Bab 20 : Nasihat Bapak

2 1 0
                                        

Setelah malam itu, Vivi benar-benar menutup komunikasi dengan Fajar. Meski pria itu berulang kali menghubunginya, mengiriminya pesan demi pesan, tapi tidak dia pedulikan. Membiarkan ponselnya penuh dengan panggilan tak terjawab dan serangkaian pesan untuk setiap hari. Intinya, pria itu meminta maaf. Hingga tiga hari lamanya Vivi tetap bungkam. Tidak memberikan jawaban atau balasan pesan apa pun.

Ini adalah hari ke empat. Ketika dia terbangun oleh Azan Subuh, lalu mengecek handphone-nya, dia tidak menemukan pesan baru dari Fajar. Biasanya pria itu sudah mengirim satu atau dua pesan. Menyuruhnya bergegas bangun dan salat. Bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Tapi pagi ini pesan itu tidak ada. Vivi melempar kembali handphone-nya, turun dari tempat tidur bersiap untuk menjalankan ibadah Subuh.

Ketika hendak berangkat mengajar, sambil berjalan di halaman rumahnya menuju gerbang, dia memperhatikan kembali layar HP-nya yang tampak bisu. Dia merindukan panggilan tak terjawab itu. Atau pesan yang malas dia jawab. Ke mana pria itu? Apa dia telah lelah? Vivi malah bingung sendiri. Padahal dia yang meminta untuk tidak komunikasi sementara waktu. Ketika pria itu benar-benar tanpa kabar, dia malah gelisah.

Batinnya berharap setelah dia keluar dari gerbang, sudah ada Fajar yang menunggunya, mengantarnya, atau berangkat bersama ke tempat kerja masing-masing. Dan bila itu sampai terjadi, dia berjanji akan meruntuhkan egonya. Memberi jawaban atas maaf yang telah lelakinya minta melalui pesannya kemarin-kemarin. Namun sayang, di luar gerbang jalanan tampak lengang. Tidak ada siapa pun. Tidak ada yang menunggunya.

Dia kembali pada layar HP-nya. Memeriksa barangkali ada pesan baru. Nihil. Dia mendengus kecewa. Jempolnya mengambang di atas layar, tinggal menekan tombol panggil pada kontak Fajar. Berpikir beberapa detik sampai akhirnya dia urungkan. Handphone kembali dia jebloskan ke dalam tasnya. Lalu berjalan ke arah rumah tetangga yang menjadi ojek langganannya.

Sambil jalan dia berpikir: benarkah pria itu lelah setelah tiga hari didiamkan?

***

Di depan rumahnya, Fajar sedang bersiap untuk berangkat kerja. Dia terus melamun menatap layar ponsel. Benarkah gadisnya begitu marah hingga tidak ada satu pun kata terkirim darinya? Dia ingin mencoba menghubunginya sekali lagi. Tapi dia menimbang lama untuk melakukannya. Nyaris satu menit, dia memutuskan mengantungi lagi HP-nya. Mungkin saja saat ini gadis itu memang sedang tidak mau diganggu. Pikirnya. Fajar menyalakan motornya. Lalu pergi menjauhi rumahnya.

***

Tengah hari. Waktunya istirahat untuk para pegawai pabrik. Mereka tengah mengantre makan siang di satu ruangan besar di sebelah gedung kantor. Dua puluh meter dari gedung produksi. Seorang gadis berkerudung hitam tengah duduk sendiri sambil pelan menyantap makanannya.

“Kursinya kosong?” tanya seseorang.

Gadis itu mengangkat kepala. Membesarkan matanya setelah melihat siapa yang bertanya. “I-Iya,” jawabnya terbata. Gugup.

Si pria tersenyum. Duduk di kursi seberang meja Si gadis. Meletakan nampan berisi makanan dan minumannya. “Ayo lanjutkan makan. Kenapa bengong?” tanya pria itu. Dia adalah Fajar. Menatap gadis manis yang berseragam sama dengannya.

Namanya Marwah. Dia terlihat begitu canggung setelah entah ada angin apa, didekati pria yang sudah terkenal di pabriknya selalu cuek pada para wanita. Padahal banyak yang ingin dekat dengannya. Lelaki itu seperti kutub yang tidak bisa dijamah. Dia heran kenapa sekarang mendadak menghangat. Marwah mencubit pipinya. Memastikan dirinya benar di alam nyata.

Fajar yang baru mengunyah sesendok makanannya, terheran melihat tingkah Marwah. “Kenapa sih?”

“Hanya memastikan aku tidak sedang bermimpi, setelah melihat siapa yang duduk di depanku. Kamu bukan hantu, kan?”

Portulaca Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang