengah mereka. "Aku dengar-dengar Kakak hari ini berangkat lagi ke Belanda ya?" Tania membuka percakapan setelah lama keheningan menguasai mereka. "Iya, hari ini juga aku langsung balik," jawab Ratu. Tania berdeham sejenak, kemudian menatap Ratu lekat-lekat. "Kenapa buru-buru?" "Hm?" Ratu mengerjap bingung. "Ya, kenapa harus buru-buru perginya? Nggak mau ngomong dulu sama Mas Syailendra?" Mendengar hal itu membuat tubuh Ratu menegang. Sebentar. Ini Tania sudah tahu masa lalu mereka, kah?Dan selayaknya tahu arti tatapan Ratu, Tania kembali berujar. Tatapan perempuan itu berubah serius. Ada luka di sorot matanya, itu yang Ratu tangkap. "Aku udah tau semuanya." Perkataan Tania itu seolah menjawab keraguan Ratu. Ratu langsung terdiam, bingung mau merespon apa. "Semua masa lalu kalian, aku udah tahu. Termasuk fakta bahwa Kakak cinta pertamanya Mas Syailendra," sambung Tania. Ratu mengangkat wajah, melempar tatapan bersalah, "aku ... aku bingung mau jelasin kayak gimana. Tapi intinya, aku sama Syailendra udah lama selesai. Kami nggak ada hubungan apa-apa lagi. Aku mohon kamu jangan salah paham." "Awalnya memang aku salah paham. Aku ngerasa Mas Syailendra khianatin aku dengan nggak jujur soal kalian berdua. Aku merasa kayak orang bodoh yang tahunya Kakak itu Cuma rekan bisnis Mas Syailendra. Padahal kalian itu mantan kekasih yang masih saling cinta sampai saat ini," jawab Tania, pasrah. Ratu meremat kuat ujung bajunya. Merasa sesak karena membuat perempuan lain menangis karenanya. "Maaf, aku nggak bermaksud—" "Tapi itu udah berlalu. Sekarang aku ikhlas. Aku tau bahagia Mas Syailendra bukan aku," potong Tania cepat. "Ya?!" Tania melempar senyum simpul. Ia pegang punggung tangan Ratu, lantas ia usap pelan. "Kak, aku sama Mas Syailendra juga udah selesai." Perkataan itu membuat Ratu membelalak terkejut. Alih-alih bahagia, Ratu malah panik. "Kalian putus kenapa? Apa karena aku? Aku—" "Jangan panik gitu, Kak. Kakak sama sekali nggak terlibat. Emang kami aja yang nggak cocok, nggak bisa dipaksa bersama," sela Tania tanpa melepas senyumnya. Ratu menatap Tania sedih. Bingung mau merespon apa, namun nalurinya sebagai perempuan ikut sedih melihat Tania bersedih. "Aku ... aku nggak tau mau ngomong apa. Tapi yang jelas, aku ikut sedih pertunangan kalian berakhir." "Nggak apa-apa," sahut Tania. "Aku harusnya sadar dari awal cintanya Mas bukan untuk aku. Mas Syailendra udah pernah nolak aku, tapi aku maksa buat tetap jalanin dengan harapan Mas Syailendra bisa mencintai aku. Nyatanya tetap nggak bisa," adu Tania cemberut. "Kami itu dijodohin sama orang tua kami. Aku sama Mas Syailendra kenal karena orang tua kami itu mitra bisnis. Jadi di sini hanya aku yang cinta sendirian," kekeh Tania dengan mata berkaca-kaca. Ratu semakin sedih mendengarnya. "Menyedihkan ya, aku? Jadi cegil sendirian. Tapi Mas Syailendra benar, sih. Katanya aku cantik, aku pinter. Pasti bakal dapat ganti yang lebih baik dari dia. Ya memang harus lebih baik dari dia biar dia nyesel. Hahaha," lanjut Tania. Ratu hanya bisa tersenyum canggung. Tania, perempuan itu ternyata kuat juga. Ratu jadi teringat dirinya waktu muda jika melihat tingkah supel Tania. Ratu jadi menyesal karena kemarin sempat menuduh Syailendra begitu cepat melupakannya. Ia juga tidak mendengarkan dengan jelas alasan Syailendra menerima perjodohannya dengan Tania. "Umur kamu berapa?" Ratu bertanya. "Aku? Baru 21 tahun. Kecil banget, ya? Emang belum pantes nikah, sih. Apalagi sama om-om kayak Mas Syailendra," kekeh Tania. Ratu ingin memberi saran, namun takut dinilai party pooper alias bahagia di atas kesedihan orang lain. Padahal Ratu ingin sekali mengarahkan Tania untuk kuliah yang benar, jangan mikir cepat-cepat menikah dulu. "Udah, kisah aku nggak usah dibahas lagi. Yang penting aku sama Mas Syailendra udah selesai. Udah lama juga, sekitar sebulan lalu," sambung Tania. Ratu hanya diam mendengarkan. "Jadi, tujuan aku ngajak Kakak ngomong ya buat jelasin semuanya. Cinta Mas Syailendra itu hanya untuk Kak Ratu. Dari dulu nggak pernah berubah. Dia setulus itu sama Kakak. Nungguin Kakak pas Kakak pergi, yang padahal Kakak nggak tau bakal balik atau enggak. Dia nggak pernah punya pacar saking setianya sama Kakak. Kalau bukan karena orang tua kami, mungkin sampai sekarang Mas Syailendra masih sendiri." Ratu merasa sesak di dadanya. Untuk satu itu ia sadar telah banyak menyakiti Syailendra. Makin tidak pantas rasanya ia kembali pada lelaki itu karena selama ini hanya bisa menyakiti. "Aku ngerti posisi Kakak waktu itu gimana. Gimana rumitnya jadi Kakak yang orang tuanya kena kasus, terus bertahan hidup di tempat lain dengan ninggalin Mas Syailendra secara sepihak. Tapi untuk sekarang, jangan tinggalin Mas Syailendra lagi, Kak. Kemarin waktu Kakak ke Belanda tanpa izin, dia galau banget. Di dekat aku dia murung terus. Aku nggak bisa bujuk dia karena aku nggak berarti apa-apa buat dia. Yang bisa balikin bahagia Mas Syailendra itu Kakak." "Tania, ini semua nggak semudah yang kamu bayangkan. Sekarang, dunia aku dan dia udah beda. Kami bukan remaja kayak dulu lagi," kata Ratu, sukses membuat Tania murung. "Jadi maksud Kakak, Kakak nggak mau balik ke Mas Syailendra?" Ratu terdiam, tampak bingung. "Aku sekarang berkarir di Belanda. Dan Syailendra di Indonesia. Gimana caranya kami bersama? Kami sibuk sama karir masing-masing.""Kak, please, jangan sakitin Mas Syailendra untuk kesekian kalinya. Kalau aja aku punya bakat nikung, udah aku rebut Mas Syailendra dari Kakak. Tapi sayangnya tuh orang ketempelan Kakak terus. Aku nggak bisa masuk," decak Tania sebal. "Kamu bisa mulai dari awal sama dia. Aku yakin kamu bisa." "Enggak bisa!" tolak Tania keras kepala. "Aku nggak mau maksain perasaan orang lain. Aku juga tau Kakak masih sayang sama Mas Syailendra. Saran aku, Kakak turunin ego Kakak dulu. Penyesalan datang belakangan. Jangan sampai Kakak nyesal ngelepas orang yang sangat berarti di hidup Kakak." Mata Ratu berkaca-kaca mendengarnya. Belum sempat ia menjawab, Tania kembali berujar. "Minggu depan Mas Syailendra ulang tahun yang ke dua delapan. Aku harap Kakak datang jadi kado terindah buat dia. Jangan kecewain Mas Syailendra lagi," pinta Tania tulus dari hati terdalamnya. Perempuan itu mengelus punggung tangan Ratu, kemudian mengambil tasnya dan langsung berdiri—"Aku hanya bisa bantu sampai sini. Keputusan terakhirnya tetap di Kakak. Aku harap Kakak bijak dalam mengambil keputusan. Aku percaya sama Kakak." Dan setelahnya Tania pamit pergi, meninggalkan Ratu dengan perasaan campur aduk yang membuatnya menangis. ***1 minggu kemudian .... Syailendra berjalan gontai memasuki lobi hotel. Seminggu ini tidur Syailendra semakin tak nyenyak. Tepatnya saat Ratu pergi meninggalkannya minggu lalu. Syailendra merasa hidupnya berhenti berjalan. Dia benar-benar kehilangan semangat hidupnya karena hubungannya dan Ratu sudah resmi usai. "Surprise!" Begitu masuk ke lobi utama, beberapa staf hotel menyambut Syailendra dengan membawa satu box kue ulang tahun. Hal itu membuat Syailendra mengernyitkan kening. Sepersekian detik terbengong, barulah Syailendra sadar ini hari ulang tahunnya. Astaga. Saking tak memiliki semangat, Syailendra sampai melupakan hari kelahirannya sendiri. Terakhir kali Syailendra excited dengan ulang tahun yaitu 10 tahun lalu, waktu Ratu merayakan hari lahirnya untuk pertama kalinya dalam hidup. Dan sejak kepergian Ratu, Syailendra kembali menutup diri. Hanya orang lain yang merayakan ulang tahunnya, membuatkannya pesta semeriah mungkin. Namun di tengah keramaian itu, Syailendra merasa kosong. "Selamat ulang tahun, Pak!" seru karyawan Syailendra antusias. Syailendra yang tadinya berniat ke ruangannya itu berhenti sejenak karena para karyawan mengelilinginya, menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil bertepuk tangan gembira. "Make a wish dulu, Pak," ujar Katty—sekretaris Syailendra. Make a wish. Sebuah ritual ulang tahun yang tidak pernah Syailendra percaya kebenarannya. Menurutnya hal itu hanyalah ke-fomo-an belaka. Banyak yang melakukan make a wish sebelum tiup lilin hanya untuk gaya-gayaan. Namun kali ini, Syailendra ingin menguji seberapa valid ritual ini. Maka, Syailendra pejamkan matanya dan menyebut satu nama dalam hati—Ratu. Aku ingin dia kembali. Sebait doa sederhana yang Syailendra utarakan di batinnya. Berharap perempuan tersebut tiba-tiba datang dan kembali ke pelukannya.Usai melakukan make a wish, Syailendra pun meniup lilin. Dan setelahnya lelaki itu memotong kue tersebut. Syailendra hanya makan satu potong sebagai bentuk menghargai."Makasih udah kasih ini ke saya. Kalian silakan nikmati kuenya." Hanya itu yang Syailendra katakan sebelum akhirnya pergi dari lobi menuju lift. Wajah sumringah yang ia pasang di depan semua orang itu kini berganti raut murung. Teringat olehnya memori 10 tahun silam waktu Ratu merayakan ulang tahunnya untuk pertama kali. Apalah arti semua ini kalau nggak ada kamu di hidupku, Ratu. Dada Syailendra terasa engap. Ia butuh memejamkan mata sambil menarik napas dalam untuk bisa menenangkan dirinya sendiri. Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka. Syailendra melangkah menuju ruangannya. Lagi, staf HRD merayakan ulang tahunnya. Syailendra terpaksa berhenti untuk menyambut kue yang mereka berikan. Seluruh dunia merayakan ulang tahun Syailendra, namun lelaki itu tetap saja merasa ada yang kurang di hidupnya. Ratu ... kamu di mana? *** "Pastiin semuanya udah beres ya. Makanan jangan sampai ada yang kurang!" Suara Amelia yang tengah memerintah pekerja di rumahnya itu memenuhi telinga Syailendra. Seperti biasa, 3 tahun belakangan ulang tahun Syailendra dirayakan oleh keluarga besarnya. Gunawan dan Amelia tak pernah berhenti merayakan ulang tahun anak yang dulu mereka benci itu. Tahu karena apa? Karena Syailendra berkontribusi cukup banyak di bisnis-bisnis Gunawan. Syailendra, lelaki itu berhasil mengobati luka di hati Amelia karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya di masa lalu. Syailendra juga berhasil membuktikan bahwa ia lebih layak dibanding dua anak Amelia dan Gunawan lainnya—yang bahkan tak peduli pada orang tua mereka. "Ma, nggak usah terlalu repot. Perayaannya dibuat biasa aja," tegur Syailendra, namun Amelia segera menggeleng. "Kamu diam aja. Biar Mama yang atur semuanya. Ulang tahun itu hanya sekali setahun. Jadi harus kita bikin semeriah mungkin!" Syailendra hanya bisa menghela napas mendengar ucapan ibu tirinya itu. Jika itu yang membuat Amelia senang, maka Syailendra tidak bisa menolak. Ia biarkan saja ibunya itu mengatur-ngatur para pekerja. Satu yang Syailendra tahu, Amelia pasti mengundang semua rekan bisnisnya. "Nanti malam Jeng Endah datang sama anak perempuannya. Kamu harus kenalan sama anaknya. Anaknya itu—" "Ma?" sela Syailendra, membuat Amelia menghela napas. "Mama cuma pengen kamu menikah. Kalau memang kamu nggak suka Tania karena umurnya lebih muda dari kamu, Mama udah siapin kandidat calon jodoh yang seusia sama kamu. Dia cantik, nggak kalah cantik sama Tania. Jadi nanti malam kamu harus berpenampilan yang rapi. Mama udah siapin kemeja sama jas buat kamu." Syailendra memijat pelipisnya yang berdenyut. Amelia seolah tak kapok menjodohkannya. Ia pikir gagal menikah dengan Tania akan membuat ibunya itu berhenti menyodorkan perempuan padanya. Nyatanya malah semakin parah. "Udahlah, Ndra. Kamu dengerin aja omongan Mama kamu itu. Lagian Papa juga kepengen dapat mantu. Pengen main di rumah sama cucu. Ya, kan, Ma?" kekeh Gunawan yang baru turun dari lantai dua. Kompak sudah orang tuanya itu menjodoh-jodohkannya. Lama kelamaan Syailendra muak. Ia coba bilang baik-baik ke mereka. "Ma, Pa, aku masih dalam tahap menyembuhkan hatiku. Kalau pun aku harus menikah dalam waktu dekat, aku hanya mau menikah sama Ratu. Selain itu aku nggak mau," tolak Syailendra mentah-mentah. "Tapi mau sampai kapan, Ndra? Kalau memang kamu serius sama perempuan yang namanya Ratu itu, bawa dia ke sini, kenalkan secara resmi sama kami. Kami akan langsung setuju kalau memang dia jelas bibit bebet bobotnya. Dan selama ini apa pernah kamu bawa dia ke rumah ini? Enggak kan?" Amelia menyahut. Syailendra lagi-lagi terdiam. Ia tertampar realita jika hanya dirinya yang menginginkan Ratu di sini. Sementara perempuan itu tidak. *** Malam jatuh ke bumi. Kediaman Gunawan malam hari ini dipenuhi para undangan yang ingin merayakan ulang tahun Syailendra. Mereka merayakan ulang tahun di halaman belakang, tepatnya di dekat kolam renang. Syailendra tampak mengenakan jas formal warna hitam, dibalut dengan dalaman kemeja putih. Proporsi tubuhnya yang ideal membuatnya cocok dengan pakaian mahal itu. Syailendra dikelilingi oleh para gadis cantik yang tak henti mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Beberapa di antara mereka didampingi oleh ibunya. Syailendra bisa menebak jika mereka adalah perempuan yang dimaksud oleh Amelia tadi. "Selamat ulang tahun, ya, Ndra. By the way kamu ganteng banget malam ini," ujar seorang gadis. Syailendra hanya merespon cuek. Ia berpindah dari tempat itu karena tidak ingin diganggu. Dan bersamaan dengan itu, terdengar suara dari arah belakang. "Mas Endra!" Tanpa menoleh pun, Syailendra sudah tahu siapa pemilik suara itu. Dialah Tania, gadis yang membatalkan pertunangan dengannya sebulan lalu. Tania memang diundang ke sini oleh Amelia karena mereka pun putus tunangan secara baik-baik. Tania tidak menyalahkan Syailendra. Dia mengarang alasan ingin fokus pada pendidikannya dulu dan tidak ingin buru-buru menikah. Dan satu alasan lain yang Tania sertakan adalah; Syailendra terlalu tua baginya. Itulah yang membuat pertunangan mereka hari itu batal tanpa ada pihak yang merasa tersakiti. Mungkin di antara semua perempuan yang hadir, Syailendra hanya bisa akrab dengan gadis itu. Tania sudah Syailendra anggap seperti adiknya sendiri. "Happy Birthday. Aku bawain kado nih!" seru Tania ceria. Maka Syailendra ambil paper bag mini bermerk Gucci itu. Bisa ia tebak apa isinya. Pasti jam tangan mahal. "Makasih ya. Kamu repot-repot segala." "Nggak repot kok. Santai aja," sahut Tania. Syailendra mendecak takjub. Nyali Tania ini besar juga, ya? Sudah ia campakkan, namun anak itu sama sekali tidak dendam. Malah Tania setuju saat Syailendra berkata ingin menganggapnya sebagai adik. Dan cewek itu bahkan tak ragu curhat padanya jika ia sedang dekat dengan lelaki lain di kampusnya saat ini. "Hadirin yang terhormat, saatnya kita menyaksikan acara ulang tahun tuan rumah kita, Tuan Syailendra Gunawan!" Suara MC dari arah panggung mini itu membuat Syailendra dan juga Tania serentak menoleh ke sumber suara. "Acaranya mau mulai, tuh." Tania berujar. Syailendra berdecak malas. Namun tangannya sudah diseret duluan oleh Tania menuju pentas. Gemuruh tepuk tangan mengiringi langkah Syailendra. Dan setelahnya acara ulang tahun pun dimulai. Dari meniup lilin, make a wish, sampai pemotongan kue. Semua perempuan di sana berebut ingin mendapat suapan kue ulang tahun dari Syailendra. "Suapan pertama untuk orang yang spesial," ujar si pembawa acara. Maka Syailendra suapi kedua orang tuanya bergantian. Tepat setelah menyuapi kedua orang tuanya, Syailendra kebingungan. Tak ada yang menurutnya spesial sampai diberi kue ulang tahun."Suapin Tania aja," usul Amelia. Saat Syailendra memotong kue untuk Tania, tiba-tiba terdengar suara ketukan heels yang berjalan mendekat ke arah mereka. Tampak seorang perempuan yang mengenakan dress maroon muncul di tengah-tengah kerumunan. Kecantikannya membuat siapa saja yang ada di tempat itu terpana, tak peduli perempuan ataupun lelaki. Bersamaan dengan itu, pandangan Syailendra tak sengaja terlempar ke arah perempuan tersebut. Detik itu juga tubuh Syailendra membeku sesaat. Matanya mengerjap untuk memastikan yang dilihatnya itu nyata atau tidak. "Ratu?" panggil Syailendra saat gadis itu tiba di depan panggung. Ratu, si pemilik nama itu tersenyum manis. Ia pun naik ke atas pentas kecil tempat Syailendra berpijak. Dia benar-benar cantik dengan gaya rambut yang dibuat bergelombang itu. Seksi namun sopan. Aura Ratu sangat mahal bak aura perempuan bangsawan. Jika begini, sepertinya masuk akal kenapa Syailendra begitu tergila-gila dengan sosok perempuan itu. "Hai, Syailendra. Happy birthday," ujar Ratu lembut. "Maaf terlambat. Aku tadi dandan dulu. Penampilanku ... cantik kan?" Syailendra masih speechless. Matanya sampai berkaca-kaca melihat perempuan itu."Kamu ... kamu datang?" Ratu tersenyum lembut. Senyum tulus yang tidak dibuat-buat. "Ya, aku datang untuk kamu." Detik itu juga Syailendra taruh kue yang ia potong tadi ke meja, lantas maju memeluk Ratu di depan semua orang yang hadir malam itu. Ratu pun balas memeluk Syailendra tak kalah erat. Mereka hanya memikirkan kerinduan mereka yang sama-sama membeludak minta dilepaskan. Sorakan dari para tamu yang datang itu mereka anggap sebagai latar suara pengiringnya. "Kamu kembali selamanya kan? Nggak akan pergi lagi kan?" bisik Syailendra bergetar. Ratu mengangguk. "Ya, aku kali ini benar-benar kembali. Nggak akan pergi lagi dari kamu." Lega sekali perasaan Syailendra mendengarnya. Ia urai pelukan mereka, lalu memindahkan kedua tangannya untuk menangkup wajah mungil Ratu. Tatapan mereka berjumpa di titik yang sama. "Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku hancur tanpa kamu, Ratu. Jangan tinggalin aku lagi. Menetaplah di sini sama aku. Aku udah nggak terikat hubungan sama siapa-siapa lagi," jelas Syailendra. Lelaki itu sampai menitikkan air mata. Begitu juga dengan Ratu yang sejak dipeluk Syailendra tadi menangis haru. "Maaf karena aku egois kemarin ninggalin kamu. Aku bener-bener bingung. Aku nggak mau jadi penghancur hubungan kamu," balas Ratu. "Sekarang aku nggak tunangan sama siapa-siapa. Aku sendiri sekarang. Aku cuma nunggu kamu." "Aku tau," angguk Ratu. "Kamu tau?" Ratu kembali mengangguk. "Tania yang datangin aku buat cerita semuanya. Kamu harus berterima kasih sama dia." Syailendra tertegun, ia lirik Tania yang ternyata sedang melihat ke arahnya juga. Gadis itu mengedipkan sebelah mata sambil mengulur senyum manis. Syailendra membalas senyuman Tania sebagai ungkapan terima kasihnya yang begitu besar. Setelahnya Syailendra kembali menatap Ratu. Ia berujar serius. "Kita udah lama berpisah. Aku mau kita kembali, tapi dalam hubungan yang lebih serius lagi. Bukan hubungan kayak waktu SMA dulu." Ratu paham apa yang ingin Syailendra sampaikan. Sejujurnya, setelah pertemuan dengan Tania hari itu, Ratu tidak lagi pulang ke Belanda. Ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan merelakan jabatannya di Belanda asal bisa bersama Syailendra kembali. Setidaknya hanya itu yang Ratu bisa lakukan untuk menebus kesalahannya pada Syailendra selama ini. Karir bagi Ratu memang penting. Namun apalah artinya jika ia mendapatkan jabatan itu dan hidup tanpa Syailendra? Ratu bahkan tidak bisa jatuh cinta pada siapa pun selama 10 tahun ini karena di hatinya hanya ada nama Syailendra. "Iya, aku mau serius sama kamu. Maafin aku karena sepuluh tahun waktu kita terbuang sia-sia. Tapi sekarang izinin aku nebus semuanya. Aku pengen selalu di sisi kamu sampai nanti maut yang pisahin kita," jawab Ratu. Air matanya tertelan di sudut bibir. "Pekerjaan kamu di Belanda gimana?" "Aku udah