Epilog : Seperti Portulaca

5 0 0
                                        

Sepasang pengantin masih di pelaminan yang menjadi singgasana mereka hari ini. Tidak sejenak pun senyum itu beranjak dari bibir keduanya. Menatap sekeliling. Sukacita telah membungkus suasana. Rasa bahagia merambah setiap hati. Tak ada satu pun yang bermuka sayu. Senyum merekah pada wajah setiap insan.

Fajar melihat Kakak-kakaknya tengah berbincang hangat dengan saudaranya yang lain. Melupakan kesedihan yang belum lama mendera. Menggantinya dengan senyum dan tawa. Lalu di depan sana, dekat dengan pintu gerbang kayu, Pak Wira dan Ibu Dewi masih menyambut para tamu. Mereka tampak sibuk namun begitu menikmati. Ini merupakan hari bersejarah di keluarga mereka. Putri tunggal mereka menikah. Tidak heran mereka begitu bersemangat. Beberapa kali Pak Wira merangkul tamunya. Menandakan sang tamu begitu penting untuknya. Berjabatan erat, bersalaman hangat. Senyum tak pernah meluntur di wajahnya, maupun istrinya. Tamu tak berhenti berdatangan. Padahal hari masih siang. Apa jadinya nanti malam? Rumah gaya Belanda dengan tamannya yang luas itu bersiap dipadati lebih banyak tamu.

Ayu, Yasir, dan anaknya sedang duduk menikmati makanan. Meski pernikahan mereka terjadi karena tragedi, saat ini, keluarga kecil mereka tampak bahagia. Lihat, badan Ayu dan Yasir mengembang bersama saat ini. Kehidupan mereka lebih baik setelah memutuskan menetap di Bandung, dan membangun usaha di sana. Tidak jauh dari mereka, ada Iman yang seolah kembali menemukan ‘hidupnya’. Duduk bersama Wina dan Salma, senyumnya begitu lepas. Bercanda riang dengan ibu dan anak itu. Mungkin sudah bisa ditebak apa yang selanjutnya akan terjadi antara Iman dan Wina.

Pasangan pengantin itu dari tadi saling menoleh, saling lirik, lalu tersenyum bersama. Mereka masih merasa yang terjadi hari ini seperti mimpi.

“Vi,” kata Fajar.

Vivi menoleh.

“Kelas berapa sekarang?” Fajar tersenyum. Begitu pula dengan istrinya.

“Kelas dua SMP, A.”

“Aku tunggu ya.”

“Tunggu Gimana?”

“Nanti, saat kamu sudah dewasa, kalau mau punya pacar atau suami, jangan cari yang lain. Ingat sudah ada aku yang menunggu.”

Keduanya tertawa. Keduanya saling tatap.

Vivi berucap, “Seperti portulaca yang aku beri, yang terus tumbuh mengakar dan mampu memperbanyak dirinya hari demi hari. Sama seperti rasa yang ada di dalam sini.” Menyentuhkan telapak tangannya ke dada Fajar. “Kita jaga agar terus menyala hangat seperti ini. I love you, A.”

Fajar menggamit jemari istrinya, menciumnya. “I Love you too.”

Ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka. Malah mereka baru saja menjajaki perahu yang lebih besar, untuk berlayar mengarungi samudera kehidupan yang lebih luas.

SELESAI

Portulaca Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang