Warung di dekat muka gerbang Sekolah Menengah Pertama itu belakangan menjadi tempat paling nyaman untuk menunggu. Menghamburnya para murid tidak lagi jadi pemandangan asing. Fajar duduk di kursi panjang di dalam warung. Karena bukan pertama kali menjemput, dia sudah hafal jam berapa gadisnya biasa meninggalkan kelas. Saat ini belum ada lima menit dia di sana, Vivi sudah keluar dari gerbang. Sendirian. Entah ke mana dua temannya. Melihat motor Fajar yang terparkir di depan warung, gadis itu mendekat. Namun yang Fajar lihat, gadis itu tampak seperti sedang dalam keadaan mood yang kurang baik. Saat berjumpa dengan Fajar pun dia hanya menampakkan sedikit senyum. Tidak ceria seperti biasa.
"Kenapa?" tanya Fajar yang menangkap perubahan gelagat dari Vivi.
"Gak apa-apa," jawab Vivi. Dari cara menjawab yang tampak lesu, jelas ada apa-apa.
"Kamu takut dimarahi ayahmu lagi?"
"Aa takut?"
"Enggak."
"Ya udah. Ayo pulang."
"Sebentar." Fajar mengambil sebotol minuman dari lemari pendingin. Membuka tutupnya, memberikannya pada Vivi. "Kita akan pulang setelah kamu cerita." Fajar duduk. Menepuk kursi di sebelahnya meminta Vivi duduk. Vivi membuang napas. Dia menurut.
"Silakan diminum dulu," kata Fajar.
Vivi menatap mata lelakinya. Dia menurut lagi.
"Oke. Ada apa sebenarnya?" tanya Fajar setelah Vivi menurunkan botol dari mulutnya. "Apa soal hubungan kita?"
Vivi menggeleng. "Bukan. Hubungan kita baik-baik aja." Vivi benar. Selain ditentang ayahnya dengan begitu hebat, selebihnya tampak berjalan normal. "Ini masalah di sekolah."
"Apa ada yang mengganggumu lagi? Tunjukan siapa orangnya. Biar kali ini kutegur lebih tegas."
"Gak ada, A."
"Lalu?"
"Ini karena guru agamaku."
"Guru agama?" Fajar tidak mengerti. Kenapa guru agama bisa merusak mood-nya?
"Dia memintaku membaca satu ayat, dan aku gak bisa. Seisi kelas tertawa. Aku bete sejadinya."
"Kamu gak bisa? Maksudnya, kamu gak bisa baca Quran?"
"Kenapa? Aa mau ikut mengejekku?"
Fajar geleng kepala tanpa bersuara.
"Makanya aku selalu malas kalau waktunya pelajaran agama," terang Vivi. Dia sebenarnya siswi yang pintar. Untuk mata pelajaran umum yang lain, dia adalah alfa di kelasnya. Penguasa dari segala nilai tinggi. Tapi di pelajaran agama, dia bertekuk lutut. Tak berdaya saat seorang guru meminta membaca sebaris firman Tuhannya.
Fajar menatap lekat muka gadisnya. Menurutnya, ini masalah yang tidak bisa dibiarkan. Setiap hari Vivi selalu mendapat pelajaran tambahan di rumahnya. Les Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, tapi pelajaran agama, yang masih berguna hingga saat seonggok tubuh meringkuk di liang lahat, tidak diajak jalan beriringan. Malah tertinggal jauh di belakang. Seorang ahli matematika paling pintar yang ada di muka bumi, tidak akan dibiarkan malaikat menghitung amalnya sendiri, bukan? Bahkan seorang Thomas Edison yang masyhur dalam ilmu Fisika itu, tidak akan mampu membuat setitik cahaya sendiri dalam gelapnya alam barzah. Lalu, apakah bahasa Inggris adalah bahasa resmi penduduk akhirat kelak? Tidak ada yang salah dengan ilmu-ilmu di atas. Semuanya penting. Tapi setidaknya ilmu agama juga mendapat porsi yang cukup. Jika tidak menjadi ahli agama, setidaknya menguasai dasar-dasarnya. Fajar tidak mau menyalahkan kedua orang tua Vivi. Dia justru tertarik untuk memberi sedikit perubahan.
"Setelah guru mengajiku pindah ke Kalimantan, aku berhenti di Iqro empat," jelas Vivi.
"Kamu gak pernah mengaji bareng anak-anak yang lain di masjid sehabis magrib?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
General FictionKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.