resign," jawab Ratu. "Seminggu ini aku udah ngelamar di salah satu perusahaan di Jakarta. Dan aku langsung diterima karena pengalamanku. Nggak apa-apa ngulang karir dari awal. Yang penting bisa sama kamu lagi," lanjutnya. Syailendra merasa senang mendengarnya. Ia pun maju mengecup kening Ratu. "Aku mau kita segera tunangan. Kamu ... mau kan?" "Tunangan? Yang benar aja. Kamu udah nembak dia di depan orang banyak masa cuma tunangan? Minimal nikah!" Tiba-tiba Amelia bersorak, yang mana hal itu membuat Syailendra dan Ratu sadar mereka sedang berada di tempat umum dan menjadi perhatian semua orang. Ratu spontan menutup wajahnya karena malu. Namun berbanding terbalik dengan Ratu, Gunawan dan Amelia justru tersenyum senang karena anak yang mereka khawatirkan jadi bujang lapuk itu akhirnya laku juga. "Ajakin nikah aja langsung. Kelamaan nunggu tunangan. Papa udah keburu pengen nimang cucu!" sahut Gunawan. Syailendra menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, melirik Ratu dengan ekspresi malu-malu. "Ratu," panggil Syailendra lagi. Ratu mengangkat wajahnya. Pipi perempuan itu tampak memerah karena malu. "Hm?" "Jadi gimana? Kita ... nikah?" "Ya terserah kamu." "Kok terserah aku?" "Habis kamu nanyanya gitu banget. Nggak ada romantis-romantisnya," celetuk Ratu. Syailendra menghela napas berat. Ternyata dirinya masih saja kaku seperti dulu. Tak ahli merangkai kata-kata indah untuk menyatakan perasaan. "Ya udah, aku ulangi. Ratu, Sheila, kamu ... mau menikah sama aku?" tanya Syailendra gugup. Ratu jadi tertawa melihat ekspresi cowok itu. Ia tepuk-tepuk gemas pipi Syailendra sambil mengangguk. "Iya, iya, aku mau nikah sama kamu. Case closed, ya. Bisa aku cicipin kuenya? Mulutku rada kering dari tadi," kekeh perempuan itu. Satu jawaban itu membuat semua orang di sana tertawa bahagia. Syailendra malah panik karena ia tidak memiliki persiapan lamaran apa-apa. Tidak ada cincin, tidak ada coklat dan bunga. Semuanya dilakukan serba mendadak di hadapan para tamu. "Cincinnya bisa besok-besok. Yang penting aku jadi punya mantu!" kata Gunawan penuh suka cita. Dan akhirnya, malam itu Syailendra kembali merasakan indahnya perayaan ulang tahun. Ratu menepati janjinya untuk ada di setiap momen berharga di hidup Syailendra mulai dari saat ini sampai ke depannya. Kini Syailendra percaya keajaiban dari sebuah make a wish. Bukan ia yang mengejar, melainkan semesta sendiri yang membawa Ratu kembali padanya. Syailendra percaya bahwa apa yang ditakdirkan untuknya, paati akan kembali padanya sejauh mana pun sebelumnya ia melangkah. Begitu juga dengan Ratu yang sadar bahwa hidupnya hanya bahagia bila ada Syailendra di sisinya. Sejauh mana pun mereka saling menyakiti, hanya mereka pula yang bisa mengobati rasa sakit itu."I love you, Ratu Anggrianto," gumam Syailendra dengan suara terendahnya."I love you more, Mr. Syailendra Gunawan." Dari kejauhan Tania menyaksikan itu dengan lapang dada. Tak ada rasa sakit di hati Tania yang tersisa. Malah ia bersyukur Syailendra kembali menemukan bahagianya. Terima kasih semesta.... End. ***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seribu Luka, Seribu Rahasia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang