"WUR AAWUR! WUR AAWUR! WUR AAWUR!" lima anak kecil berumur sekitar sepuluh tahun, berseru di depan bapak berkopiah yang baru saja tuntas berdoa di depan gundukan tanah makam. Si bapak berdiri, tersenyum ke arah anak-anak. Dari saku baju gamisnya, dia mengeluarkan seplastik uang logam lima ratusan. Jumlahnya tidak banyak. Hanya lima belas ribu perak. Si bapak mulai menghitung. Jika dibagi pada lima anak masing-masing dapat tiga ribu. Cukup adil. Namun, sekian detik berselang senyumnya meluntur ketika melihat tiga ibu-ibu berdaster berlarian ke arahnya. Melompati tanah-tanah makam, mendekat, bergabung dengan lima anak. Satu di antara mereka bahkan menyikut si anak. Menoyor kepala kecil mereka. Menyuruh menyingkir. Anak-anak itu akhirnya hanya berdiri di pinggir.Giliran ibu-ibu berdaster yang berseru, "WUR AAWUR! WUR AAWUR! WUR AAWUR!" mereka terus meneriakkan itu. Merayu bapak berkopiah untuk segera melakukan Tawur. Sebuah tradisi tabur uang ketika selesai berziarah saat hari raya. Mirip seperti saweran di acara pernikahan, tapi ini di kuburan. Kebanyakan peziarah di kampung ini sudah hafal adanya tradisi ini. Jadi sebelum ziarah, mereka telah membekali kantong dengan sejumlah uang logam untuk mereka tabur, atau lempar ke atas seenak dengkul mereka. Setelah uang berjatuhan di tanah, anak-anak berebut mengambilnya. Dulu memang hanya anak-anak yang mengikuti tradisi ini. Namun sekarang, setelah rasa malu dikalahkan impitan ekonomi, tua muda mengikutinya. Tidak ada batasan umur, asal tidak ada rasa malu. Biar hanya recehan, uang tetaplah uang. Tetap menjadi yang paling menarik untuk diburu. Termasuk oleh ibu-ibu berdaster.
Bapak berkopiah menghela napas. Melihat empat orang remaja yang juga ikut bergabung. Anak-anak makin tersisih. Saat ini, genap dua belas orang yang akan berebut receh lima belas ribu milik si bapak. Dia geleng kepala. Rona mukanya tampak hilang selera. Tanpa berlama-lama, dia kucur uang logam pada telapak tangannya, dia lempar ke arah massa yang sudah menunggu. Dua kali lemparan, uangnya habis, dia pergi. Meninggalkan mereka yang sedang berebut. Ibu-ibu berdaster menjerit-jerit khas ibu-ibu. Beradu cepat dengan para remaja dan anak-anak memunguti uang. Mencakar-cakar tanah, mengibas rumput, saling senggol, saling dorong. Kaki atau tangan terinjak, itu biasa. Tidak ada dendam. Semua bersukacita berebut recehan. Anak-anak berebut di pinggir. Berharap ada sisa uang yang menggelinding ke arah mereka.
"Cuma dapat gopek euy," celetuk salah satu anak.
"Aku seribu!" kata temannya.
Setelah tidak ada lagi uang yang tersisa, semuanya bubar. Berpindah ke peziarah lain.
"WUR AAWUR! WUR AAWUR! ...."***
Lebaran 2007. Tempat pemakan umum itu sedang dipenuhi oleh penduduk kampung. Mereka yang merasa sudah cukup bersilaturahmi dengan manusia hidup lainnya, beralih untuk mengunjungi kerabat yang sudah lebih dulu pindah alam. Berziarah. Seperti yang sedang dilakukan oleh Fajar, seorang pemuda dua puluh tiga tahun yang saat ini sedang khusuk berdoa. Dia jongkok menengadahkan tangan di depan makam ibunya. Di sebelah kanannya, ada Iman, sepupu sekaligus sahabatnya yang sedang mengaminkan doanya. Dan Wina, di sebelah kirinya, perempuan berwajah khas gadis Priangan yang turut pula mengaminkan doa. Ketiganya tampak tertunduk terpejam, khusyuk tenggelam dalam doa yang dilafalkan Fajar. Hingga doa selesai, mereka membuka mata dan mengangkat kepala. Dan betapa terkejut mereka ketika mendapati sudah ada sekelompok orang yang ikut jongkok di depan mereka. Terpisahkan makam ibunya Fajar.
Ketiganya saling lirik. Bingung. Lalu bangkit bersamaan. Orang-orang itu juga berdiri.
"WUR AAWUR! WUR-"
"Eh enggak-enggak!" potong Fajar. Tangannya terkibas. "Kita gak akan tawur!"
"HUUUUU!!!"
Orang-orang itu bubar dengan kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Ficción GeneralKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.