Dua minggu berlalu. Hari baru saja bermula, tapi kediaman Pak Wira sudah dipenuhi begitu banyak orang. Semua sibuk dengan peran masing-masing. Hilir mudik, keluar masuk rumah memastikan semua telah siap. Kursi-kursi berlapis kain putih sudah berderet rapi di atas rumput hijau, tinggal diduduki. Dekorasi-dekorasi cantik sudah terpasang. Tidak ada tenda hajatan. Pohon-pohon trembesi cukup membuat teduh seluruh area. Beda cerita jika hujan. Tapi, hari ini matahari bersahabat dengan cahayanya yang cerah seolah ikut berbahagia. Bunga-bunga portulaca bermekaran warna-warni. Dekorasi alami yang memang sudah ada dari sejak lama.
Pelaminan pengantin berada di sebelah kolam ikan koi yang memperindah dekorasi, yang dibuat dengan sempurna. Bunga-bunga sintetis terangkai indah. Berpadu apik dengan background kayu putih di belakang kursi pengantin elegan yang juga berwarna putih. Simpel tapi berkelas. Konsep pesta kebun yang teramat indah. Bersiap menyambut rombongan pengantin pria yang kabarnya sebentar lagi akan tiba.
Gadis itu sedang berdiri gugup di depan cermin. Menatap dirinya yang telah dipoles dengan amat cantik. Membuatnya pangling akan dirinya sendiri. Terlebih orang-orang seperti keluarganya. Gaun putih yang begitu anggun telah membungkus tubuhnya. Berpadu dengan hijab cantik dengan mahkotanya yang indah. Henna putih menghiasi tangan dan jemarinya yang lentik. Gadis itu telah tampak seperti seorang putri dari sebuah istana. Telah siap dipinang sang calon suami.
Suara petasan di luar membuatnya tercekat. Kegugupannya bertambah. Rombongan mempelai pria tampaknya telah datang mengetuk gerbang.
Ibu Dewi membuka pintu kamar anaknya. “Vi, ayo, calon suamimu sudah datang,” ujarnya. Umur Ibu Dewi sudah setengah abad. Tapi fisiknya seolah berhenti di umur tiga lima. Kebaya dan hijab abu-abu anggun dipakainya. Serasi dengan sang suami yang sedang menunggu di ruang tamu.
Vivi mengangguk. Melangkah dengan sedikit mengangkat gaunnya yang sebagian menyapu lantai. Keluar kamar. Ibu Dewi menggandeng lengan anaknya. Mendekati Pak Wira yang tersenyum melihat Vivi. Lalu, rasa haru mengubah rona muka Pak Wira. Dia mengecup kening putrinya. “Setelah hari ini, kamu akan memulai babak baru dalam hidupmu, Nak. Ayah akan percayakan masa depanmu pada suamimu.”
“Iya, Ayah. Doakan selalu pernikahan kami selalu dalam keberkahan dan kebahagiaan.”
“Tidak perlu diminta. Ayah dan Ibu pasti mendoakanmu setiap waktu. Sudah siap? Rombongan calon suamimu sudah tiba.”
Vivi membuang napas panjang. Dia mengangguk yakin. Lalu menggandeng lengan ayahnya. Melangkah di tengah-tengah ayah dan ibunya. Keluar rumah. Menuruni teras. Banyak orang yang sudah menunggu si pengantin keluar. Mereka berdiri di jalan di antara dua pematang bunga portulaca yang berseri indah. Menyambut rombongan besan yang berjalan mendekat.
Pak Wira melirik pada putrinya. Gadis itu menebar senyum. Lalu matanya terarah kembali ke depan, pada rombongan calon suami anaknya. Sebuah ingatan kembali terputar.
Dua minggu yang lalu.
Pak Wira sedang duduk di teras mengecek ponselnya. Lalu, seseorang menggunakan motor Jupiter merah masuk ke halaman dan berhenti di samping sedan hitam tua. Pak Wira menatap. Dia mengenali orang itu. Iman. Mau apa anak itu ke sini? Bukankah tadi dia sudah bertemu di klinik? Pikir Pak Wira.
“Assalamualaikum,” kata Iman. Tanpa di suruh langsung mendekati Pak Wira.
“Waalaikumsalam. Silakan duduk.” Pak Wira menunjuk kursi yang kosong.
Iman tetap berdiri. “Terima kasih, Pak. Saya tidak akan lama.” Dia mengeluarkan surat undangan kusut dari saku celana, mengangkatnya di depan muka. “Maksud Bapak memberi Fajar ini apa?”
Pak Wira mengernyitkan dahi. “Bukankah itu sudah jelas?”
“Sudah jelas? Bapak hanya memberinya tanpa menjelaskan apa pun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Ficción GeneralKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.