37. Jalan Perpisahan

2.4K 168 29
                                    

Siapa yang udah kangen?

Kalian baca ini jam berapa, gaes?

Kalian baca ini jam berapa, gaes?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ibu sekarang udah tidur. Maaf, ya, Ibu jadi ngagetin kamu."

Jeremy bicara bersama Anata melalui panggilan suara di ruang tengah rumah Daniar. Tadi sore dikejutkan oleh pesan Daniar yang memintanya datang ke studio Anata tanpa memberi tahu jelas akan ada apa di sana. Kendati begitu, Jeremy sudah menebak Daniar akan berulah dan benar saja, ibunya menangis seperti orang gila demi mengembalikan hubungannya.

Jeremy cukup berterima kasih atas usaha Daniar, bukti bahwa beliau sudah berubah meski sayangnya harus terlambat. Namun, penolakan Anata sudah sangat jelas, tidak ada kesempatan untuk memulai lagi seperti semula.

"Enggak apa-apa, Mas. Kamu juga tidur," titah Anata, suaranya masih berhasil menyejukkan telinga Jeremy.

"Kamu sendiri kenapa belum tidur?" Jeremy balik bertanya seraya berbaring di sofa. "Aku asal aja pas telepon, ternyata diangkat. Nunggu aku telepon, ya?"

"Iya."

Pengakuan itu nyaris membuat Jeremy menjerit.

"Tadinya juga mau tidur karena nggak dapet kabar, tapi aku lega keadaan kalian baik-baik aja di sana."

"Maaf nggak sempet ngobrol banyak."

"Santai aja. Tadi kita ketemu emang bukan buat ngobrol. Kasihan juga kalau Ibu lama-lama kayak tadi. Kita udah terlalu capek, jangan sampai ada drama lain. Semuanya harus selesai tanpa beban."

Ringan sekali saat Anata bicara, padahal mereka sama-sama berat menerima kenyataan. Hening untuk beberapa saat, keduanya butuh jeda cukup lama sebelum kembali bercakap. Inginnya memberi kabar bahagia, tetapi kebahagiaan itu sulit didapat sebab mereka tidak lagi bersama.

"Aku cuma lihat kamu sekilas, tapi tadi kamu kelihatan makin cantik." Jeremy tersenyum samar, mengingat lagi sosok Anata yang tidak ditemui terlalu lama. Meski sejenak, memorinya tetap melekat.

"Aku malah nggak merhatiin kamu, Mas. Aku nggak berani."

"Justru bagus nggak diperhatiin. Aku belum terlalu ganteng buat dilihat kamu." Seloroh jenaka itu berhasil menimbulkan tawa pahit dari keduanya. Makin tajam saja kenyataan di depan mata.

"Berarti nanti harus ganteng, ya, pas mediasi."

"Boleh, asal setelah itu gugatannya dicabut, ya."

Sunyi kembali menusuk malam. Jeremy sadar itu akibat dari bicara sembarang, tetapi dia tidak menyesal setelah jujur akan apa yang dirasa. Memang itu niatnya, menarik hati Anata selagi ketuk palu belum disahkan. Meski tahu risikonya besar, setidaknya Jeremy sudah mencoba.

"Mas, aku ngantuk." Anata mengambil alih topik tanpa membalas ucapan Jeremy yang sebelumnya. "Tidur, ya. Besok masih harus kerja."

Sudut bibir Jeremy menarik seulas senyum tajam, miris mendengar perhatian Anata yang masih begitu besar untuknya. Percakapan itu berakhir tanpa ada tanda Anata bisa kembali ke pelukan Jeremy. Malam ini dan malam-malam berikutnya, mereka harus memeluk guling di kamar, membagi doa dari kejauhan, berharap ikhlas akan didapat setelah perpisahan jadi pilihan.

Perfect WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang