34. Percakapan yang Mencekam

1.9K 164 84
                                    

Tadinya aku mau update besok, karena gak mau cepet-cepet tamat :"

Tapi biar gak kelamaan dan hari Senin besok bisa bikin semangat, jadinya aku update sekarang

Selamat membaca ❤️

Kesehatan Daniar berangsur-angsur pulih setelah sekian lama berada di kamar dan seringnya menyendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kesehatan Daniar berangsur-angsur pulih setelah sekian lama berada di kamar dan seringnya menyendiri. Banyak manusia yang datang, tetapi hanya Jeremy yang Daniar inginkan. Menantu dan besannya silih berganti menjaga saat Jeremy ke kantor, sayangnya hanya mendapat respons singkat yang tak berarti apa pun.

Setelah tidur panjang sejak siang, Daniar yang terbangun pukul lima sore mampu keluar dari kamar untuk melihat keadaan sekitar rumah. Lama tidak diawasi, Daniar jadi khawatir rumahnya berubah tak layak huni. Namun, kekhawatiran itu sirna karena kerapian rumah tetap terjaga, tak ada yang kurang ataupun lebih, masih sama seperti yang terakhir Daniar lihat sebelum jatuh sakit.

Satu hal yang berbeda adalah orang di dalamnya. Ada Lina di ruang makan tengah menata meja, menarik Daniar mendekat untuk tahu apa yang dilakukan besannya di sana. Hidung Daniar yang masih tajam bisa mencium beberapa aroma makanan yang makin kuat, amat sopan membelai indra penciuman, membunyikan alarm di perutnya yang minta dimatikan dengan makanan.

Lina yang sadar akan kedatangan Daniar lantas tersenyum, berdiri santai sambil menatap besannya yang berdiri di seberang meja. "Udah enakan, Mbak?" tanya Lina, hanya direspons anggukan oleh Daniar.

"Mau makan sekarang nggak, Mbak? Ini tadi dimasak Anata semua sebelum pergi." Lina membuka tutup saji, menunjukkan dendeng, sop ayam, selada segar, dan telur dadar dengan senyum bangga.

"Dicoba, ya, Mbak, masakan anak saya. Pasti bosen makan yang lembut-lembut terus. Tapi udah kuat 'kan makan yang biasa kayak gini?"

Daniar menatap satu per satu makanan yang tersaji di meja, katanya dimasak oleh Anata, tampak rapi dan menggugah selera untuk ukuran orang yang kemampuan memasaknya sering beliau remehkan.

"Saya mau masak sendiri aja," balas Daniar singkat, masih belum memercayai rasa makanan yang tersaji di depan matanya.

"Kok gitu?" Lina buru-buru menahan Daniar sebelum menyingkir dari hadapannya. "Anak saya udah masak ini, Mbak. Cicip aja sedikit, siapa tahu nanti malah nggak ada kesempatan buat nyicipin masakan anak saya."

Desakan halus yang Lina layangkan rupanya cukup berhasil untuk Daniar, terlebih kondisi wanita itu tidak memungkinkan untuk banyak berdebat, hingga beliau terpaksa duduk dan menanti nasi yang diambil besannya.

"Lauknya Mbak yang ambil aja, ya," tutur Lina sambil meletakkan piring di depan Daniar. "Pilih aja yang sekiranya kuat buat Mbak makan."

Daniar kembali menilai lauk di meja, memikirkan satu per satu risiko yang akan ditanggung jika makanan itu masuk ke perutnya. Selain belum memercayai masakan Anata, Daniar juga harus memikirkan kondisi perutnya yang jadi sensitif sejak sakit. Maka tanpa ragu Daniar mengambil sop ayam yang lebih ramah di perut, meninggalkan lauk lain yang tersisa cukup banyak.

Perfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang