Pukul 07.00. Berpuluh orang menghambur keluar dari bangunan pabrik setelah semalaman bekerja tanpa tidur. Di antara gerombolan lelah dan ngantuk shift tiga, terdapat Fajar yang serta melangkah di lorong pabrik menuju tempat parkir melewati berkubik-kubik balok kayu yang tersusun. Pabrik tempatnya bekerja bergerak di produksi mebel untuk kebutuhan ekspor. Bulan ini, mereka sedang kejar target menyelesaikan kursi goyang nenek pesanan Amerika. Entah negara adidaya itu tidak ada waktu untuk membuatnya sendiri, atau memang kualitas produk dari pabrik ini cukup berkelas. Bangunan pabrik tidak terlalu besar. Karyawannya tak banyak seperti pabrik yang lain. Hanya dua ratusan orang. Dan Fajar menjadi salah satunya. Dia bekerja di bagian packing.
Di luar pabrik, berpuluh karyawan lain bersiap menggantikan tugas satu jam setelah shift tiga membubarkan diri. Fajar tiba di tempat parkir. Mengenakan helm, lalu mengendarai motornya melewati pintu gerbang besi yang tinggi. Dengan mata perih yang merindukan bantal, dia meluncur meninggalkan pabrik.
Tiga puluh menit kemudian, Fajar tiba di rumahnya. Memarkir motor di bawah pohon jambu air yang sudah semakin tinggi dan rindang. Dan bunga portulaca yang dulu Vivi hadiahkan, sekarang sudah menjadi banyak. Fajar tak lagi menempatkannya di kaleng bekas cat. Tapi sudah dia pindahkan pada pot-pot gantung yang kini menghiasi bagian depan rumahnya. Bunga-bunganya bermekaran setiap hari.
Fajar ngeloyor ke kamarnya. Membuka kemeja tangan panjang yang masih selalu dipakainya, melepas seragam kerja, menggantung semua pakaian di belakang pintu, lalu merebahkan diri di kasur dengan tenang. Dia terlelap dengan cepat.
Matanya kembali membuka tatkala Zuhur bersuara. Lantunan azan Amil Udin menyusup ke telinganya. Membuatnya terjaga dengan mata merah dan perih. Dia butuh tidur, tapi dia juga butuh dengan salatnya. Kendati malas dia tetap bangun lalu melangkah ke belakang untuk mandi. Selepas bersiap-siap, dia bergegas ke musala. Begitu tiba dia mendapati tiga orang telah larut dalam nikmatnya salat. Wa Salim sebagai imam, Amil Udin dan Kang Kipli makmum. Fajar masuk menjadi makmum ke tiga. Dia tertinggal satu rakaat.
Setelah salat, dia mengisi perut dengan hidangan mewah yang sudah disiapkan bapaknya. Berupa lele goreng tangkapan dari empang sendiri, dan perkedel jagung hasil petikan dari kebun sendiri. Setelah makan nonton TV sejenak. Acara favoritnya adalah Bocah Petualang. Itu lebih baik daripada menonton acara gosip tak bermutu.
Jam setengah dua, dia mengganti pakaian dengan yang lebih rapi dengan tak lupa diberi semburan parfum.
"Mau ke mana, Jar?" tanya Wa Salim yang menangkap gelagat Fajar akan pergi. Wa Salim duduk di depan TV yang masih menyala.
Fajar menoleh. Sambil melipat lengan kemejanya dia menjawab, "Jemput Vivi, Pak."
"Kamu masih menjaganya? Tidak menyakitinya?"
"Aku gak mungkin mengingkari janji yang nama Bapak ikut terlibat di dalamnya."
"Bagus. Pertahankan itu dengan baik." Wa Salim lalu Fokus pada acara TV. Sedangkan Fajar, setelah merasa penampilannya sempurna, dia bergegas pergi.
Fajar tengah duduk di bawah pohon ketapang yang memayung di tepi jalan. Dengung suara anak sekolah yang sedang meninggalkan kelas sudah terdengar. Dia sedang menunggu seseorang. Lalu, sebuah sapaan dari arah belakang sampai di kupingnya.
"A." Disertai sentuhan lembut di pundak. Fajar menoleh. Menatap gadis berhijab putih dan berseragam putih abu-abu yang sudah berdiri di dekatnya.
Sekali lagi, waktu kembali menujukan kecepatannya dalam berputar. Percaya atau tidak, ini adalah tahun ke empat hubungan Fajar dan Vivi. Gadis itu telah tumbuh dengan amat baik. Umurnya sekarang delapan belas tahun. Tingginya sudah sekecupan kening meski Fajar tidak pernah melakukannya. Wajah cantiknya terlihat semakin dewasa dan semakin mirip dengan ibundanya di kala muda.

KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
General FictionKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.